(Ina Liem menulis tentang model pendidikan tinggi yang tidak biasa namun sangat sesuiai dengan perubahan dunia karier dan bisnis di abad 21. Tulisan ini dimuat di Kompas KLASS, Jumat April, 2016. Lanjutannya bisa dibaca di sini)
Transportasi berbasis aplikasi memicu kegaduhan, baik di Indonesia maupun beberapa negara lain.
Ya, siapa sangka akan ada game changer seperti itu. Outsourcing, layanan berbasis aplikasi, belanja daring, dan berbagai model bisnis baru mengguncang bisnis model lama. Yang tidak cepat berubah terancam punah. Lantas bagaimana menyiapkan diri agar tidak ikut tergilas?
Dengan pesatnya perkembangan teknologi, kita menghadapi problema kompleks yang memerlukan kerja sama banyak pihak dengan pendekatan antarbidang keahlian. Generasi muda perlu mendapat pendidikan yang mampu mengakomodasi kebutuhan ini. Di mana?
Pendidikan “bergaya” Liberal Arts
Ini bukan jurusan seni. Pada zaman Yunani Kuno, pendidikan liberal arts mengajarkan kemampuan yang perlu dimiliki orang merdeka (bukan budak) agar dapat berpartisipasi aktif di masyarakat. Kini, secara umum, liberal arts mengacu pada pendidikan yang tidak menggunakan kurikulum profesi, kejuruan, atau teknikal.
Pada pendidikan model liberal arts, mahasiswa tetap memilih satu program studi pokok, misalnya Teknik Kimia, tetapi ia juga harus mengambil mata kuliah Liberal Arts, seperti seni dan sastra, sejarah, ilmu-ilmu sosial, filsafat, matematika, psikologi, dan ilmu alam (natural science).
Ada yang menarik dari metode mengajarnya. Karena kelasnya kecil, banyak aktivitas diarahkan untuk belajar secara intens, bukan sekadar buku dibaca, dibahas, lalu dihafalkan. Pada mata kuliah Environmental Ethics, mahasiswa harus membaca berbagai esai dari ahli filsafat, ilmuwan, ahli agama, ekonom, sosiolog, dan sebagainya. Tiap esai berisi opini berikut argumennya dan semua terkait dengan lingkungan ditinjau dari keahlian tiap penulisnya. Seminggu sekali mahasiswa harus membaca 1 hingga 3 esai untuk didiskusikan di kelas.
Mengapa Liberal Arts
Untuk mengatasi masalah dalam hidup yang berdimensi banyak diperlukan tinjauan multidimensi. Tujuan Liberal Arts adalah memberikan pemahaman mendalam di satu bidang tertentu dan sedikit pemahaman di banyak area lain. Mahasiswa diberi kebebasan mendesain kurikulumnya sendiri. Tentu saja dengan bantuan dosen pembimbing agar pilihan mata kuliahnya saling mendukung.
Ini dialami Gaia Khairani, alumnus Clark University, Massachusetts. Ada 18 mata kuliah wajib terkait pilihan bidang studinya, yakni Environmental Science dan pihak universitas menyediakan banyak pilihan. Contohnya, untuk jenis mata kuliah Lingkungan dan Masyarakat, Gaia bisa memilih salah satu topik, misalnya Ekonomi dan Manusia, Filsafat Lingkungan, atau Kesehatan dan Lingkungan Kota.
Namun, di luar itu, ia harus mengambil lagi kelompok sejarah, seni, menulis, bahasa, dan mata kuliah yang termasuk kategori liberal arts lainnya. Tiap kelompok mata kuliah terdiri atas beberapa pilihan. Contohnya, ada beberapa pilihan mata kuliah sejarah. Gaia memilih Sejarah Perempuan Amerika Abad ke-19.
Meskipun bebas memilih, mahasiswa harus pintar-pintar menyeimbangkan beban mata kuliah wajib dengan muatan liberal arts-nya. Jadi di balik kebebasan, ada kewajiban dan tanggung jawab.
Membaca, berargumentasi, dan menulis
Untuk membentuk pola pikir kritis, menambah wawasan, dan mengajarkan pendekatan multidisipliner, mahasiswa harus melewati proses belajar dengan metode yang jarang diterapkan di universitas pada umumnya.
Ambil saja mata kuliah Sejarah Perempuan Amerika Abad ke-19 sebagai contoh. Cara mengajarnya sangat tipikal Liberal Arts. Materinya tidak disampaikan lewat textbook, tetapi melalui kajian karya sastra perempuan, seperti buku harian, cerpen, dan novel.
Setiap Minggu, mahasiswa harus membaca dan benar-benar memahami karya sastra tertentu untuk diskusi di kelas. Terkadang diskusi dimulai dengan menggali opini masing-masing soal bacaan tersebut, lalu menjabarkan alasannya.
Sesudah itu, mereka menulis paper untuk menjelaskan bagaimana isi bacaan mencerminkan situasi sosial, politik, dan ekonomi bagi perempuan pada abad ke-19 atau reaksi terhadap situasi tersebut. Mereka perlu membaca kritik sastra dan kritik sejarah pada masa itu, membandingkan gaya dan niat penulis satu sama lain, menganalisis, lalu menuliskannya.
Untuk final paper, Gaia memilih menelaah pidato seorang feminis bernama Elizabeth Cady Stanton tentang ketidaksetaraan perempuan dalam hukum. Ia membandingkannya dengan pikiran-pikiran mengenai perempuan pada zaman itu, lalu memberikan opini mengapa pidato tersebut tidak disambut dengan baik pada masa itu. Menariknya, interpretasi ini tidak harus sama dengan interpretasi dosen. Yang penting adalah logikanya.
Dengan cara ini, mahasiswa mengasah kemampuan memahami materi dan mengkritisinya, lalu menuangkannya secara meyakinkan dalam tulisan. Itu sebabnya, liberal arts education dinilai efektif membekali kemampuan untuk belajar seumur hidup (lifelong learning skills), yakni kemampuan riset, menulis, dan berkomunikasi.
Global dan multidimensional
Keberagaman latar belakang mahasiswa saling memperkaya proses belajar. Dalam diskusi, mahasiswa mendapat wawasan soal politik dan sejarah Iran atau Amerika Latin, aktivisme lingkungan di India, konservasi hutan di Kosta Rika, konservasi harimau di Sri Lanka, dan lain-lain.
Bukan itu saja, setiap topik dibahas dari aneka sudut pandang. Di kelas, mahasiswanya berasal dari aneka jurusan dengan kombinasi mata kuliah berlainan. Ada yang mengambil double-major di psikologi dan biologi, seni rupa dan manajemen, sampai jurusan biological photojournalism. “Pendeknya, ada segala macam mahasiswa di sini,” kata Gaia.
Artikel lanjutannya, “Menjadi Pribadi Adaptif di Era Serba Disruptif” bisa dibaca di sini.
Ina Liem
Authir and CEO Jurusanku
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Luar biasa
Terimakasih. Semoga bermanfaat.