“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati martabatnya sendiri dan mampu memperlakukan bangsa lain secara wajar.”
Artikel ini diilhami sebuah buku berjudul “Global Dexterity” karya Andy Molinsky (Harvard Business Review Press). Ada kalanya orang harus bekerja dengan orang berkebangsaan lain dan bergaul dengan mereka di luar waktu kerja. Bagi global worker seperti itu, memahami budaya lain saja belum cukup. Diperlukan kemampuan beradaptasi dengan situasi budaya lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri.
Buku ini menceritakan banyak kejadian dimana pekerja asing cerdas di suatu negara mengalami benturan dengan budaya setempat yang menyebabkan pekerjaannya kacau, bahkan ada yang dipulangkan ke negaranya sebab dianggap tidak mampu memimpin.
Sebaliknya ada juga orang yang begitu kuat akar budaya aslinya sehingga ia malah dianggap tidak kompeten di bidang pekerjaannya. Masalahnya hanya karena ia menganggap “diam itu emas” (sesuai kultur bangsanya) sementara tempat kerjanya sangat menghargai orang yang suka mengajukan pendapat.
Tanpa kita sadari, kita pun sering menjumpai peristiwa ‘gegar budaya’ dimana seseorang seperti kehilangan jati dirinya ketika berhadapan dengan orang asing, khususnya yang berkulit putih.
Seorang teman menceritakan pengalamannya naik pesawat di Indonesia bersama atasannya yang berasal dari Australia. Di atas pesawat, ia ingin ke toilet. Karena duduk di bangku paling depan, teman saya ingin menggunakan kamar kecil terdekat yang ada di business class.
Tentu saja sang pramugari tidak mengizinkan sebab itu toilet khusus untuk penumpang business class. Lucunya, saat bosnya yang bertampang bule hendak menggunakan toilet yang sama, sang pramugari justru mempersilakan.
Ada lagi cerita tentang orang Indonesia yang tinggal di luar negeri dan sedang berkunjung ke Indonesia. Selama seminggu di Indonesia dia berpura-pura menjadi orang asing dan tidak bisa bahasa Indonesia. Perlakuan dan layanan yang dia terima selama seminggu di Indonesia sungguh luar biasa.
Saya pun mengalami hal serupa. Ketika memberikan seminar untuk para guru BK di Jakarta, pihak panitia meminta saya memakai bahasa Inggris. Padahal dari sekitar 50 peserta, hanya ada 3 guru asing.
Saya tetap menyampaikan seminar dalam bahasa Indonesia. Selain mengikuti suara terbanyak, menurut saya warga asing yang bekerja di Indonesia perlu belajar bahasa Indonesia.
Kita terbiasa lebih mengutamakan orang asing daripada bangsasendiri. Tanpa disadari kita mengambil posisi di bawah. Selalu menganggap asing lebih hebat. Akibatnya, Indonesia jadi sasaran empuk bagi pengusaha asing untuk mengeruk keuntungan, cukup dengan menggunakan nama asing sebagai nilai jual. Apalagi jumlah penduduk kita sangat besar.
Perbadingan perkiraan jumlah penduduk negara-negara ASEAN.
– Vietnam kira-kira 93 juta
– Indonesia kira-kira 254 juta
– Brunei 417.000
– Thailand 67 juta
– Filipina sekitar 98 juta
– Malaysia sekitar 30 juta
Tidak mengherankan, beberapa tahun menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), mahasiswa di Thailand dan Vietnam sudah mempersiapkan diri dengan belajar bahasa dan budaya Indonesia. Mereka sudah ancang-ancang ‘menyerbu’ Indonesia.
Dengan kebiasaan kita yang memandang lebih tinggi warga asing, terbayang ancaman bagi generasi muda.Posisi-posisi penting akan diduduki mereka dan kita harus puas menjadi bawahannya. Tentu bukan ini yang kita harapkan.
Apa yang bisa kita lakukan? Salah satu strategi yang harus disiapkan bagi generasi muda Indonesia menghadapi MEA adalah memupuk kemampuan beradaptasi dengan kultur asing. Skill ini disebut Global Dexterity.
Beradaptasi bukan berarti selalu mengikuti kultur asing. Justru kita harus memahami dulu kultur kita sendiri. Mari kita pertahankan dan tingkatkan budaya yang positif, namun kita juga harus mengakui dan menyadari kebiasaan buruk kita.
Hal positif yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan antara lain:
- Keramah-tamahan dan jiwa gotong-royong
- Sopan santun, menghormati yang dituakan dan pimpinan
- Sedapat mungkin menghindari konflik
Kebiasaan negatif yang perlu dikoreksi:
- Mengutamakan orang asing dan menganggap mereka selalu lebih hebat.
- Belum mampu antri (di toilet, di jalanan, di bandara, di lift, dan lain-lain).
- Belum terbiasa mengutamakan kepentingan umum di tempat publik (parkir seenaknya, berdesakan masuk sebelum orang keluar dari lift, ngobrol sambil menghalangi jalan orang, dan sebagainya).
- Kurang mampu berkata ‘tidak’. Akibatnya kita tak mampu menegakkan aturan yang kita buat sendiri.
- Belum menghargai kerja keras. Untuk mendapat hasil kita masih sering mencari jalan pintas dengan melanggar aturan atau etika, bahkan ada yang merasa hebat jika mampu melakukannya.
Selama lima kelemahan ini masih dominan, tidak mudah memenangkan persaingan di era MEA, apalagi di tingkat global. Apabila kita ingin disegani bangsa lain, sudah saatnya kita tingkatkan harga diri kita. Budaya Indonesia yang rendah hati dan sopan memang bagus, namun jangan menjadikan kita rendah diri dan kehilangan ketegasan.
Add Comment