(Artikel ini terbit di KOMPAS KLASS, Jumat 23 Agustus 2013 halaman B pada rubrik EDUKASI. Kali ini Ina Liem mengajak para pemuda Indonesia untuk mengemas berbagai keunikan dan keistimewaan negeri kita dengan konsep terpadu dengan melihat apa yang telah sukses dilakukan negara lain)
Jurusan pariwisata biasanya dikaitkan dengan profesi tour guide atau travel agent.
Padahal, dunia pariwisata tidak hanya membutuhkan tenaga pelaksana, tetapi juga developer yang mampu membuat konsep wisata berkesinambungan.
Kalau kita menjelajah Google, ternyata tidak banyak universitas yang membuka program Tourism Development atau Pengembangan Pariwisata. Salah satu program yang terbaik di bidang ini ditawarkan oleh University of Glasgow di Skotlandia, Inggris. Program setingkat S-2 ini memberikan gelar MLitt in Tourism, Heritage and Development. Selain lokasi kampusnya yang lebih mirip health and recreation resort, universitas tua yang berdiri tahun 1451 ini mengajarkan materi yang unik dan sangat spesifik, bahkan satu-satunya di Inggris.
Dr Donald MacLeod, pemrakarsa program studi ini, menekankan pendekatan antardisiplin ilmu. Materi kuliah lebih bertitik berat pada perspektif ilmu-ilmu sosial dan sejarah ketimbang pada aspek manajemen pariwisata. Jadi, mahasiswa banyak bergulat dengan tinjauan Antropologi, Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah, dan Arkeologi. Dengan pendekatan ini, mereka memiliki bekal untuk memandang pariwisata dari berbagai aspek sambil tetap fokus pada masalah-masalah praktis. Ini sebuah pendekatan yang langka.
LINK UNTUK ENGLISH>Turis dan masyarakat
Dalam program ini mahasiswa juga diajak melihat pariwisata dari kacamata para turis. Mereka perlu memahami motivasi, perilaku, latar belakang, dan dampak sebuah obyek wisata bagi sang wisatawan. Dengan kata lain, mereka harus bisa menemukan pengalaman apa yang sesungguhnya diinginkan para wisatawan dan bagaimana reaksi masyarakat setempat dengan kehadiran wisatawan.
Materi peninggalan masa lalu yang dibahas dalam perkuliahan tidak hanya meliputi gedung-gedung dan monumen bersejarah, tetapi juga kekayaan lain yang tidak bisa disentuh, seperti sastra, musik, bahasa, dan tradisi.
Berbagai studi kasus digali dari pengalaman internasional para pengajarnya. Profesor MacLeod sendiri pernah menjadi konsultan bidang pariwisata di Canary Island, Spanyol dan Dominika. Mantan direktur Crichton Tourism Research Centre ini masih aktif sebagai penasihat bidang Tourism, Environment and Heritage di Skotlandia. Para dosen tamu pun kebanyakan berasal dari kalangan praktisi, seperti kurator museum, manajer di Wigtown Book Town, dan praktisi pemasaran pariwisata untuk wilayah Skotlandia Selatan. Dengan modal ini, mahasiswa menjadi mudah memahami kaitan erat antara pariwisata dan masyarakat, kebudayaan, alam, ekologi, perekonomian, kebijakan pemerintah, serta isu-isu global.
Jumlah mahasiswa tingkat master di jurusan ini terbilang sedikit. Akan tetapi, uniknya 80 persennya adalah mahasiswa dari berbagai negara, seperti Azerbaijan, Myanmar, China, India, Pakistan, Kanada, AS, Italia, Jerman, Kazakhstan, Malawi, dan Nepal. Keragaman kultur dan negara asal para mahasiswa ini membawa banyak manfaat bagi berlangsungnya pertukaran gagasan dan pengalaman di antara mereka dan dengan para pengajar.
Dalam studi berdurasi satu tahun ini, mata kuliah pokok yang diajarkan adalah “Pariwisata dan Pengembangan Daerah”, serta “Peninggalan Masa Lalu, Interpretasi dan Pengembangannya”. Selain itu, beberapa mata kuliah pilihan, misalnya “Pariwisata: Beberapa Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial” dan “Pariwisata, Kesinambungan dan Perubahan Iklim”.
Menariknya, ada banyak kegiatan di luar kelas. Beberapa field trip dilakukan ke kota-kota tematis (Theme Towns) yaitu Wigtown Book Town dan Kirkcudbright Artists’ Town. Di kedua daerah wisata ini mahasiswa ditugaskan mengevaluasi produk wisata yang ditawarkan serta dampaknya terhadap masyarakat dan pengunjung.
Ada juga kunjungan ke sebuah peternakan sapi di Skotlandia yang telah berkembang menjadi tujuan wisata. Di sini, mereka diminta untuk menilai produk wisata terbaru di sana, yaitu wisata pembuatan es krim.
Obyek field trip lainnya adalah kastel setempat dan daerah perlindungan burung liar di dekatnya. Tugas mahasiswa di sini adalah mengukur apakah kedua tempat tersebut masih berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.
Pilihan magang menarik
Selain field trip, mahasiswa berkesempatan untuk magang selama musim panas. Contoh tempat magang yang pernah dilakukan mahasiswa adalah bekerja di organisasi pengamat burung layang-layang (red kites). Organisasi ini masih terus mengembangkan jalan setapak yang bisa dilalui para wisatawan, baik dengan berjalan kaki maupun bersepeda. Mereka juga membangun pos-pos makanan (feeding station) untuk memudahkan wisatawan mengamati dan memotret burung-burung tersebut.
Sementara itu, mahasiswa lainnya magang di sebuah organisasi pelestari sejarah Skotlandia. Tugas mereka antara lain adalah mengembangkan laman (website) yang relevan dengan misi organisasi tersebut. Masih di Skotlandia, ada juga mahasiswa yang magang di Hunterian Museum di bagian perencanaan pemasaran.
Ternyata, pilihan magang tidak hanya terbatas di Skotlandia. Sejumlah mahasiswa sempat magang di Jerman, yakni di sebuah museum peninggalan industri. Kegiatan di sana adalah meneliti sejarah warisan industri pabrik beberapa abad yang lalu.
Melalui berbagai kegiatan di luar kampus ini, mahasiswa internasional mendapat wawasan dan pengalaman untuk diterapkan di negara masing-masing. Salah seorang mahasiswa internasional, Aygerim Erikqyzy dari Kazakhstan, yakin bahwa pengetahuan baru yang dia dapatkan di sini, ditambah dengan pengalaman yang sudah dimiliki, akan membantu negaranya dalam mengembangkan industri pariwisata yang berkesinambungan.
Harapan di Indonesia
Dengan banyaknya daerah di Indonesia yang tidak hanya bisa, tetapi juga perlu rebranding, kebutuhan akan tenaga ahli di bidang pengembangan pariwisata sangat banyak. Mereka bisa memanfaatkan modal sosial (social capital) yang biasanya sudah ada dalam wujud komunitas yang peduli.
Banyak contoh gerakan perubahan yang terealisasi karena ada kerja sama antara komunitas dengan tenaga ahli. Kita mengenal Anies Baswedan dengan Indonesia Mengajar, Ridwan Kamil dengan Indonesia Berkebun, dan Kick Andy dengan Gerakan 1.000 kaki palsu, dan masih banyak lagi. Tidak mustahil kita akan punya sosok pengembang pariwisata dengan gerakan penciptaan kota-kota tematis di Indonesia.
Ina Liem
Author and CEO Jurusanku
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Add Comment