(Artikel tulisan Ina Liem ini diterbitkan di KOMPAS KLASS, Jumat 23 Agustus 2013 halaman C untuk rubrik EDUKASI. Kali ini ia membahas seputar pengembangkan pariwisata Indonesia melalui penciptaan kota tematis)
“Work hard, play hard”, demikian kira-kira semboyan orang kota.
Setelah lelah beraktivitas seminggu penuh, mereka biasanya berakhir pekan di kota-kota sekitar yang indah atau sejuk. Sayangnya dari tahun ke tahun pilihan destinasinya tetap terbatas.
Contohnya, orang Surabaya pasti tahu pilihan weekend destination mereka adalah Malang, Batu, atau Tretes. Celakanya, semua tujuan libur akhir pekan ini melewati rute yang sama. Kemacetan luar biasa di Porong, memasuki Malang, dan jalan menanjak ke Batu jadi pemandangan lumrah. Di tempat tujuan pun keadaannya mungkin sudah crowded. Tentu kondisi ini mengurangi kenyamanan wisatawan. Untuk makan dan mencari tempat parkir cenderung sulit. Situasi serupa tak jarang dialami masyarakat kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung, dan Medan.
Orang kerap menganggap, pemandangan alam daerah wisata harus indah dan udaranya sejuk. Padahal, sebenarnya banyak wisatawan yang mencari pengalaman, misalnya mengalami sesuatu di luar keseharian, menjelajah sambil berimajinasi tentang dunia tempo doeloe, menjajal kegiatan unik, atau sekadar memanjakan mata dengan pemandangan yang tidak dijumpai setiap hari. Setiap daerah dengan keunggulan komparatifnya yang unik mestinya bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Inilah tantangan bagi calon mahasiswa Indonesia yang berminat mengambil Program S-2 dengan gelar MLitt in Tourism, Heritage and Development di University of Glasgow, Skotlandia, Inggris. Bagaimana mengembangkan kota-kota tematis seperti dilakukan sejumlah wilayah di Skotlandia dapat menjadi “studi kasus” yang menarik.
LINK UNTUK ENGLISH>Belajar dari Skotlandia
Untuk menghidupkan sebuah wilayah menjadi tujuan wisata, beberapa kota kecil di sekitar Dumfries, Skotlandia layak jadi bahan pembelajaran. Sejak tahun 1998, di sana ada tren mem-branding kota-kota kecil dengan tema unik untuk menarik wisatawan. Ada tiga kota kecil yang dijadikan proyek inisiatif, yaitu Wigtown Book Town, Kirkcudbright Artists’ Town, dan Castle Douglas Food Town.
Dalam 10 tahun, Wigtown yang hanya berpenduduk 1.100 orang berubah menjadi kota kecil yang ramai dengan para pencinta buku. Kota yang tadinya hanya memiliki 1 toko buku bekas, kini mempunyai 13 toko buku dan berbagai bisnis terkait perbukuan, serta 1 galeri. Selain kunjungan wisatawan meningkat, investor berdatangan menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang menopang kesinambungan ekonomi setempat dan meningkatkan nilai properti.
Hal serupa dialami Kirkcudbright. Kota kecil dengan 3.600 penduduk ini selama ratusan tahun mengandalkan pelabuhan perikanan dan pelabuhan minyaknya sebagai sumber pendapatan utama. Namun sejak 1980-an, tren bisnis berubah. Perikanan dan minyak merosot, tetapi kota ini dengan cepat melihat peluang untuk memulihkan kondisi ekonominya.
Menilik sejarah Kirkcudbright, selama 100 tahun terakhir para seniman berdatangan ke kota ini untuk mencari ide dan menghasilkan karya. Berangkat dari keunikan ini, para pengembang pariwisata melihat potensi untuk menciptakan kota tematis. Kirkcudbright pun mendapat brand baru sebagai “Kota Seniman”. Rumah peninggalan seorang seniman terkenal, EA Hornell, disulap menjadi galeri seni. Sejak tahun 2000 beberapa galeri seni kecil milik swasta bermunculan. Ini menguatkan cap sebagai kota seniman.
Dalam beberapa pameran, kota ini bahkan mampu memajang karya-karya seni kelas dunia seperti Monet, dan mendatangkan pengunjung yang jauh lebih banyak dari jumlah penduduk kota itu sendiri. Hebatnya, untuk membiayai ahli pengembangan wisata, komunitas setempat berhasil menghimpun dana lewat dua organisasi non-pemerintah.
Namun, inisiatif saja kadang belum cukup. Pekerjaan rumit yang melibatkan banyak pihak ini memerlukan keahlian yang mumpuni, khususnya di bidang pengembangan wisata. Dengan konsep matang dari ahlinya ditambah gerakan community-based, kita boleh optimistis banyak perubahan positif bisa dihasilkan demi pariwisata Indonesia yang lebih baik.
Ina Liem
Author and CEO JURUSANKU
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Add Comment