Merancang Kota Wisata, Tantangan bagi Mahasiswa Indonesia
“Work hard, play hard”. Setelah lelah beraktivitas seminggu penuh, orang biasa berakhir pekan di kota terdekat yang indah atau sejuk. Sayangnya pilihan destinasinya itu-itu saja.
Bagi orang Surabaya dari dulu weekend destination nya hanya Malang, Batu, atau Tretes. Celakanya, semuanya ini lewat rute yang sama. Kemacetan luar biasa di Porong, memasuki Malang, dan jalan menanjak ke Batu, selalu terjadi.
Di tempat tujuan pun keadaannya sudah crowded. Ini mengurangi kenyamanan. Untuk makan dan cari tempat parkir sulit. Ini juga dialami kota lain seperti Jakarta, Bandung, dan Medan.
Ada anggapan, pemandangan alam tujuan wisata harus indah dan udaranya sejuk. Padahal banyak orang mencari pengalaman / kegiatan unik, menjelajah sambil membayangkan dunia tempo doeloe, atau sekadar memanjakan mata dengan pemandangan yang tidak dijumpai setiap hari. Keunikan tiap daerah bisa dikembangkan untuk ini.
Inilah tantangan bagi calon mahasiswa Indonesia yang berminat mengambil Program S-2 dengan gelar MLitt in Tourism, Heritage and Development di University of Glasgow, Skotlandia, Inggris. Cara mengembangkan kota-kota tematis di sejumlah tempat di Skotlandia bisa dijadikan contoh.
Kota-kota Tematis di Skotlandia
Untuk menghidupkan sebuah wilayah menjadi tujuan wisata, beberapa kota kecil di sekitar Dumfries, Skotlandia layak jadi bahan pembelajaran. Sejak tahun 1998, di sana ada tren mem-branding kota-kota kecil dengan tema unik untuk menarik wisatawan. Ada tiga kota kecil yang dijadikan proyek inisiatif, yaitu Wigtown Book Town, Kirkcudbright Artists’ Town, dan Castle Douglas Food Town.
Dalam 10 tahun, Wigtown yang hanya berpenduduk 1.100 orang berubah menjadi kota kecil yang ramai dengan para pencinta buku. Kota yang tadinya hanya punya 1 toko buku bekas, kini mempunyai 13 toko buku dan berbagai bisnis terkait perbukuan, serta 1 galeri. Selain jumlah turis meningkat, investor berdatangan menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang menopang kesinambungan ekonomi setempat dan meningkatkan nilai properti.
Ini juga dialami Kirkcudbright. Kota kecil dengan 3.600 penduduk ini selama ratusan tahun mengandalkan pelabuhan perikanan dan pelabuhan minyaknya sebagai sumber pendapatan utama. Namun sejak 1980-an, tren bisnis berubah. Perikanan dan minyak merosot. Tetapi kota ini cepat melihat peluang untuk memulihkan kondisi ekonominya.
Menilik sejarah Kirkcudbright, selama 100 tahun terakhir para seniman berdatangan ke kota ini untuk mencari ide dan menghasilkan karya. Berangkat dari keunikan ini, para pengembang pariwisata melihat potensi untuk menciptakan kota tematis.
Kirkcudbright pun mendapat brand baru sebagai “Kota Seniman”. Rumah peninggalan seorang seniman terkenal, EA Hornell, disulap menjadi galeri seni. Sejak tahun 2000 beberapa galeri seni kecil milik swasta bermunculan. Ini menguatkan cap sebagai kota seniman.
Dalam beberapa pameran, kota ini bahkan mampu memajang karya-karya seni kelas dunia seperti Monet, dan mendatangkan pengunjung yang jauh lebih banyak dari jumlah penduduk kota itu sendiri. Hebatnya, untuk membiayai ahli pengembangan wisata, komunitas setempat berhasil menghimpun dana lewat dua organisasi non-pemerintah.
Namun, inisiatif saja kadang belum cukup. Pekerjaan rumit yang melibatkan banyak pihak ini memerlukan keahlian yang mumpuni, khususnya di bidang pengembangan wisata. Dengan konsep matang dari ahlinya ditambah gerakan community-based, kita boleh optimistis banyak perubahan positif bisa dihasilkan demi pariwisata Indonesia yang lebih baik.
Berbekal ilmu pengembangan pariwisata, apa yang bisa kita lakukan untuk membangun tujuan-tujuan wisata baru yang tak kalah menarik dibanding destinasi yang sudah populer saat ini? Simak gagasan tentang potensi kota Pasuruan di Jawa Timur dan contoh nyata hasil pengembangan wisata baru di Klaten (baca bagian 4)
Add Comment