Lain-lain

Berpikir Inovatif dengan Integrative Thinking

Banyak motivator mendorong orang untuk selalu mencari solusi dengan cara yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi bagaimana caranya?

Opposable-mind
(foto: rogermartin.com)

Dalam bukunya The Opposable Mind – Winning Through Integrative Thinking, Harvard Business Press, 2009, Roger Martin membahas beberapa ciri yang dimiliki pribadi kreatif yang menerapkan metode Integrative Thinking. Buku ini mengungkapkan mengapa dan bagaimana banyak orang sukses melalui cara berpikir seperti ini.

Tapi mengapa kita sulit berpikir out of the box (di luar kotak)? Menurut Martin, jawabnya terletak pada latihan bernalar yang diajarkan sekolah. Untuk menjadi inovatif diperlukan penalaran generatif (generative reasoning) sementara di sekolah yang diajarkan adalah penalaran deklaratif.

Penalaran Deklaratif 

Sebagian besar dari kita diajar menggunakan penalaran deklaratif lewat pendekatan deduktif dan induktif. Penalaran jenis ini bertujuan untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar atau salah. Ini yang terjadi di sekolah.

Pada pendekatan deduktif, kita menetapkan formula tertentu, lalu mengaplikasikan formula tersebut pada persoalan lain. Contohnya dalam Biologi kita menetapkan formula bahwa mamalia adalah hewan bertulang belakang, berdarah panas, dan melahirkan anak.

Jika formula ini diterapkan pada beruang maka rangkaian berpikirnya sebagai berikut. Apakah beruang bertulang belakang? Ya. Apakah ia berdarah panas? Ya. Apakah ia melahirkan anaknya? Ya. Jadi beruang adalah mamalia.

Jika diterapkan pada ular atau burung, maka pertanyaannya sebagai berikut. Apakah ular melahirkan anaknya? Tidak. Apakah ia berdarah panas? Tidak. Jadi ular bukan mamalia. Begitu juga burung. Ia tidak melahirkan anaknya meskipun berdarah panas. Jadi burung bukan mamalia.

Dalam pendekatan induktif, kita mengumpulkan banyak fakta, lalu menarik kesimpulan dari semua fakta tersebut. Contohnya kita mengamati bahwa matahari terbit di timur setiap pagi dan tidak dari barat, maka kita menarik kesimpulan matahari selalu terbit di timur. Teknik riset pemasaran yang dipelajari di sekolah bisnis juga menerapkan pendekatan induktif. Angka statistik dipakai untuk menarik kesimpulan.

Cara berpikir yang berorientasi benar dan salah ini memang sangat berguna, namun tidak semua persoalan bisa dicarikan solusinya dengan pendekatan ini. Di era yang butuh inovasi seperti sekarang, anak muda perlu dibekali integrative reasoning. Jadi orientasinya bukan melulu benar dan salah. Yang dicari adalah apa yang mungkin dibuat atau mungkin terjadi meskipun saat ini belum ada.

Integrative Thinking

Itu sebabnya dalam integrative thinking, orang berpikir dengan cara yang sama sekali berbeda. Berikut adalah 6 ciri yang membedakan integrative thinkers dari declarative thinkers.

1. Model yang berlaku saat ini sesungguhnya tidak mencerminkan realita

Orang inovatif tidak akan begitu saja menerima keadaan. Contohnya masyarakat umum beranggapan bahwa orang miskin di negara berpenduduk besar sulit hidup sehat sebab harga obat tidak terjangkau. Jika wabah penyakit melanda, sebagian besar penderita tak akan selamat. Ini dianggap sebagai realita atau kebenaran. Pribadi inovatif tak mau menerima ini sebagai kebenaran. Ia akan berusaha mengubah kondisi ini.

Contoh lainnya, kuliah di perguruan tinggi perlu biaya besar, khususnya jika tidak didukung beasiswa. Orang inovatif tidak bisa menerima keadaan seperti ini dan akan menganggap keadaan ini bisa diubah. Sikap seperti ini bisa melahirkan banyak perubahan besar di dunia pendidikan seperti yang terjadi di Afrika Selatan. Contoh nyata dari aplikasinya bisa dibaca pada artikel tentang Teddy Blecher.

2. Dua hal yang saling bertentangan harus bisa disatukan, bukan ditakuti.

Kadang kita berada di persimpangan dilematis akibat pemikiran yang keliru. Contohnya di satu sisi untuk berwirausaha orang perlu modal uang. Tanpa modal, mustahil usaha bisa dijalankan. Tapi di sisi lain banyak orang dari keluarga tidak mampu sulit mendapat pinjaman karena tak punya jaminan. Pribadi yang tidak kreatif akan langsung berkata:”Kalau tak punya modal ya jadi pegawai saja.”

Pribadi inovatif selalu percaya berbagai persoalan dilematis bisa dicarikan solusinya. Dalam hal ini modal bisa diperoleh sekalipun seseorang bukan dari keluarga kaya atau punya jaminan. Tidak sedikit kisah sukses anak muda yang bisa mengatasi keterbatasannya untuk meraih cita-citanya dengan pola pikir ini.

Integrative thinking mampu menggabungkan unsur terbaik dari satu kutub dengan unsur terbaik kutub lain, sekalipun kedua pilihan bertentangan.

3. Pasti ada model yang lebih baik dari pada model yang saat ini ada.

Karena tak pernah takut mempertanyakan sesuatu yang dianggap sudah lazim, mereka memang kadang dianggap aneh, eksentrik dan pendapatnya tidak masuk akal. Salah satu ciri pembeda dari pribadi inovatif  adalah sikapnya yang selalu berkata:”Mengapa tidak?” Itu sebabnya Victoria Hale sering disebut Dr. Why Not. Gagasan dan tindakan inovatif Hale bisa dibaca disini.

Pribadi inovatif selalu bersikap optimis dan percaya ada cara untuk memutar balikkan keadaan. Ia tak akan menerima suatu keadaan sebagai kenyataan yang tak bisa diubah. Ia selalu percaya pendapat orang lain bisa saja keliru, lalu mencari jawaban atau solusi yang lebih baik.

Ketika sistem operasi Linux bisa diunduh gratis, orang berpikir: “Mana mungkin mendapat untung dari software Linux yang gratisan?”. Bob Young, salah seorang pendiri Red Hat software, melihat peluang di kalangan perusahaan besar yang ingin menghemat belanja IT nya. Peluang ini luput dari perhatian para programmer lain. Dengan menawarkan kemudahan menginstal dan mengupdate sistem operasi ini, ribuan perusahaan besar tertarik membeli Linux versi Red Hat.

4. “Saya mampu menemukan model lain yang lebih baik”

Sikap optimis saja tidak akan mendatangkan hasil yang dicari. Perlu pengalaman dan keahlian. Pengalaman adalah kuncinya. Melalui pengalaman seseorang akan memperoleh rasa percaya diri bahwa ia mampu menemukan solusi yang dikehendaki. Melalui pengalaman pula seseorang meningkatkan skillnya. Kombinasi self-confidence dan skill akan lebih menjamin tercapainya hasil.

5. “Saya sanggup menjalani dan melewati berbagai kesulitannya”

Untuk menghasilkan karya hebat seperti yang dilakukan Victoria Hale perlu upaya luar biasa. Sering kita dengar seseorang berkata:”Kenapa hal itu tak terpikir tadi?” ketika ia menyadari telah membuat kekeliruan. Hale tentu mengalami banyak rentetan peristiwa seperti ini, tapi ia sanggup mengulangi pekerjaannya terus menerus hingga meraih hasil yang dinantikan.

6. “Saya mau menyediakan waktu untuk menciptakan model yang lebih baik”

Mungkin hal tersulit untuk diajarkan adalah kesabaran. Sikap ingin mencapai tujuan dengan cepat membuat orang merasa jengah menunggu hasilnya, lalu menyerah, puas dengan hasil biasa-biasa saja, atau malah gagal.

Bagaimana caranya?

Memang, tidak semua orang mampu menjadi integrative thinker, sebab kesabaran ternyata salah satu unsur utamanya. Itu sebabnya banyak orang mencapai karya gemilangnya ketika sudah matang berkiprah di bidangnya dan sudah belajar sabar. Tapi kalau kita sabar, mengapa menunggu sampai tua untuk menghasilkan karya terbaik kita?

Oleh sebab itu, selain belajar di sekolah atau di universitas, kembangkan juga kemampuan berpikir integratif. Caranya, cari masalah di sekitar kita, lalu coba upayakan solusinya. Yang tampak parah seringkali masih bisa diperbaiki, bahkan di saat orang lain menyerah.

 

Sumber: Roger Martin, The Opposable Mind – Winning Through Integrative Thinking, Harvard Business Press, 2009 

Ads 2-04

About the author

Budi Prasetyo

Budi Prasetyo

Budi Prast adalah Founder jurusanku.com. Selain aktif melakukan penelitian di bidang pendidikan, bersama Ina Liem ia menulis “7 Jurusan Bergaji Besar”, "Kreatif Memilih Jurusan", dan "Majors for the Future". Minat utamanya meliputi pendidikan, data analytics, dan design thinking. Ia juga salah seorang Kontributor Kompas KLASS untuk rubrik #baca.

Add Comment

Click here to post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*