Selain dokter dan insinyur, pilot menjadi profesi yang jamak diimpikan anak-anak. Akan tetapi, apakah cita-cita tersebut akan tetap bertahan dan berusaha diraih pada kemudian hari?
Dari survei penulis terhadap 5.320 siswa SMA swasta di 11 kota di Indonesia, hasilnya mengecewakan. Hanya 22 siswa atau 0,41 persen yang berminat jadi penerbang dan di antara mereka hanya ada 1 perempuan. Padahal, bidang ini sangat menarik dan menantang, apalagi bagi mereka yang tidak suka kerja kantoran dan senang mencari “kebebasan”.
Peluangnya pun terbuka lebar. Di Indonesia saja, bidang tersebut tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Maskapai penerbangan berlomba-lomba menambah jumlah armada, tetapi sayangnya pertumbuhan tersebut kadang tidak sebanding dengan jumlah pilot di dalam negeri.
Menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan Bobby R Mamahit, kita hanya bisa memenuhi 50 persen dari target pilot yang dibutuhkan. Saat ini, sekolah-sekolah penerbangan di Indonesia menghasilkan sekitar 400 pilot tiap tahun, sementara kebutuhannya sekitar 800 pilot. Akibatnya, beberapa perusahaan penerbangan nasional terpaksa mempekerjakan pilot asing.
Sekolah penerbang
Kebutuhan akan pilot tidak mudah dipenuhi. Salah satu kendalanya karena fasilitas beberapa sekolah belum memadai. Umumnya, karena jumlah pesawat latih yang dimiliki minim, waktu pendidikan menjadi lebih panjang karena siswa harus menunggu giliran mendapat kesempatan terbang. Penambahan jumlah pesawat tidak gampang mengingat harganya yang tidak murah.
Kendala lain soal biaya. Sekolah penerbangan memang terkenal mahal, apalagi yang memiliki fasilitas dan reputasi internasional. Namun, bidang ini termasuk salah satu pendidikan profesi yang paling cepat tingkat pengembalian modalnya. Sekadar ilustrasi, gaji pilot first officer di Garuda sekitar Rp 20 juta. Itu baru gaji pokok. Ditambah uang terbang, total bisa sekitar 4.000 dolar AS (Kompas, 28 Agustus 2013).
Salah satu sekolah penerbangan yang memiliki fasilitas dan reputasi internasional adalah Massey University di Selandia Baru. Lokasi pelatihan di Palmerston North yang sering dilalui angin kencang dan hujan menjadikannya sebagai medan latihan yang tepat bagi calon penerbang untuk mengasah kemampuan terbang dalam kondisi sulit.
Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun, Massey menawarkan jenjang studi dari Certificate in Aviation Studies (nongelar) hingga ke jenjang PhD (gelar doktor) in Aviation. Bahkan, Massey merupakan satu-satunya sekolah pilot di Selandia Baru yang menawarkan program setara S-1, yaitu Bachelor of Aviation. Pendidikan penerbangan bergelar sarjana ini terbilang langka di seluruh dunia.
Di sekolah penerbangan lain, umumnya masa studi hanya 1–2 tahun, tetapi di Massey bisa 3–4 tahun. Ketika lulus, mereka tidak hanya mengantongi ijazah sarjana (Bachelor of Aviation), tetapi juga memperoleh Commercial Pilot Licence dan Multi-Engine Instrument Ratings yang mutlak diperlukan untuk melamar pekerjaan di maskapai penerbangan komersial besar.
Mengapa lebih lama? Massey tidak hanya melatih mahasiswa menjadi pilot, tetapi juga membekali mereka untuk menjadi flight deck manager yang mampu memimpin semua kru di pesawat. Mereka harus memahami sisi bisnis dan keselamatan secara menyeluruh. Lulusannya diharapkan menjadi pilots with a difference.
Selain itu, program studi ini memungkinkan lulusannya melanjutkan ke post graduate study di bidang aviation management. Ini membuka peluang bagi yang ingin pensiun jadi pilot dan masuk level manajemen perusahaan penerbangan.
Untuk urusan fasilitas, Massey University School of Aviation “dipersenjatai” fasilitas praktik modern. Untuk latihan terbang, ada 12 pesawat latih tipe Diamond DA40 bermesin tunggal dan 2 pesawat latih jenis Diamond DA42 bermesin ganda yang semuanya baru berusia 2 tahun. Masing-masing pesawat latih dilengkapi glass cockpit Garmin 1000 display model mutakhir.
Asal tahu saja, instrumen tersebut memberi informasi peta gerak digital, sistem peringatan bahaya ketinggian permukaan daratan, dan sistem untuk menghindari tabrakan udara. Teknologi terbaru ini sangat menentukan keselamatan selama pendidikan.
Soft skills
Dalam buku berjudul Outliers, Malcolm Gladwell menyebutkan penyebab kecelakaan pesawat biasanya melibatkan tujuh macam human errors. Tujuh kesalahan tersebut sebagian besar menyangkut soal team work dan komunikasi. Pada 44 persen kecelakaan, kedua pilot (kapten dan first officer) belum pernah terbang bersama sebelumnya, jadi mereka belum nyaman satu dengan yang lain.
Kemudian, khususnya dalam penerbangan internasional, masalah bahasa sangat berpengaruh. Saat terjadi emergency, pilot terkadang terlalu capek untuk berpikir dalam bahasa Inggris karena lebih terbiasa dengan bahasa ibu.
Kultur juga sering jadi kendala. Budaya terlalu sopan dan merendah mungkin tidak sesuai ditampilkan saat kondisi darurat. Pesawat Kolombia, Avianca 052, mengalami kecelakaan di New York tahun 1990 karena kehabisan bahan bakar. Saat mau mendarat, pilot gagal menyampaikan kondisi mendesak sehingga tidak diprioritaskan untuk mendarat dengan segera.
Air Traffic Controller mengatakan, “I’m gonna bring you about fifteen miles northeast and then turn you back onto the approach. Is that okay with you and your fuel?”. Sang first officer menjawab, ”I guess so. Thank you very much.”
Padahal, saat itu, pesawat sudah kehabisan bahan bakar dan first officer hanya mengatakan, “I guess so” karena budaya Kolombia yang mungkin mirip dengan Indonesia, sungkan mengutarakan perbedaan pendapat. Sebaliknya, orang Amerika mungkin akan berkata,”Listen, buddy. I have to land. Now.”
Di sini jelas, pilot memang tidak bisa semata mengandalkan keterampilan menerbangkan pesawat. Kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, merupakan syarat mutlak karena menjadi bahasa dunia penerbangan yang berlaku di seluruh dunia.
Bisa bilang, “Good morning, this is your captain speaking” saja tidak cukup. Seorang pilot harus memiliki global dexterity, yakni kemampuan berinteraksi secara efektif dengan budaya lain. Umumnya, masalah perbedaan kultur di perusahaan asing bisa membuat seseorang kehilangan pekerjaan. Akan tetapi, di dunia penerbangan, problem global dexterity bisa menghilangkan nyawa banyak orang.
Tak pelak, seorang calon penerbang harus nyaman berada di lingkungan aneka budaya. Cendra Perkasa, pilot alumnus Massey University yang kini jadi first officer di Garuda Indonesia mengatakan, team building merupakan faktor yang sangat penting, terutama dalam bekerja sama dengan awak pesawat yang multinasional dan multikultural. Para mahasiswa Massey dilatih untuk saling mengenal kelebihan dan kekurangan teman dalam tim sehingga mampu menangani masalah di saat darurat.
Instruktur di Massey mengenal betul perbedaan kultur, terutama Asia, yaitu orang yang lebih muda tidak seharusnya mempertanyakan atau menentang atasan. Oleh sebab itu, awak yunior dilatih agar percaya diri untuk mengingatkan kapten saat membuat kesalahan. Di lain pihak, kapten harus mau mendengar karena siapa saja bisa berbuat salah.
Cendra memilih Massey karena ada penekanan terhadap keselamatan dan problem solving. Menjadi pilot tidak hanya belajar mengemudi, tetapi juga manajemen dan kemampuan membuat keputusan.
Ya, mengejar cita-cita jadi penerbang memang tidak mudah. Selain mahal, banyak syarat lain. Namun, hal tersebut tidak mengurangi daya tariknya. Siapa yang tak mau tampil keren, bergaji besar, pergi ke tempat-tempat terbaik dunia, dan menikmati pure freedom yang tak bisa didapat di darat?
Ina Liem
Author and CEO JURUSANKU
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Selamat siang mbak Ina,..
tulisannya menarik sekali bagi saya, krna memang saya sangat tertarik untuk menjadi seorang pilot.