(Ini adalah salah satu hasil dari perjalanan kami selama seminggu di Melbourne atas undangan pemerintah Victoria)
Banyak orang doyan ngopi. Pagi serasa gersang tanpa kopi.
Starbucks dan gerai kopi bertebaran karena ngopi sudah jadi lifestyle (gaya hidup). Maka tak perlu heran, dari yang dijual cuma seribu per sachet sampai yang berbanderol 50 ribu per gelas pun laku keras.
Jika sudah menjadi gaya hidup, apapun akan selalu jadi perbincangan menarik. Begitu juga kopi. Bukan cuma Dewi Lestari yang ngobrol soal ini di ‘Filosofi Kopi’ nya yang best seller. Diskusi di kantor pun nyambung kalau topiknya kopi.
Perbincangan dengan rekan kerja atau partner bisnis akan lebih asik jika kita mampu menyajikan kopi yang sama nikmatnya dengan yang dijual kedai kopi terkenal, tanpa harus duduk di kafe yang berisik dan kurang private. Keahlian meracik kopi bisa menjadi nilai plus di pergaulan atau social networking dan di pekerjaan.
Ketika diundang pemerintah negara bagian Victoria, Australia, saya dan Ina Liem mampir di William Angliss Institute yang terletak di Melbourne. Sebuah tulisan menarik di salah satu dindingnya berbunyi Coffee Academy. Ini bukan akademi yang lama kuliahnya tahunan. Coffee Academy menawarkan program-program pelatihan singkat membuat kopi dengan standar internasional. Ada yang berlangsung setengah hari, namun ada juga paket 45 jam dengan beberapa kali kehadiran.
Peserta program singkat ini sangat beragam, mulai dari mahasiswa, para praktisi kuliner dan perhotelan, sampai orang kantoran, bahkan turis asing yang kebetulan sedang berlibur ke Melbourne. Mereka datang dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin mempertajam ‘ilmu’ kopinya, sekedar ingin pintar meracik kopi untuk diri sendiri, namun ada juga yang melihatnya sebagai skill pemberi nilai tambah.
Diantar oleh Bruce Bradfield, manager for international marketing William Angliss Institute, kami yang penasaran langsung masuk ke ruang kelas Coffee Academy yang lebih mirip cafe ketimbang tempat belajar. Asik juga mengamati proses pembuatan kopi yang rada njelimet untuk ukuran awam. Mungkin butuh beberapa saat untuk memahami cara kerja mesin canggihnya. Mesin ini mampu menghasilkan aneka hidangan kopi seperti caffe latte, cappuccino, espresso, moccacino, dan lain-lain dengan standar kafe, bukan standar rumahan.
Secara singkat sang trainer menjelaskan bagaimana memilih biji kopi yang baik, memasaknya (roasting), menumbuk sampai halus, sampai brewing (menyeduh) agar aroma harumnya tetap terjaga. Ia menunjukkan jenis susu untuk campuran kopinya, mengatur perbandingan kopi dan susu untuk rasa yang dikehendaki, serta menghasilkan tekstur susu yang menggugah selera. Materi ajar bukan hanya soal cara mengoperasikan mesin Espresso dan penumbuk biji kopi, tetapi juga cara membersihkan dan merawatnya sesuai standar.
Di salah satu dinding terlihat sebuah peta dunia yang ditandai dengan berbagai daerah penghasil kopi serta ciri-cirinya. Seperti kita ketahui, aroma dan rasa kopi bukan hanya ditentukan oleh jenis kopinya, misalnya Robusta atau Arabika, tetapi juga oleh jenis tanah tempat menanam pohonnya. Itu sebabnya kopi Gayo di Aceh beda dengan kopi Toraja, kopi Bali, kopi Mandailing, atau kopi Brasil. Pembuat kopi yang pintar mampu menampilkan cita rasa asli kopi buatannya.
Setelah menjajal segelas coffee espresso yang khusus disiapkan sang trainer, saya jadi tertarik kembali kesana untuk berburu skill baru ini. Lagi pula saya termasuk penikmat kopi serius. Dari pengalaman, beberapa coffee shop hanya menjual tempat nyaman dan kemasan menarik, tetapi rasa kopinya ‘kurang nendang’. Penikmat kopi sejati pasti tahu bedanya.
Nah, bagi yang suka kopi dan ingin bereksperimen dengan aneka rasa kopi, tak ada salahnya menambah kebisaanmu dengan keahlian ini. Selain bisa dimanfaatkan untuk kerja sambilan, skill ini akan meningkatkan personal brandingmu setelah bekerja. Saya percaya, professional coffee making skill bisa menjadi softskill baru yang menguntungkan. Siapa yang tak ingin ngobrol dengan teman yang bisa membuatkan kopi enak?
Add Comment