“Bayar uang pas saja”, kata si mbak dengan ketus. Bukan satu atau dua orang saja yang pernah diperlakukan seperti ini di supermarket. Ternyata tidak semua orang bisa melayani, padahal kemampuan memberi layanan bermutu bisa membawa seseorang pada tingkat kehidupan sangat layak, bukan hanya secara finansial tetapi juga dalam karir.
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan bahwa para dokter di Indonesia sama hebatnya dengan para dokter di luar negeri. Jadi ia menghim- bau warga negara kita untuk tidak pergi berobat ke negara tetangga. Memang, dokternya mungkin sama pintarnya. Tapi berobat bukan cuma soal kepintaran dokternya. Ada banyak pertimbangan lain.
Pertimbangan utama orang berobat ke luar negeri biasanya adalah soal pelayanan rumah sakit secara keseluruhan. Dokternya tepat waktu dan bisa memberi penjelasan memuaskan, para perawatnya ramah, kompeten dan sangat gesit melayani, sistem informasi di rumah sakit sangat baik, tingkat kebersihan dan kecanggihan peralatannya, dan masih banyak unsur lain
BELAJAR dari TETANGGA
Mari kita tengok tetangga kita. Selain rumah sakitnya yang terkenal, Mt. Elizabeth misalnya, Singapore juga unggul di industri penerbangannya. Singapore Airlines sudah lama menyandang gelar sebagai maskapai penerbangan dengan pelayanan terbaik di dunia. Kita tidak perlu malu untuk belajar dari negara berjumlah penduduk mini ini. Salah seorang konsultan yang pernah ikut membentuk model layanan di Singapore Airlines adalah Ron Kaufman. Mungkin kita bisa belajar dari dia.
Dalam bukunya “UP YOUR SERVICE”, Kaufman menyebut 6 tingkatan layanan. Apapun bidangnya, layanan sebuah perusahaan, kantor atau organisasi selalu bisa dikelompokkan di sini. Tingkat terendah dalam hirarki Kaufman diduduki olah layanan tingkat KRIMINAL. Ini yang akan kita bahas pada artikel kali ini.
LAYANAN KRIMINAL
Pada layanan dengan tingkat terendah atau kriminal, Kaufman memberi definisi:
Terjemahannya kira-kira: “Layanan Kriminal sangat buruk. Ini adalah jenis layanan yang bahkan tidak memenuhi harapan minimal, jenis layanan yang membuat pelanggan anda selalu ingat untuk TIDAK kembali lagi, dan begitu marah sampai ia menelpon dan komplain.
REALITA
Penulis punya pengalaman seperti ini. Waktu masuk sebuah taksi di Jakarta, penulis mendapat beberapa kejutan pahit. Pertama, sopir taksi tidak ramah. Baiklah, mungkin ini karena dia berpendidikan rendah. Kedua, taksinya bau asap rokok. Ketiga, lapisan joknya sudah robek di beberapa bagian dan beberapa remasan kertas tercecer di lantai taksi, tumpah dari kotak sampahnya. Keempat, di siang yang panas itu ternyata AC mobil tidak dingin seperti kehabisan freon. Ketika penulis komplain, si sopir malah balik marah.
Contoh lainnya tercermin dari potongan Surat Pembaca di koran Jawa Pos, Selasa, 26 Maret 2013.
Layanan dengan tingkat kualitas terendah ini tidak hanya dijumpai pada usaha kecil dan menengah. Perusahaan yang mengklaim bertaraf internasional pun kadang kala menunjukkan perilaku serupa. Bisa saja perusahaan besar secara umum tampil memuaskan di mata pelanggan, namun tidak tertutup kemungkin an dalam beberapa kasus ia terjerumus ke layanan terendah. Keluhan yang paling sering muncul di surat kabar adalah soal layanan Kartu Kredit dari bank.
Mencari bentuk layanan buruk di sekitar kita saat ini sepertinya tidak sulit. Angkutan penumpang, layanan kependudukan, pengelolaan bandar udara dan stasiun, rumah makan, supermarket, bahkan hotel pun masih sering gagal meraih pujian dari para customer.
Perusahaan negara tidak mau kalah soal ini. Mungkin perusahaan negara yang sudah ribuan kali dikomplain adalah PLN. Keluhan pelanggan bukan hanya karena layanan PLN tidak profesional, namun sudah sampai pada taraf merugikan secara finansial. Bayangkan berapa kerugian yang timbul ketika sebuah mesin cetak atau mesin pabrik mati. Hebatnya lagi, dulu hal seperti ini bisa terjadi kapan saja tanpa pemberitahuan.
TINGKAT DASAR
Tingkat layanan yang sedikit lebih baik masuk kategori BASIC. Kaufman menjabarkannya sebagai berikut:
Basic service is disappointing. It’s the point of frustration that can turn into anger—but when it’s over the customer is not disappointed enough to complain. However, he will tell his friends, and will remember not to call you for that kind of service again.
Artinya, layanan BASIC mengecewakan. Ini merupakan titik frustrasi yang bisa berubah menjadi kemarahan – namun ketika layanan berakhir si pelanggan tidak terlalu kecewa sampai harus mengajukan komplain. Meskipun demikian, ia akan bercerita kepada teman-temannya, dan akan selalu ingat untuk tidak menghubungi anda lagi untuk layanan yang sama.
APA UNTUNGNYA?
Lalu apa kaitannya dengan kita? Banyak sekali. Manusia tidak hidup sendiri. Dalam keseharian, kita selalu berurusan dengan pihak lain. Kadang kita di pihak pengguna jasa, dan kadang kita adalah penyedia jasa. Dengan menjadi lebih peka terhadap bentuk layanan yang buruk, kita tidak hanya bisa mencela atau komplain, tapi juga mampu memperbaiki layanan kita kepada pihak lain.
Kemampuan memberi layanan prima berdampak sangat besar bagi pihak pemberinya. Sebuah hotel yang mengharuskan para karyawannya menghafal nama para tamu dan menyapa mereka dengan menyebut nama tamunya tentu akan diingat selalu. Begitu juga seorang penjual buah keliling yang mengajari pembeli dalam memilih buah yang manis tentu akan mudah mendapatkan langganan setia.
Masih banyak contoh layanan busuk di sekitar kita, namun daripada mengeluh, sebaiknya kita mulai introspeksi. Sudahkah kita sendiri mengutamakan kepentingan orang lain, khususnya mereka yang sudah semestinya layak kita perlakukan dengan baik? Senyum hanyalah langkah awal. Langkah selanjutnya adalah bagaimana membuat pelanggan puas, kembali lagi, dan merekomendasi kan kita kepada teman-temannya.
BICARA ITU GAMPANG
Slogan “Kami melayani dengan hati” mudah diucapkan. Prakteknya tidak mudah. Selain perlu pengorbanan, pelayanan adalah sesuatu yang mesti dipela jari dan dijiwai. Bentuk-bentuk layanan mesti dipikirkan dan direncana kan dengan cermat. Menjalankannya juga perlu latihan dan kesungguhan agar terbentuk perilaku yang wajar, tidak dibuat-buat.
Meskipun sulit, berjuang demi pelayanan prima membuahkan hasil manis. Coba saja lihat mereka yang sukses, apapun bidangnya. Hampir pasti, mereka adalah pribadi-pribadi yang fasih melayani. Jadi, pintar pelajaran sekolah saja belum cukup.
Ironisnya, pendidikan formal tidak secara khusus mengajarkan etika dan prinsip-prinsip melayani secara rinci. Untuk menghasilkan generasi muda yang berwawasan entrepreneur, nampaknya masih banyak yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan kita.
Pertanyaan:
Apa yang bisa dilakukan para pendidik, formal maupun informal, untuk menyiapkan generasi muda yang peka dan mampu menciptakan layanan unggulan?
Saya adalah seorang guru di SMAK St. Hendrikus Surabaya. Jiwa seorang guru adalah mendidik (bukan hanya mengajar) para siswanya. Dalam mendidik, sudah selayaknya seorang guru tidak membedakan siswanya. Semua siswa berhak mendapat pengetahuan secara adil. Siswa yang pintar dan siswa yang belum pintar (saya tidak suka memakai istilah bodoh) berhak mendapat pelayanan yang sama dari sang guru.
Apabila siswa melihat gurunya melakukan hal tersebut dengan baik dan natural (tidak dibuat-buat), di dalam maupun di luar kelas; dalam diri siswa akan timbul pula semangat pelayanan. Dalam skala kecil, siswa yang cepat menguasai suatu materi akan membantu temannya yang kesulitan dan belum terjangkau oleh sang guru.
Dalam skala besar, siswa akan menunjukkan semangat pelayanan kepada teman-temannya di lingkungan luar sekolah dan masyarakat. Harapan saya, masyarakat juga akan mendapat influence sehingga budaya pelayanan (bukan pelayan) dapat terbentuk.
Terima kasih.