(Artikel pendek ini adalah sepotong kisah perjalanan Ina Liem selama seminggu di New Zealand, dan kali ini ia bercerita tentang gaya hidup unik orang Singapore yang kini tinggal di sana. Semoga bermanfaat)
Ketika berkunjung ke New Zealand atas undangan Education New Zealand, saya bertemu Arthur Chin, seorang warga asing yang memilih gaya hidup unik di sana.
Saya jadi ingat pesan kakek saya: “Jangan seperti katak dalam tempurung yang hanya melihat langit seluas lingkaran tempurungnya sendiri.”
Kita hidup hanya sekali. Sungguh sayang apabila dihabiskan di satu tempat tanpa pernah merasakan kehidupan yang berbeda dari tempat asal kita. Wawasan tidak berkembang, dan cepat atau lambat kita pasti akan digilas perubahan.
Arthur Chin lahir di Singapura dan datang ke New Zealand sebagai mahasiswa internasional program Bachelor of Commerce jurusan Management and Marketing di University of Canterbury. Setelah lulus, ia sempat berpindah-pindah kota. Ia pernah berdomisili di Auckland, Christchurch, dan Wellington, yang semuanya adalah kota besar di sana.
Saat mendapat tawaran pekerjaan di Massey University yang berlokasi di kota kecil, Palmerston North, Arthur yang saat itu tinggal di Wellington beberapa kali menempuh perjalanan 2 jam untuk mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya.
Puluhan rumah yang ditawarkan oleh agen properti tidak ada yang menggugah minatnya. Ia sempat berpikir, kenapa tidak mencoba farm house (rumah di lahan pertanian)? Ini sesuatu yang sama sekali berbeda dari kehidupannya selama ini, dan tidak akan didapatkannya di metropolitan maupun negeri asalnya.
Why not? Saat diperlihatkan pada sebuah rumah besar yang dimilikinya sekarang, Arthur langsung jatuh cinta pada pemandangan alamnya. Rumah itu berdiri di atas sebuah bukit kecil, dengan pemandangan ke gunung dan lahan yang terbentang luas di sekelilingnya, yang penampilannya berubah sesuai berubahnya posisi matahari.
Saat pindah ke rumah baru di atas bentangan padang rumput seluas 48.000 meter persegi ini, Arthur membeli beberapa domba dengan tujuan membantu ‘merapikan’ rumputnya. Dari 120 domba, jumlahnya berkembang menjadi 700 ekor di tahun berikutnya. Kini ia memiliki 2000an domba yang berlompatan di sekitar rumahnya dan suka melongok-longok ke luar pagar dengan wajah ingin tahu.
Memelihara domba tidak terlalu sulit, kata Arthur. Kadang ia mempekerjakan beberapa mahasiswa untuk membantunya di lahan. Kendala terbesar hanya pada saat domba betina hamil untuk pertama kalinya. Seringkali setelah melalui masa melahirkan yang sulit, si induk meninggalkan anak-anaknya.
Seperti layaknya merawat bayi, Arthur harus memberi susu bayi-bayi ini selama 6 minggu dengan botol bayi setiap 3 – 4 jam, bahkan saat tengah malam juga.
Meskipun demikian, Arthur percaya: “Life is about experience and learning new things”. Jadi kenapa tidak mencoba hal-hal baru dalam hidup kita?
LUAR BIASA. Setelah membaca artikel ini saya menjadi lebih termotivasi untuk masuk di dunia peternakan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Thanks info ini sangat berguna buat saya. Bila orang Indonesia diijinkan, mohon informasi siapa yang bisa saya hubungi bila mau beli tanah di sana untuk berternak?
Terimakasih sudah membaca laporan perjalanan kami ke New Zealand. Tapi maaf, kami tidak punya info yang anda maksud.
TERINOVASI SAYA SEBAGAI MAHASISWA PETERNAKAN