Career and Study

Jurusan Seni (Fine Art)

shutterstock_104870906
(Tulisan Ina Liem ini dimuat di tabloid KONTAN atas kerja sama dengan HSBC Bank. Semoga bermanfaat.)

Banyak orang tua bangga apabila anaknya yang masih kecil pandai menggambar dan menari. Kelas ekstra kurikuler menggambar dan balet, khususnya di tingkat TK dan SD, biasanya cepat penuh.

Namun, setelah anak lulus SMA dan ingin menekuni bidang seni, umumnya yang terpikir adalah karier di bidang arsitektur dan desain. Jurusan seni sering dilupakan dan tidak dijadikan pilihan.

Di samping itu, umumnya para orang tua menganggap jurusan seni kurang serius dan tidak memiliki masa depan jelas. Padahal bagi yang memang berminat, dunia seni membuka peluang karier independen yang cukup luas dan menjanjikan. Selain menjadi seniman itu sendiri, mereka bisa berkarier sebagai art dealer, art manager, art restorer dan kurator.

Seringkali ada pertanyaan: “Kalau ingin bisa melukis, bukankah kursus di sanggar seni saja cukup? Apa harus kuliah?” Bagi yang ingin serius terjun ke industri ini, lebih baik tidak setengah-setengah dan sekedar kursus. Kuliah di jurusan fine art memberi bekal yang lebih utuh. Karya seni yang bernilai seringkali merupakan ungkapan permenungan atau pemikiran yang dalam. Jadi seniman membangun ide dulu, baru menuangkannya ke kanvas. Jadi selain teknik melukis, masih banyak yang harus dipelajari .

Membangun konsep dan ide merupakan tantangan tersendiri bagi seniman. Wawasan ilmu sosial dan politik akan memperkaya ‘perbendaharaan’ pengetahuan sang seniman agar bisa melahirkan karya-karya unik dengan pesan moral atau protes yang disampaikan secara kreatif. Karya yang baik harus membangkitkan inspirasi penikmatnya.

Maka tak perlu heran jika banyak pelukis papan atas dari Indonesia umumnya lulusan sekolah seni, karena yang dilukis tidak sekedar pasar, sawah, bunga dan ikan koi. Beberapa pelukis kita seperti Agus Suwage, Yunisar, Alfie, Yusra dan Nyoman Masriadi dijuluki ‘the big boys with a lot of zeros’ karena harga lukisannya mengandung banyak angka nol.

shutterstock_99759137

Begitu juga Eko Nugroho yang karyanya ditampilkan pada Venice Biennale tahun 2013 lalu, ajang bertemunya seniman dan perusahaan internasional. Berkat acara tersebut, nama Eko Nugroho dikenal dunia. Ia bahkan diminta membuat desain scarf yang eksklusif untuk rumah mode Louis Vuiton.

Beberapa pelukis wanita juga membawa nama Indonesia ke kancah internasional. Contohnya Christine Ay Tjoe asal Bandung yang karyanya pernah dipamerkan di the Johnson Museum, Cornell University, New York, dan di Beijing International Art Biennale. Ay Tjoe termasuk seniman yang karyanya banyak diburu di galeri lelang seperti Christies dan Sotheby’s.

Perempuan perupa lainnya adalah Erica. Seniman Yogya yang menuntut ilmu hingga ke Surikov Institute of Art, Rusia ini sudah berpameran di banyak negara. Gaya lukisan dua dimensinya yang warna-warni dan ‘kekanak-kanakan’ memberi nuansa lain di mata penikmat seni.

Menariknya, lulusan sekolah seni tidak harus jadi seniman. Ada yang menjadi pengusaha di bidang seni seperti Monica Gunawan, pemilik Art1 Museum and Gallery di Kemayoran, Jakarta. Lulusan jurusan Museum Management dengan peminatan Art Restoration di Palazzo Spinelli di Firenze, Italia ini punya profesi yang tergolong langka. Selain memiliki museum dan galeri seni yang sering digunakan sebagai venue acara-acara kedutaan besar di Jakarta, Monica juga menyediakan jasa merawat dan membetulkan lukisan. Di antara ratusan ‘pasien’ nya, ada satu karya Picasso yang ‘berobat’ padanya.

Spesialisasi lain di bidang ini adalah kuratorial. Mia Maria, salah satu kurator muda Indonesia yang menangani Singapore Biennale 2013, adalah lulusan dari Victorian College of the Art, Melbourne, Australia.

Seni patung juga merupakan sebuah pilihan yang tak bisa diremehkan. Kita lihat Dolorosa Sinaga, pematung Indonesia yang karyanya banyak bercerita tentang perempuan. Banyak patungnya dibeli kolektor seni dengan kisaran harga puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Lulus dari Institut Kesenian Jakarta, Dolorosa melanjutkan studi ke berbagai negara, termasuk St Martin’s School of Art di London, Karnarija Lubliyana di Yugoslavia, San Francisco Art Institute, dan The University of Maryland di Amerika. Untuk menyempurnakan teknik mematungnya, ia khusus belajar metode proses pencetakan perunggu di Berkeley, Amerika Serikat.

Dewasa ini, benda seni bukan lagi sekedar hiasan tetapi sudah menjadi komoditas incaran kolektor dan investor. Banyak gedung perkantoran dan hotel juga membutuhkan produk seni. Indonesia memiliki kekayaan budaya dengan keunikan tersendiri yang ‘laku dijual’ di dunia internasional. Jadi karier di bidang seni bisa dijadikan salah satu pilihan ‘serius’ bagi generasi muda kita.

Ads 2-04

About the author

Ina Liem

Ina Liem

Ina Liem sudah belasan tahun berkecimpung di dunia pendidikan, terutama pendidikan di luar negeri. Ia telah memberi konsultasi, seminar, dan presentasi di hadapan puluhan ribu pelajar dan orang tua murid di banyak kota dan di beberapa negara tetangga. Selain menjadi Kontributor rubrik EDUKASI di KOMPAS KLASS, Ina adalah penulis (author), pembicara (public speaker), dan Certified Career Direct Consultant.

Add Comment

Click here to post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*