Perubahan teknologi mulai menghantam periuk nasi ribuan orang di Indonesia, khususnya di sektor perbankan.
Dari tujuh bank besar, tiga telah melakukan pengurangan karyawan selama 2017, salah satunya Bank Danamon (BDMN). Menurut laporan keuangan per Juni 2017, bank beraset Rp 176,1 triliun ini telah memPHK 1.683 karyawan tetapnya dari total 31.950 karyawan pada Juni 2016.
Mantan Petinggi Citigroup, Vikram Pandit, memprediksi bahwa lima tahun ke depan sekitar 30 persen pekerjaan di bank akan hilang dan digantikan oleh teknologi. Bank besar seperti Bank BCA dikabarkan tengah membidik dua bank kecil untuk mengembangkan layanan digital. Sementara itu Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) yang sedang dalam masa peralihan menjadi bank digital menawari karyawannya untuk pensiun secara sukarela (katadata.co.id).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengumpulkan data Sumber Daya Manusia (SDM) di dunia perbankan. Tujuannya untuk menentukan edukasi dan sertifikasi di masa mendatang. “Mungkin ini (IT) nanti yang jadi porsi besar. Jadi porsi pegawai bank lebih banyak ke arah itu,” kata pihak OJK.
Fintech – Masalah atau Peluang?
Penyebab utama berkurangnya kebutuhan akan tenaga kerja di dunia perbankan adalah Financial Technology atau Fintech. Kini banyak bermunculkan aplikasi berbasis internet yang menawarkan berbagai layanan keuangan secara online. Selain lebih mudah dan murah, layanan ini menjangkau lebih banyak orang.
Awalnya, fintech dikembangkan oleh perusahaan teknologi, bukan lembaga keuangan atau bank. Karena kehadirannya mulai ‘mengganggu’ bank, pihak perbankan mulai mengembangkan layanan serupa. Dengan fintech, bank tidak perlu buka banyak cabang. Banyak urusan keuangan tidak perlu lagi dilakukan di kantor bank. Orang bisa transfer dana lewat smartphone, ambil duit di ATM di mana pun, bayar pakai e-money dan credit card dan sebagainya.
Di Indonesia, fintech berkembang sangat cepat. Selama 2015-2016, jumlah perusahaan pengembangnya tumbuh 78 persen. Data Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) berjudul Fintech Report 2016 menunjukkan jumlah pemain teknologi finansial di dalam negeri yang terdaftar hingga November 2016 sekitar 135-140 perusahaan. Sebagian besar bergerak di sektor pembayaran, yaitu mencapai 43 persen. Di sektor kredit 17 persen, diikuti agregator 13 persen crowfunding 8 persen, dan personal financial planning 8 persen.
Banjir peluang di Indonesia
Dengan penduduk sekitar 250 juta, Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Pemakai smartphonenya juga tumbuh pesat. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlahnya lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Saat ini Indonesia mulai dilirik investor yang berminat di industri digital. Menurut media teknologi TechinAsia, pada kuartal I 2015, di Asia Tenggara ada 93 startup yang memperoleh pendanaan investor. Dari jumlah itu, 24 perusahaan adalah startup dari Indonesia.
Pemerintah mulai menyadari pentingnya industri digital. Awal 2017, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan akan menghimpun US$ 1 miliar dari para pengusaha swasta untuk modal bagi startup digital. Pemerintah juga akan membangun akses internet sampai ke desa agar para pengembang tergerak membuat aplikasi digital untuk pertanian atau perikanan. Kalau digarap serius, Indonesia bisa menjadi “raksasa” teknologi digital Asia, atau bahkan dunia.
Bagaimana menyiapkan diri?
Dulu orang bilang apapun jurusannya yang penting bisa kerja di bank. Anggapan ini mesti diubah. Kita sedang mengalami perubahan industri yang masif. Cara menyiapkan diri menuju dunia karier masa depan jelas beda.
Mengejar ijazah saja sudah tak ada manfaatnya. Rhenald Kasali dalam bukunya “Strawberry Generation” menyebutnya dengan istilah Sarjana Kertas. Kini, life skills jadi bekal yang sangat menentukan. Carilah pengalaman magang, ambil kegiatan yang banyak melibatkan kerjasama dan problem solving, dan keluarlah dari zona nyaman. Jadilah pribadi tangguh yang tidak mudah digantikan oleh teknologi.
Untuk jadi inovatif, generasi muda harus banyak melibatkan diri atau dilibatkan di situasi yang terkadang tidak begitu menyenangkan. Lewat pengalaman menghadapi aneka persoalan, seseorang bukan hanya jadi lebih tangguh, tapi juga mampu menghasilkan solusi yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Intinya, tidak ada cara gampang menuju sukses.
Jadi, buat apa punya cita-cita bekerja di bank kalau dunia perbankan sendiri sedang berusaha bertahan dengan lebih sedikit tenaga kerja. Coba pikirkan alternatif bidang karier lain yang akan banyak dibutuhkan di masa depan. Salah satu bidang studi yang masih kekurangan lulusan adalah STEM (Sicence, Technology, Engineering, dan Math).
(Sumber: databoks.katadata.co.id)
Add Comment