Tahun lalu Adidas meluncurkan Adidas Speedfactory di Jerman, sebuah pabrik kecil yang mampu memproduksi sepatu sesuai selera pemesan. Bermodal 3D printer canggih, mesin produksi dengan lengan robot dan mesin rajut otomatis, orang bisa mendapatkan sepatu dengan desain sendiri. Sambutan konsumen sangat positip.
Lantas apa kaitannya dengan kita yang hidup dan bekerja di Indonesia? Apakah inovasi ini akan berdampak pada cara kita belajar, bekerja, dan berbisnis? Perlukah kita mempersiapkan diri sejak sekarang agar tidak terlambat? Apa jadinya kalau cara berproduksi seperti ini diikuti industri lainnya? Baca dulu fenomena ini.
Kampanye bertajuk Futurecraft M.F.G (Made For Germany) ini menandai langkah awal Adidas untuk membangun pabrik serupa di Atlanta, Amerika Serikat, dan beberapa kota lain di dunia, termasuk New York, London dan Shanghai. Targetnya adalah meluncurkan produk sepatu dengan desain yang khas kota tersebut (city-specific designs).
Hebatnya, pemesan bisa memilih sendiri model sepatunya lewat website. Biaya tambahannya juga tidak mahal (sekitar US $ 10) dan pengirimannya hanya mundur 1 hari dibandingkan kalau membeli sepatu Adidas yang sudah jadi. Jika kelak Adidas membuka pabrik seperti ini di Jakarta, kita tentu bisa memesan sepatu sport beraksen batik Madura atau lurik tenun ikat ala Sumba.
Keunggulan baru
Apa keuntungannya bagi perusahaan? Inovasi dengan teknologi Advanced Manufacturing ini bisa mengurangi jumlah produk cacat, meningkatkan jumlah penjualan, dan mencegah terjadinya pencurian ide oleh pesaing. Produk dengan desain personal tentu lebih mahal. Artinya income perusahaan juga akan meningkat.
Bukan itu saja. Biasanya, proses mendesain sepatu dimulai satu tahun sebelum produksi massal. Jumlahnya pun minimal 50,000 – 100,000 pasang. Namun dengan konsep Speedfactory ini Adidas bisa langsung memproduksi meskipun hanya 500 pasang. Waktunya pun jauh lebih singkat, dari beberapa bulan menjadi satu hari saja. Toko tidak perlu menyimpan banyak stok. Ini mengurangi risiko barang tidak laku yang akhirnya diobral dengan harga murah.
Bagi konsumen, mengenakan produk sesuai selera dan kebutuhan tentu jauh lebih memuaskan. Apalagi jika produk tersebut bisa diperoleh dengan cepat dan tidak terlalu mahal. Sepatu Adidas yang dijual di Eropa banyak yang diproduksi di Indonesia, China, atau Vietnam. Tapi dengan Adidas Speedfactory, perusahaan di Jerman bisa menjual sepatu di negara tersebut dengan harga murah sebab ongkos kirim bisa ditekan. Ini satu keuntungan lain dari penerapan sistem produksi canggih ini.
Selain itu semakin banyak kelompok masyarakat bisa terlayani. Mereka yang suka maraton, jalan ke tempat kerja, atlet basket, pemain bulu tangkis, atau para manula, dengan mudah mendapatkan sepatu sesuai karakter dan kebutuhan mereka. Tampilannya pun sesuai keinginan.
Meskipun terdengar sangat inovatif, Adidas bukan satu-satunya pengguna teknologi canggih ini. Nike sudah mampu merakit sepatu 20 kali lebih cepat dari kecepatan kerja para buruh. Sepatu New Balance dan Under Armour telah memanfaatkan 3D printer untuk mencetak bagian-bagian dari sol sepatu olahraganya. Industri yang semula menyerap banyak tenaga kerja jadi makin efisien dan melibatkan semakin sedikit tenaga kerja.
Peluang atau Ancaman?
Makin banyak perusahaan menggunakan otomatisasi untuk bersaing. Akibatnya industri retail akan berubah. Teknologi otomatisasi akan memperpendek siklus fashion. Desain baru akan cepat dianggap ketinggalan, sementara itu desain yang bersifat personal atau sesuai pesanan akan makin disukai.
Karena makin cepatnya selera orang berubah, bukan hanya perancang busana, tetapi juga perancang sepatu, arloji, mainan anak-anak sampai telpon genggam dan aneka produk lain akan makin dibutuhkan. Mereka bukan saja diperlukan untuk mendesain produk sesuai selera tapi juga sesuai kebutuhan. Contohnya, desain sepatu orang Jakarta yang sering naik motor atau ojek mungkin berbeda dengan desain sepatu orang Melbourne dan New York yang banyak berjalan kaki atau orang Amsterdam yang suka naik sepeda.
Selain perancang inovatif, industri akan membutuhkan pekerja dengan cara berpikir baru karena industrinya akan berubah. Kita akan memasuki era Digital Design yang cirinya adalah localized (dibuat sesuai selera setempat), automated manufacturing (diproduksi dengan mesin otomatis), dan personalized products (produknya dibuat sesuai keinginan pemesan).
Apakah industri manufaktur besar akan bangkrut? Itu kita belum tahu. Yang pasti pesanan produk massal ke pabrik-pabrik di negara berkembang seperti Indonesia akan berkurang. Bagi Adidas yang membuat 300 juta sepatu per tahun, untuk apa memproduksi semua sepatunya di China, Vietnam atau Indonesia kalau bisa memproduksi sebagian di Eropa untuk pasar Eropa saja? Selain hemat waktu, cara ini hemat biaya kirim dan cukai, dan risiko rusak lebih kecil.
Bisa saja beberapa pabrik sepatu yang melayani pesanan merk luar negeri akan tutup kalau jumlah ordernya terus menurun akibat makin banyaknya speedfactory di berbagai negara. Jika teknologi dan sistem Advanced Manufacturing ini terbukti menguntungkan, tren ini juga bisa menimpa banyak pabrik yang membuat aneka produk lain di luar sepatu. Ini ancaman.
Namun bagi yang berpikiran terbuka, tren ini juga membuka peluang. Kelak bisa saja sekelompok anak muda membuka ‘pabrik’ di rumah atau ruko di kota kecil dengan biaya hidup murah. Mereka mendesain produk unggulan di situ, mencetak prototype bermodal 3D printer, laser cutter, CNC machine dan beberapa mesin lain, lalu menawarkannya ke konsumen atau perusahaan yang membutuhkan. Jika jumlah pesanannya kecil, mereka bisa langsung mencetaknya sendiri. Bagaimana kalau diperlukan produksi secara massal? Jawabnya, di pabrik-pabrik besar yang mulai kehilangan order dari luar negeri tadi.
Berkaca pada perkembangan teknologi yang sangat cepat ini, Presiden Jokowi menantang semua universitas untuk berani membuka jurusan-jurusan inovatif yang berorientasi pada industry 4.0 dimana digital design dan advanced manufacturing termasuk di dalamnya. Tentunya kurikulum dan cara mengajarnya tidak lagi berorientasi akademik semata seperti yang selama ini berlaku di sebagian besar lembaga pendidikan kita.
Pertanyaannya, siapkah anak muda kita bekerja dan berbisnis dengan model seperti ini? Industri manufaktur, apalagi yang memakai teknologi digital, memerlukan mindset berbeda dan skill khusus. Selain kemampuan akademik, kita perlu belajar menjadi ‘maker’, yakni orang yang mampu mengubah ide menjadi barang jadi. Mahasiswa dituntut mampu menemukan problem dan menghadirkan solusi, bukan cuma “omong doang”, apalagi koar-koar tanpa data.
Tentang tren Maker di kalangan orang muda, silakan baca Pintar di Sekolah Saja Belum Cukup dan Maker Movement – Jalur Alternatif Menjadi Industriawan Kelas Dunia dengan Modal Cekak.
Sumber:
INSIDE ADIDAS’ ROBOT-POWERED, ON-DEMAND SNEAKER FACTORY
Selamat Malam, Om Pras. Terimakasih atas Info adidasspeedfactorinya-nya yg berguna sekali.
Nama Saya HISAT, saya mau bertanya tentang apakah diindonesia terdapat jurusan data Saintis atau yg bgtu serupa dgnnya. Kalau tdk, menurut om pras diindonesia sendiri utk rekomendasinya dimana. Agar saya tdk perlu sekokah S1 keluar negeri maksudnya, he..he.. #dataSaintis
Setahu saya di Indonesia belum ada. Untuk menjadi data scientist bisa mulai dari prodi apa saja. Misalnya sarjana Biologi lanjut studi S2 di bidang data science. Di industri malah banyak data scientist bukan lulusan prodi data science. Lulusan Fisika (MIPA) juga diminati perusahaan yang mencari data scienctist karena mereka terbiasa menghadapi hitungan rumit dengan banyak variabel. Kalau suka statistika, programming, dan selalu penuh rasa ingin tahu dan kuat dalam analisa, mungkin ini bidang yang sesuai untukmu.
bgaimana pendapat agan tentang jurusan bisnis digital unpda yang akan dibuka 2018/2019. ketika saya buka webnya, ada unsur2 big data, data analisis, dan yg berhubungan dgn itu.
Kurikulumnya menarik. Coba check dosennya mumpuni atau tidak. Memilih perguruan tinggi kan banyak pertimbangannya, termasuk soal akreditasi, kualitas dosen, fasilitas belajar, jaringan kerja sama dengan industri, dsb.