Kisah kepeloporan Taddy Blecher hanyalah salah satu di antara banyak kasus dimana berpikir integratif bisa melahirkan karya besar yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Ketika orang lain berkata tidak mungkin, saya malah akan membuktikan bahwa itu bisa dilakukan.
Berakhirnya politik warna kulit (apartheid) di Afrika Selatan membuka peluang pendidikan bagi warga kulit hitam. Namun karena mayoritas adalah warga miskin, pendidikan universitas jadi terlalu mahal bagi mereka.
Seperti umumnya para pemikir integratif, Taddy Blecher menganggap kondisi ini sulit diterima. “Ketika orang lain berkata tidak mungkin, saya malah akan membuktikan bahwa itu bisa dilakukan.”
Di tahun 1990an tingkat pengangguran di kalangan warga kulit hitam mencapai 40% sebab mereka tidak punya peluang menikmati pendidikan tinggi. Blecher bertekad mendirikan universitas murah untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat kulit hitam yang tertinggal jauh akibat politik diskrimasi di masa lalu.
Semua tahu universitas adalah lembaga pendidikan tingkat tertinggi yang tentu saja memerlukan modal besar. Gaji dosen, perpustakaan, laboratorium, gedung dan lahan luas, semua membutuhkan dana sangat besar.
Dengan dana yang serba terbatas, Blecher memutuskan untuk membangun universitas dari keterbatasan. “Kita hanya perlu berpikir lebih efektif dan kreatif untuk mengatasi masalah dana,” katanya optimis.
Gedung kampusnya adalah bekas kantor pusat Investec Bank. Sejak kerusuhan dengan kekerasan dan hancurnya kota Johannesburg, para penyewa gedung ini mengungsi sehingga gedung tak lagi menghasilkan pemasukan. Itu sebabnya sang pemilik menganggap gedung ini sudah tak ada nilainya.
Para mahasiswa ikut berperan menghemat biaya operasional kampus. Mereka kuliah 8 – 9 jam sehari, lalu memasak, mencuci dan membersihkan kampus serta melakukan pekerjaan administrasi sambil mempraktikkan ilmunya.
Mahasiswa arsitektur membantu memperbaiki gedung, mahasiswa pertanian menanam tumbuhan pangan untuk mereka sendiri, mahasiswa Tourism menjalankan usaha penginapan, dan sebagainya.
Kuliah yang fokusnya pada bisnis dan kewirausahaan diajar para praktisi yang menluangkan waktu secara sukarela. Berbagai perusahaan menyumbang komputer, buku, dan aneka perlengkapan.
Upaya-upaya kreatif ini bisa menekan biaya sampai 80%. Karena biaya operasional per mahasiswa sangat kecil, ini justru mengundang banyak donatur, baik perorangan maupun perusahaan, sebab mereka tidak merasa terlalu terbebani.
Bukan itu saja. Universitas ini punya misi unik. Tiap mahasiswa diharuskan mempersiapkan 30 pelajar dari asal sekolahnya sebagai persiapan masuk perguruan tinggi ini. Lima tahun setelah lulus, tiap sarjana diharapkan bisa memberi beasiswa untuk satu mahasiswa.
Dengan strategi ini, terhitung sejak 1999, universitas ini sudah ‘menyentuh’ sekitar 600 ribu anak muda Afrika Selatan. Blecher membalikkan semua anggapan umum bahwa menyediakan pendidikan tinggi harus punya modal besar.
Kini, semakin banyak orang seperti Taddy Blecher. Mereka berusaha berinovasi untuk memberi manfaat besar bagi lingkungannya. Gerakan ini dikenal dengan sebutan Socialpreneurship.
Di Bandung ada Ridwan Kamil yang memelopori gerakan “Indonesia Berkebun”. Masyarakat antusias merespon dengan menanami lahan-lahan terbengkalai. Banyak lokasi menjadi hijau dan sejuk. Masyarakat pun menikmati panenan tumbuhannya. Pengakuan masyarakat atas karya Ridwan Kamil membawanya ke kursi wali kota Bandung.
Masih banyak tokoh muda yang inovatif seperti Ridwan Kamil. Ada Ainun Chomsun dengan “Akademi Berbagi”, Anies Baswedan dengan “Indonesia Mengajar”, dan lain-lain. Mereka mampu menciptakan perubahan di saat orang lain seolah kehabisan harapan
Agar bisa berpikir seperti itu, perhatikan ciri-ciri umum pada para pemikir integratif dengan membaca link ini.
Sumber: Roger Martin, The Opposable Mind – Winning Through Integrative Thinking, Harvard Business Press, 2009
Add Comment