Harga minyak dunia yang terus merosot dari harga tertinggi di kisaran US $140 menjadi sekitar US $ 40 an membuat bisnis minyak kurang menarik. Bahkan tidak sedikit perusahaan minyak gulung tikar. Tren global, pasar batubara akan turun terus.
Selain harganya tidak lagi menarik, bahan bakar dari fosil sangat mengotori lingkungan. Itu sebabnya dunia mulai menambah pasokan energi yang baru dan terbarukan (EBT) untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fossil. EBT bisa bersumber dari tenaga surya, air, ombak, panas bumi, biomasa, dan angin.
Menariknya, EBT bisa menyejahterakan karena masyarakat bisa mengoperasikan sendiri, tidak tergantung perusahaan listrik. Tak heran beberapa negara maju mulai gencar memakainya. Jerman bahkan mencanangkan 100 persen EBT tahun 2050.
Indonesia pun demikian. Pemerintah terus meningkatkan pemakaian EBT dari tahun ke tahun. Kita amat kaya sumber daya EBT. Potensinya mencapai 800 gigawatt. “Yang kita gunakan 8.000-9.000 megawatt, baru sekitar 1 persennya. Jika tidak terjun ke EBT sekarang, Indonesia akan tertinggal. Hanya akan jadi pasar,” ujar Manajer Energi dan Iklim World Resources Institute, Almo Pradana (Kompas 25 Agustus 2016).
Untuk itu ke depan kita membutuhkan banyak ahli di bidang EBT ini. Mereka ini lah yang punya kemampuan memahami EBT sekarang dan masa datang, membuat konsep penghematan energi bagi industri dengan memanfaatkan berbagai teknologi hemat energi.
Dengan memahami karakter sumber EBT (surya, angin, panas bumi, biomasa, dan air) serta hitungan untung ruginya, mereka bisa merancang sistem energi terbarukan. Mereka juga mampu menghitung manfaatnya baik secara sosial, ekonomi, maupun kebersihan lingkungan.
Sayang sekali, saat ini jumlah anak bangsa yang menguasai bidang ini masih sangat jarang. Sebagai contoh, beberapa proyek pembangunan sumber daya panas bumi, salah satunya di Kamojang, Jabar, dipimpin para insinyur asing dan dilakukan perusahaan asing pula.
Nah, apa jadinya kalau generasi muda Indonesia tidak berminat masuk ke bidang ini? Apa kita mau setiap sektor strategis di negeri ini dikuasai bangsa lain? Apa kita bisa berlapang dada jika untuk kebutuhan EBT kelak kita harus ‘beli’ dari perusahaan asing?
Bagi kamu yang ‘doyan’ matematika, fisika, dan kimia, dan tertarik menjadi pelopor di bidang yang masih relatif baru ini, coba cari tahu lebih banyak info program studinya. Di Indonesia masih langka. Namun, Swiss German University (SGU) di Serpong, Tangerang, telah membuka jurusan ini. Program studi Bachelor of Sustainable Energy & Environment di SGU dipimpin mantan Dirjen ESDM, Dr. Evita Legowo. Asiknya, selain kuliah teori, mahasiswanya bisa magang di Jerman di industri yang sesuai dengan program studinya.
Bagi yang berminat melanjutkan studi di luar negeri, coba pelajari program Engineering (Sustainable Energy) di RMIT University, Melbourne, Australia. Lulusannya telah banyak bekerja di berbagai perusahaan energi, baik sebagai energy manager, project manager, maupun consultant.
Alternatif lainnya adalah Plymouth University di Inggris. Di sana ada program studi Marine Renewable Energy. Karena program di tiap universitas bisa memiliki penekanan yang berlaianan, sebaiknya kamu teliti dulu kurikulumnya, atau tanyakan kepada perwakilan universitasnya selama pameran “Ada Apa Dengan Laut”.
bukankah jurusan Teknik Mesin juga bisa menjadi ahli dibidang ini?
Jurusan Tek Mesin mengajarkan cara merancang mesin untuk mengatasi masalah tertentu. Di bidang energi, setelah diberi penjelasan tentang masalahnya, orang Mesin baru bisa membuat rancangan mesin yang dibutuhkan. Jadi orang Mesin tidak diajari tentang aneka persoalan di sektor energi secara mendalam.