Kompas Articles

Menjadi Pribadi Adaptif di Era Serba Disruptif

liberal-(featured)
(Ini adalah lanjutan artikel Ina Liem yang terbit di Kompas KLASS, Jumat   Mei, 2016. Bagian pertama tulisan ini bisa dibaca di sini)

 

“It’s in Apple’s DNA that technology alone is not enough.”

Bukan itu saja yang dinyatakan Steve Jobs pada tahun 2010. “Teknologi yang berpadu dengan liberal arts, dengan wawasan humaniora lah yang membuahkan produk hebat,” lanjut Jobs menjelaskan.

Menurut data, dalam 10 tahun mendatang, Indonesia kekurangan sekitar 15 ribu insinyur per tahun (Amich Alhumami, Harian Kompas 7 April 2016). Persoalan serupa dihadapi negara lain termasuk Amerika Serikat yang kekurangan lulusan STEM (science, technology, engineering, math). Selain jumlah, lulusan seperti apa yang sungguh kita butuhkan?

Dr Loretta Jackson-Hayes, dosen kimia di Rhodes College, Memphis, membuat pernyataan singkat. “Jika lulusan STEM Amerika ingin tetap memimpin dunia di bidang inovasi, pendidikan sains tidak boleh dipisahkan dari liberal arts.” (washingtonpost.com).

Pendidikan bergaya liberal arts memang tidak lazim. “Benar sekali, harus banting setir! Awalnya, otak serasa jumpalitan, tetapi kemudian saya jadi kagum karena ternyata ada lho cara berpikir seperti ini,” kata Gaia mengenang. Bahwa interpretasi bisa berbeda, harus beralasan, dan tidak serba hitam-putih, membuat pikiran jadi terbuka dan sikap sok benar sendiri terkikis habis.

Setelah saling membandingkan argumen, mereka jadi memahami dan menghargai fakta bahwa ternyata memang ada masalah yang solusinya tidak sederhana.

Karena terbiasa berpikir keras menghadapi aneka materi, persoalan, serta cara berpikir baru, lulusannya punya kemampuan beradaptasi yang tinggi. Sikap menghindar seperti “Maaf, tapi ini bukan bidang saya,” terdengar asing di telinga mereka. Justru menghadapi “yang bukan bidangnya” adalah hal biasa sejak kuliah.

“21st century skills”

Dengan caranya yang unik, liberal arts mencetak lulusan yang mampu terus berkembang atau bahkan mengubah dunia. Banyak usaha rintisan (start up) sukses berasal dari liberal arts college, antara lain karena mereka terbiasa dengan disruptive thinking. Tren terbaru, karena dinilai memiliki karakter yang paling dicari di abad ke-21, lulusannya banyak diminati para CEO di Amerika, terutama perusahaan teknologi.

Clark University: Suasana diskusi perubahan iklim dan ekonomi di acara Climate Change Teach-in, satu hari yang berisi pembicaraan, diskusi, dan lokakarya berkaitan dengan perubahan iklim (foto: Gaia Khairani)
Clark University: Suasana diskusi perubahan iklim dan ekonomi di acara Climate Change Teach-in, satu hari yang berisi pembicaraan, diskusi, dan lokakarya berkaitan dengan perubahan iklim (foto: Gaia Khairani)

Dengan kemampuan belajar secara mandiri, berpikir analitis dan kritis, wawasan luas, pendekatan multidisipliner, dan kreatif, mereka tidak merasa gamang menghadapi masalah di luar keahliannya. Bukankah semua ini yang dibutuhkan untuk menghadapi abad ke-21 yang kompleks, beragam, dan cepat berubah?

Hampir pasti, penemuan yang disruptif (merusak tatanan yang ada) akan terus bermunculan dan akan terus mengubah peta profesi serta industri. Ketika orang kebingungan akibat kariernya terhambat atau bahkan di-PHK, lulusan liberal arts akan lebih siap beradaptasi atau mereka malah ikut mengubah keadaan dengan ide baru.

Pendidikan liberal arts memang bukan untuk semua orang. Selain pilihan universitasnya terbatas, biayanya tidak murah karena kelasnya kecil dan selalu dibimbing dosen, bukan asisten dosen. Beberapa yang cukup terkenal antara lain Williams College, Bowdoin College, Pomona College, Illinois Wesleyan University, Swarthmore College, dan Middlebury College.

Banyak orang memilih universitas berdasarkan rankingnya. Namun, perlu diingat, ranking tertinggi umumnya diraih universitas yang berorientasi riset (research-based). Universitas yang fokusnya pada praktik dan hubungan dengan industri, di Eropa dinamai University of Applied Sciences. Di Australia, universitas semacam ini dikelompokkan ke dalam ATN (Australian Technological Network).

Namun, bagi pelajar yang penuh curiosity, berpikiran terbuka, dan ingin belajar berkolaborasi dengan berbagai pihak tanpa batasan bahasa, budaya, kelas sosial, politik dan agama, perguruan tinggi dengan pola liberal arts mampu memenuhi harapan mereka.

Sistem yang berakar dari tradisi pendidikan Yunani Kuno ini memang sempat dicap tidak mencetak lulusan yang siap kerja. Namun, kini keadaan berbalik. George Anders malah menulis untuk majalah Forbes, judulnya “Gelar Liberal Arts yang ‘Tak Berguna’ Itu Telah Menjelma Menjadi Tiket Paling Hot Menuju Perusahaan Teknologi.”

Untuk membaca bagian pertama artikel ini, “Memilih Perguruan Tinggi Berorientasi Perubahan”, klik di sini.

Ina  Liem

Authir and CEO Jurusanku

@InaLiem

@kompasklass #edukasi

Ads 2-04

About the author

Ina Liem

Ina Liem

Ina Liem sudah belasan tahun berkecimpung di dunia pendidikan, terutama pendidikan di luar negeri. Ia telah memberi konsultasi, seminar, dan presentasi di hadapan puluhan ribu pelajar dan orang tua murid di banyak kota dan di beberapa negara tetangga. Selain menjadi Kontributor rubrik EDUKASI di KOMPAS KLASS, Ina adalah penulis (author), pembicara (public speaker), dan Certified Career Direct Consultant.

Add Comment

Click here to post a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*