“Pandai-pandailah di sekolah, nak. Cari ilmu sebanyak mungkin. Rajin pangkal pandai.” Dulu, anak yang mematuhi nasihat ini banyak yang sukses ketika dewasa. Mereka mendapat pekerjaan layak. Di dunia bisnis tidak berbeda jauh. Rajin adalah pangkal pandai/sukses.
Kini, tidak semua yang rajin meraih sukses. Begitu juga yang pintar di sekolah. Tidak semua pengusaha dan pekerja keras berpenghasilan besar. Banyak yang kesulitan dapat pekerjaan layak. Banyak perusahaan mengalami kemunduran atau bahkan bangkrut. Mengapa?
Perubahan di depan mata
Ini era yang sama sekali berbeda. Coba perhatikan. Bermodal app, AirBnB menyewakan kamar di seluruh dunia, padahal perusahaan ini tidak punya hotel. Uber dan Grab melayani transportasi di banyak negara tanpa punya armada taksi. Apple bukan produser musik namun menjual milyaran lagu lewat iStore. Google menciptakan kendaraan tanpa supir padahal bukan pabrik otomotif.
Fenomena seperti ini makin menyebar. Kini bermunculan perusahaan Financial Technology (Fintech), termasuk di Indonesia. Mereka tidak mendirikan bank tetapi bisa melayani transaksi keuangan lewat smartphone. Blibli.com tidak punya toko namun penjualannya menggerogoti pendapatan toko-toko konvensional. Begitu juga Go-jek dan beberapa perusahaan berbasis app lainnya. Era ini sering disebut the App economy.
Aneka perusahaan inovatif ini angin segar bagi jutaan konsumen karena hidup lebih mudah dan lebih hemat, tetapi kabar buruk bagi pengusaha lama. Sulit bersaing dengan perusahaan yang dijalankan dengan gaya berbeda. Mau melarang? Terlambat. Dunia harus beradaptasi. “Innovate or die.”
Indonesia dan Peringkat Inovasi
Dunia mengenal Indeks Inovasi Global yang memeringkat negara berdasarkan kemampuan inovasinya. Sistem ini disusun bersama oleh Universitas Cornell, INSEAD, dan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (World Intellectual Property Organization/WIPO). Dari sini kita tahu mengapa negara tertentu bisa memimpin perdagangan dunia dan membuat rakyatnya makmur.
Menurut Indeks Inovasi Global 2017 yang diumumkan di Geneva, Swiss, Kamis (15/6), Swiss, Swedia, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris dinyatakan sebagai negara paling inovatif. Indonesia di peringkat ke-87 dari 127 negara yang disurvei. Di Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura yang berada di peringkat ke-7, Malaysia ke-37, Vietnam ke-47, Thailand ke-51, Brunei ke-71, dan Filipina di peringkat ke-73. Peringkat terbawah adalah Yaman.
In bukan kabar gembira. Di kawasan Asia Tenggara saja kita bukan ‘jagoan’. Banyak yang mesti kita benahi, dan ini mesti dimulai dari generasi muda.
Belajar dan nilai rapor
Salah satu langkah penting adalah mengubah mindset. Tujuan utama belajar di sekolah atau kuliah adalah mencari solusi, bukan lagi demi nilai bagus. Target belajar adalah pemahaman. Percuma kan, bisa mengerjakan soal matematika sulit kalau tidak paham kegunaannya dan mampu memakainya untuk mengatasi masalah nyata.
Salah satu cara belajar yang mulai didengungkan di negara maju adalah project-based learning (PBL). Siswa menggarap project untuk memecahkan masalah nyata seperti merancang dan membuat mesin pengolah limbah. Lewat tugas ini siswa belajar memahami mekanika, matematika, elektro, desain, sosiologi dan berbagai soft skills seperti bekerja dalam tim, public speaking, dan leadership. Mata pelajaran tak lagi dipahami secara terpisah sebab siswa terbiasa berpikir lintas ilmu.
Di Amerika Serikat, hasilnya positip. Siswa jadi lebih kreatif, matang bersosialisasi, dan sangat antusias datang ke sekolah. Bagaimana nilai ujian nasionalnya? Ternyata nilai mereka lebih baik ketimbang rata-rata siswa sekolah konvensional. Siswa dari PBL schools lebih mudah memahami aneka pelajaran sebab mereka tahu betul aplikasinya di dunia nyata.
Masalahnya, berapa sekolah yang mampu menjalankan model ini. Selain perlu fasilitas khusus berikut peralatan dan bahan praktik, guru yang mampu memberikan bimbingan pun masih langka. Waktu kuliah dulu, guru-guru kita tidak disiapkan untuk mengajar di project-based school. Lalu adakah alternatif solusinya?
Makerspace exposure
Salah satu cara untuk memberikan pengalaman project-based learning adalah dengan mencoba membuat sesuatu secara bersama-sama di bengkel kerja yang disewakan untuk umum, sebutan kerennya, Makerspace. Di Jakarta ada beberapa Makerspace yang bisa dijadikan rujukan seperti misalnya Indoestri, Makedonia, Gerai Cerdas, Crazy Hackerz, dan beberapa lainnya.
Di tempat seperti ini siswa dan guru, atau anak dan orang tua, bisa membangun atau membuat apa saja secara bersama. Berbagai peralatan pertukangan, menjahit, atau produksi tersedia. Ada juga yang memberi bimbingan teknis penggunaan alat.
Di Amerika, yakni di sekolah yang masuk rayon High Tech High, beberapa siswanya bahkan mendapatkan hak paten atas temuan produknya yang inovatif. Ini tentu menggembirakan. Namun bukan ini tujuan utama project-based learning. Targetnya bukan untuk menjadi tukang atau pengrajin hebat dan menghasilkan produk sempurna.
Makerspace alias bengkel kerja layak dilirik sebagai alternatif untuk memberi pengalaman “doing” (bukan hanya omong dan membayangkan), membangun karakter dan etos kerja, serta membentuk 21st century skills. Terbukti, siswa antusias dan mulai memahami kaitan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, tergantung apa project yang digarap. Berani mencoba?
betul sekali kadang orang yang disekolah biasa-biasa saja kdang bisa tampak lbih sukses