(Artikel ini adalah pelengkap atas dua artikel kami yang dimuat di KOMPAS KLASS Jumat 11 Oktober 2013 tentang jurusan Kuliner, lembaga pendidikan dan industrinya)
Andre dan Edouard Michelin tak pernah mengira bahwa buku panduan yang diterbitkannya tahun 1900 ternyata bertransformasi menjadi the Red Michelin Guide, acuan bagi industri kuliner dunia.
Semula dua Michelin bersaudara ini menerbitkan buku informasi bagi pengendara mobil yang berisi peta jalan, lokasi bengkel, SPBU, hotel dan restaurant. Tujuannya untuk mendukung promosi ban Michelin milik mereka. Namun lama kelamaan isinya memuat penilaian terhadap berbagai hotel dan restauran fine dining kelas premium dari berbagai belahan dunia.
The Michelin Guide adalah buku tahunan yang diterbitkan oleh perusahaan Perancis, Michelin. Sering disebut the Red Michelin Guide, buku ini berisi daftar referensi restaurant fine dining terbaik. Di dalamnya disebutkan restaurant mana saja yang mendapat penghargaan tertinggi Michelin stars. Ia juga memberikan predikat the Rising Stars bagi restaurant yang punya potensi menjadi ‘bintang’. Kurang lebih mirip Academy Awards untuk dunia perfilman.
Bintang atau predikat versi Michelin ini hanya diberikan kepada restoran fine dining setelah melewati seleksi sangat ketat. Pihak restaurant tidak perlu ‘menyogok’ si penilai sebab sang ‘inspector’ tidak pernah diketahui identitasnya. Predikat ini ditinjau secara berkala untuk memastikan apakah sebuah resto mendapat bintang lebih tinggi atau malah kehilangan bintangnya.
The French Laundry
Di kalangan chef dan pengamat kuliner, siapa yang tak kenal the French Laundry, sebuah resto kelas atas di California. Disebut demikian sebab bangunan tahun 1920an ini dulu adalah tempat Steam Laundry. Resto jawara dengan 3 bintang Michelin ini sejak tahun 2005 mampu mempertahankan predikatnya. Lokasinya jauh dari San Francisco, tepatnya di daerah Yountville, di tengah-tengah wilayah penghasil anggur terkenal di Napa Valley.
Satu-satunya hal menjengkelkan dari restaurant ini adalah sulitnya memesan tempat. Maklum, untuk mempertahankan kualitas, resto ini hanya membuka 16 meja. Bayangkan, untuk menelpon hingga terhubung dengan staf reservasi saja kadang makan waktu berhari-hari karena sibuknya. Setelah terhubung, kita pun masih harus menunggu beberapa bulan untuk dilayani makan di sana. Tapi mungkin justru ini yang membuat orang sedunia penasaran.
Sediakan anggaran $270 per orang dan kita akan menikmati menu lengkap 9 hidangan. Belum termasuk wine, tentu saja. Masing-masing hidangan berukuran kecil, tidak mengenyangkan, namun dalam kurun 3 jam, setelah semua hidangan ludes, kita bisa pulang dengan perasaan ‘mau terbang’, dengan mulut penuh rasa luar biasa. Memang, diner sekelas French Laundry bukan hanya menjual makanan, melainkan a complete package of emotional experience.
Dari sisi rasa, semua makanan di sini pasti luar biasa. Selain bahan-bahan makanan yang sangat bermutu, prosesnya pun kadang sangat rumit dan melibatkan teknik yang tidak lazim. Tidak mengherankan jika the French Laundry mendapat 3 bintang Michelin, predikat paling bergengsi bagi restaurant yang layak didatangi sekalipun harus menempuh jarak jauh. Buku merah Michelin menyebut dua ciri pada restauran sekelas ini, yakni “Exceptional cuisine, worth a special journey”.
Michelin-Star Chef
Di balik resto peraih Michelin stars selalu ada sosok chef luar biasa. Mereka bukan hanya pekerja keras, karena semua chef adalah pekerja keras. Kombinasi nyaris lengkap antara ketekunan, kreatifitas, hasrat mencapai kesempurnaan, dan pengetahuan seputar dapur selalu dapat ditemui pada diri mereka. Tanpa mereka, tidak akan ada restauran berpredikat super ini. Oleh karena itu wajar jika predikat Michelin juga menempel pada chef nya. Mereka memang bukan manusia biasa.
Thomas Keller, pendiri dan pemilik the French Laundry, adalah satu-satunya orang Amerika yang mendapatkan 3 bintang Michelin untuk kedua restaurannya, the French Laundry di California dan Per Se di New York. Selain menulis buku masakan. ia pernah jadi konsultan Pixar untuk ‘Ratatouille’, film animasi dengan setting sebuah restauran kelas atas. Begitu melegenda namanya sampai produsen pisau, MAC knives, memakai namanya untuk pisau dapur seharga $ 900 per set.
Di Inggris, nama Heston Blumenthal dikaitkan dengan ‘kegilaan’ mengejar kesempurnaan. Pemilik the Fat Duck ini selalu berusaha mengobrak-abrik cara lama. Melalui eksperimentasi yang teliti, ia menggunakan prinsip-prinsip sains dan peralatan modern untuk menghasilkan teknik memasak yang ‘super’ dengan hasil menakjubkan.
Contohnya, untuk memasak scallop, ia memakai gel cair dari irisan bawang yang direbus pada 85 derajat Celcius selama 96 jam. Hasilnya adalah cairan hitam pekat. Untuk membuatnya lembut, gel dimasukkan vacuum machine untuk membuang semua gelembung udaranya. Hasilnya, scallop dengan rasa luar biasa. Bukan orang awam saja, chef yang sudah berpengalaman pun geleng-geleng kepala. Heston tidak mau setengah-setengah dengan profesinya.
Ternyata gelar Michelin bukan untuk pakar French cuisine saja. Jiro Ono, 86 tahun, adalah salah satu contohnya. Sukiyabashi Jiro, rumah sushi miliknya di Tokyo, menyandang 3 bintang. Orang pasti kagum dengan caranya membuat sushi langsung di hadapan tamunya dan menyajikannya satu-persatu secara sangat personal. Semuanya dihidangkan dengan temperatur yang tepat dan pada saat yang pas.
Sosok fenomenal di dunia kuliner Jepang ini sudah sering masuk TV. Bahkan Anthony Bourdain, chef tersohor pengasuh acara kuliner “No Reservation” memberinya gelar ‘the Best Sushi Master in the world’. Kalau melihat video clip di atas, kelihatannya tidak sulit membuat sushi. Yang sulit adalah memilih dan menyiapkan bahan baku berkualitas prima, teknik mengolah nasi yang sangat enak, dan meramunya dengan ketrampilan tinggi pada temperatur yang telah ditetapkan. Semua serba presisi. Jiro telah melakukan hal ini selama 76 tahun sejak ia masih berusia 9 tahun.
Menjadi Michelin-Star Chef
Mungkin semua chef ingin bisa bekerja di resto berbintang dan meraih gelar Michelin. Namun jalan kesana panjang dan tidak mudah. Sekalipun tidak semua chef terkenal lulusan sekolah kuliner, belajar di world class culinary arts school sangat membantu untuk menjadi professional Chef.
Lulusan sekolah kuliner terkenal biasanya lebih mudah menemukan akses untuk diterima bekerja di dapur sebuah resto bergengsi dan mendapat training lanjutan dari seorang Chef berpengalaman. Kesempatan ini harus dimanfaatkan untuk banyak belajar sambil meniti ‘tangga’ di berbagai tugas di dapur.
Seiring dengan bertambahnya pengalaman, tidak mustahil seseorang naik ke posisi Head Chef. Kalau ia memang benar-benar hebat dan masakannya sangat istimewa, mungkin saja restauran tempatnya bekerja mendapat bintang, sehingga sang Head Chef pun menyandang bintang yang sama.
Indonesia, Kamu Bisa!
Meskipun London dikenal sebagai pusat Gastronomi dunia, Perancis dan Italia dengan masakannya yang mendunia, atau bahkan Jepang dengan Jiro Ono dan seabrek resto berbintangnya, Indonesia sesungguhnya punya potensi luar biasa.
Keanekaragaman hayati kita seakan menanti untuk dieksplorasi. Tiap daerah dengan kekhasan bahan makanan dan tumbuhan menjadikan negeri kita ‘encyclopedia of flavors’ yang sulit ditandingi. Tidak mustahil kita bisa menjadi penerima Michelin Stars pertama di Asia Tenggara kelak.
Meskipun demikian ‘syarat dan ketentuan berlaku’. Kendala terbesar kita adalah mental cepat puas, kurang perfeksionis, standar kebersihan yang masih kurang, dan lemah di layanan.
Memang, makanan lezat saja kadang belum cukup. Penikmat kuliner sejati mengejar totalitas pengalaman emosional. Seperti kata Thomas Keller, pemilik the French Laundry, resto peraih 3 Michelin stars di California, “hidangan luar biasa bukan yang mengenyangkan, melainkan hidangan yang mengembalikan kita kepada sumber-sumber kenikmatan yang mungkin telah terlupakan, dan mengantar kita ke ‘tempat-tempat’ yang belum pernah kita hampiri”.
Artikel lain tentang KULINER bisa dibaca di
kuliner123
Add Comment