(Ini adalah lanjutan tulisan Ina Liem di Kompas KLASS, Kamis 29 September 2016 tentang pendidikan keguruan dan ilmu kependidikan. Bagian pertama bisa dibaca di sini)
“School is not cool”, Dio Prasetyo (5), siswa TK A.
Hampir tiap pagi anak penulis, Dio, yang masih di TK A bertanya dengan memelas, “Is this a school day?” Kakaknya yang di kelas 2 SD pernah punya “pepatah”: “A book a day keeps the school away”. Ia suka belajar, tetapi enggan ke sekolah. Padahal, puluhan tahun lalu, Ki Hajar Dewantara sudah mencetuskan gagasan Taman Siswa, yakni agar siswa menikmati sekolah layaknya taman bermain.
Tersirat di buku Creative Schools karya Ken Robinson, tugas utama guru bukan menghantarkan kurikulum atau mentransfer pengetahuan. Kini, peran guru lebih ke bagaimana membuat siswa betah di sekolah untuk mendorong sikap kreatif dan inovatif. Proses ini perlu dimulai sejak pendidikan usia dini dan sekolah dasar.
Di sekolah Nadya di Finlandia, apabila ada survei terhadap anak-anak, hal utama yang ditanyakan adalah apakah mereka memiliki teman, siapa yang suka mengganggu, dan sebagainya. Pertanyaan soal pelajaran yang disukai malah ditanyakan belakangan.
Akhir-akhir ini, sekolah baru menjamur di Indonesia dengan semangat mengubah cara kita mendidik generasi muda. Banyak kurikulum impor diterapkan. Guru pun dituntut mengajar dalam bahasa Inggris. Namun, banyak sekolah menghadapi masalah klasik, yaitu mendapatkan guru yang tepat dan sesuai tuntutan zaman.
Betah, menyenangkan, dan aman
Berhubung Finlandia belum menerima mahasiswa internasional untuk bidang kependidikan di
tingkat S-1, salah satu alternatif universitas pencetak guru yang populer adalah Deakin University di Melbourne, Australia.
Dr Josephine Lang, Associate Head of School (Teaching and Learning) dari School of Education Deakin University, menekankan bahwa guru harus mampu menciptakan dan memelihara lingkungan belajar yang aman dan menunjang partisipasi siswa, mengelola kegiatan di kelas, menangani perilaku sulit, menjaga keamanan siswa, termasuk menggunakan teknologi informasi secara aman, bertanggung jawab, dan etis. Ini dijadikan standar kompetensi guru.
Pada tahun kedua, mahasiswa Bachelor of Education (Primary Education) di Deakin University meneliti bagaimana sekolah dasar menciptakan kelas yang aman dan menarik lewat pendekatan studi kasus. Caranya, mereka menelaah kebijakan sekolah dan praktiknya untuk memahami pengelolaan sekolah.
Penelitian ini ditutup dengan saling bertukar temuan dan analisis. Dengan berbagi hasil penelitian, strategi, dan proyek, para calon guru ini bisa melihat dampak praktik tertentu terhadap proses belajar siswa.
Menghargai keberagaman
Makin populernya homeschooling antara lain karena kurangnya sekolah yang mampu menangkap perbedaan karakteristik siswa dan memberi solusinya. Masih banyak guru menerapkan model “one size fits all’ (satu metode berlaku untuk semua jenis siswa).
Sandra Lioe, mahasiswa program Master of Education di Deakin University, menceritakan betapa calon guru perlu memahami keberagaman siswa. Mereka perlu belajar mendesain learning experience dan assessment dengan menerapkan prinsip inclusion. Intinya, tiap anak berbeda, dan perbedaan ini harus difasilitasi. “There is no universal way of learning for every individual,” katanya.
Selama praktikum di dua lembaga Sekolah Dasar di Australia, ia melihat bagaimana kegiatan belajar-mengajarnya berbeda dengan di Indonesia pada umumnya. “Di sini lebih relaxed dan fun, tidak berfokus pada prestasi akademik sehingga siswa tidak tertekan,” kata Sandra.
Yang menarik, siswa tidak harus duduk diam berjam-jam. Mereka bebas berdiskusi dengan teman, pindah tempat, duduk di kursi, di pojok ruangan, bahkan lantai. Mereka boleh belajar dengan cara mereka sendiri meskipun tetap dalam bimbingan guru.
Sewaktu praktikum, ada anak yang tidak bisa diam di kursinya. Jika sudut pandang deficit discourse yang dipakai, ia akan melihatnya sebagai anak bermasalah. Namun, dari observasi beberapa hari, ternyata IQ anak ini jauh di atas teman sekelasnya. Pelajaran di kelas terlalu mudah sehingga membosankan.
Bukannya menghukum, guru memberinya kebebasan untuk berkeliaran di kelas selama ia tidak mengganggu. Ia bahkan diberi tanggung jawab untuk membantu teman-temannya. Anak itu sangat suka matematika, tetapi tidak suka menulis dengan tangan. Untuk menilai kemampuan berbahasa, ia diizinkan memakai iPad untuk membuat tulisan dengan topik matematika.
Guru dan generasi Milenial
Generasi ini memang unik. Umumnya mereka hanya mau mengerjakan apa yang disukai. Jika tidak mengena di hati, mereka ogah-ogahan. Bahkan, di tempat kerja, mereka bisa langsung “menghilang” tanpa pamit. Beda dengan generasi X yang tekun mengerjakan tugas apa pun dari pimpinan.
Dalam konteks sekolah, guru perlu memahami tantangan ini. Sandra mengatakan: “Children learn best when the curriculum is relevant to their lives.” Jika pelajar tidak berminat pada pelajaran tertentu, mungkin karena mereka tidak melihat relevansinya.
Contohnya, dalam menghitung volume dalam matematika, umumnya siswa diminta menghafal rumus lalu memakainya dalam tes tertulis. “Seandainya siswa diberi alternatif selain tes tertulis, misalnya membuat model dengan software 3D atau memperagakan dalam drama atau seni visual, saya rasa pelajaran matematika akan lebih menarik,” jelas Sandra.
Profesi guru masih diidentikkan dengan profesi “adem-ayem”, sarat rutinitas, mengajar hal yang selalu sama, dan tidak banyak perubahan. Akibatnya, jurusan keguruan cenderung menarik mahasiswa dengan profil yang kurang sesuai. Setelah jadi guru, perubahan, pelatihan, atau uji kompetensi malah dianggap membebani. Tak heran, banyak yang merasa under pressure dan malah ada yang mengundurkan diri.
Menurut Sandra, peran seorang guru jauh lebih kompleks dari yang terlihat. Justru siswa dengan profil cerdas, inovatif dan nyaman dengan perubahan perlu didorong masuk ke dunia pendidikan.
Peluang guru
Generasi Z yang dikenal dengan digital native cenderung lebih suka belajar dari para YouTuber dan game. Mereka bisa melakukannya di mana pun dan kapan pun. Ini “medan tempur” baru bagi guru. Peluang karier mereka tidak terbatas di sekolah konvensional (offline).
Kini, banyak start-up di bidang teknologi. Namun, untuk masuk ke ranah pendidikan, mereka tetap membutuhkan SDM yang paham pendidikan. Kolaborasi teacher-engineer bisa melahirkan peluang tak terbatas. Masalah pemerataan pendidikan pun bisa teratasi dengan inovasi-inovasi di bidang teknologi.
Kita perlu menyiapkan guru abad ke-21 yang tidak hanya siap menyelesaikan kurikulum (aspek kognitif), tetapi juga terutama membentuk karakter generasi penerus yang mampu menghadapi tantangan masa depan yang serba cepat, terus berubah, dan dinamis.
Bagian pertama artikel ini “Memburu Resep Jitu untuk Mencetak Generasi Emas bisa dibaca di sini.
Ina Liem
Author and CEO JURUSANKU
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Add Comment