Pernahkah anda merasa ‘kikuk’ (uneasy) ketika berada di kerumunan orang-orang yang berbeda bukan hanya bahasa tetapi juga kebiasaan dan pandangan hidupnya?
DEFINISI
Global dexterity adalah kemampuan untuk menyesuaikan perilaku diri sendiri, jika diperlukan, dengan budaya dimana ia berada atau bekerja, terlepas dari kultur seperti apa ia berasal, di negara mana ia akan bekerja, dan situasi seperti apa yang ia hadapi.
Dalam menghadapi era global, ditambah dengan makin dekatnya kita pada pelaksanaan AFTA 2015, cepat atau lambat setiap orang harus mulai belajar bekerja dan bergaul dengan kultur lain. Mereka yang tidak siap akan semakin tersisih di persaingan yang makin ketat.
Berikut ini ada beberapa situasi perbedaan kultural yang memerlukan “kecerdasan budaya”.
- Anda berasal dari Indonesia dan saat ini akan dikirim bekerja di Jerman. Di sana penilaian negatif perlu disampaikan dengan cara lebih tegas ketimbang di Indonesia atau bahkan di Amerika sekalipun.
- Orang China daratan bekerja di Amerika. Ia perlu lebih terbuka soal informasi seputar pribadinya ketika ngobrol santai dengan rekan-rekan kerjanya dibandingkan ketika ia berada di negaranya.
- Orang Jepang yang bekerja di Perancis perlu menyampaikan pendapatnya dengan cara lebih ‘to-the-point’ kepada pimpinan dalam meeting. Jelas beda dengan cara yang dianjurkan di Jepang dimana bawahan harus mencari kata-kata halus dan menyampaiakn pendapat secara berputar-putar.
Ada orang yang seolah-olah dengan mudah membaur dengan kultur lain. Mereka sering disebut ‘cultural chameleon’ alias bunglon budaya. Seakan tanpa sadar merea membaur mulus dan berinteraksi efektif dengan cara yang bisa diterima budaya lain. Namun tidak semua punya kecerdasan interpersonal seistimewa ini.
Seberapa pentingkah skill ini?
Tanpa Global Dexterity, daya saing seseorang di dunia profesi atau bisnis akan terpengaruh. Seseorang bahkan bisa dianggap tidak mampu memimpin di perusahaan hanya karena masalah yang tampaknya ‘sepele’ ini.
Eric Rivers adalah eksekutif asal Los Angeles, Amerika, yang dipekerjkan di Mumbai, India, untuk memimpin divisi teknologi di sebuah perusahaan konsultan Internasional di sana. Ia pernah bekerja di bawah pimpinan banyak boss yang mengajarkan bahwa untuk menjadi pimpinan yang efektif, seseorang perlu memberi peluang kepada bawahan untuk mengembangkan diri, mengungkapkan gagasan,dan mengambil keputusan sendiri. Prinsip ini diterapkannya di India.
Di kantornya yang baru, Eric melibatkan para stafnya dalam proses pengambilan keputusan strategis. Gaya kepemimpinan Eric yang demokratis ini ternyata malah tidak berhasil. Dalam kultur India, para staff menganggap sikap Eric ini sebagai bentuk ketidak becusan. Bagi mereka, seorang pimpinan yang kompeten harus bisa memberikan jawaban dan dengan tegas memberi instruksi pada bawahan, bukan malah bertanya dan meminta pendapat. Akibatnya mereka mulai tidak respek padanya. Jadi jelas, perbedaan kultur sangat besar pengaruhnya di dunia kerja.
Di era yang semakin mendunia, kelemahan dalam Global dexterity bisa membatasi efektifitas seseorang dalam menjalankan profesinya. Orang Indonesia yang rata-rata ‘sopan dan rendah hati’ biasanya menahan diri untuk tidak mengungkapkan pendapat di meeting. Di kalangan tertentu, sikap seperti ini malah bisa menghambat karirnya.
Tiga Persoalan Pokok dan 6 Situasi Budaya
Ada 3 tantangan utama ketika belajar beradaptasi dengan kultur lain
- Masalah kompetensi: ketika kita merasa pengetahuan dan skill kita tidak cukup memadai untuk melakukan adaptasi dengan kultur tertentu
- Masalah otentisitas: ketika kita merasa bahwa perilaku baru kita bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita sendiri
- Masalah penolakan diri: ketika proses menyesuaikan perilaku yang kita lakukan sudah mulai jadi beban dan penolakan dari dalam hati kita.
- Directness: Seberapa terus-terang (to-the-point) saya diharapkan berkomunikasi dalam situasi ini? Apakah kita diharapkan berbicara apa adanya, ataukah kita mesti menyampaikan sesuatu dengan cara tidak langsung?
- Enthusiasm: Seberapa besar energy dan emosi positip yang perlu saya perlihatkan kepada orang lain dalam situasi ini? Wajarkah kita mengungkapkan apa yang kit rasakan, ataukah lebih baik jika kita menyembunyikan perasaan-perasaan positip kita?
- Formality: Seberapa sopan saya mesti bersikap dalam situasi ini? Haruskah saya bersikap sangat formal atau malah informal?
- Assertiveness: Seberapa tegas saya harus mengungkapkan pedapat saya dalam situasi ini?
- Self-promotion: Seberapa jauh saya bisa mengungkapkan kemampuan dan prestasi saya tanpa dianggap sombong?
- Personal disclosure: Seberapa banyak saya diharapkan membuka sisi personal saya dalam situasi ini?
Kapan kita beradaptasi dan kapan kita bertahan?
Charles, seorang eksekutif kelahiran Amerika, bekerja di perusahaan software berbasis di Mumbai, India. Suatu siang, ditengah meeting dengan beberapa rekan kerjanya di executive-board room, seorang pesuruh kantor mengantar secangkir the ke dalam ruangan. Secara naluriah Charles pun mengucapkan “Thank you”, kepada anak muda itu.
Yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan, setidaknya bagi Charles. Begitu si pembawa teh itu pergi, para eksekutif lain memelototi Charles seakan-akan Charles telah melakukan kesalahan fatal. Ternyata, anak muda itu berasal dari kasta yang di India dianggap tidak ada, sehingga harus diabaikan saja. Dengan mengakui keberadaan pemuda itu, Charles dianggap bertindak tidak pantas.
Ada kalanya kita dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi ada dorongan untuk mengikuti kebiasaan suatu kelompok masyarakat, namun ada saatnya kita perlu menunjukkan bahwa kita tidak bisa menerima cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai yang kita yakini. Dalam kasus ini, Charles akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti kultur setempat dan ia malah menjelaskan kepada rekan-rekan India nya tentang prinsip-prinsip hak azasi manusia dan kesetaraan. Tidak semua orang akan menghadapi situasi seperti ini, tapi mempersiapkan diri tentu lebih baik.
Memetakan Diri dan Bertindak
Dengan keenam poin di atas, kita bisa menjadi ‘cultural detective’ untuk mengidentifikasi dalam hal apa kita masih lemah. Identifikasi ini akan membantu kita untuk membuat peta budaya kita sendiri sehingga tahu apa yang harus di lakukan untuk pengembangan diri.
Ada beberapa langkah untuk menuju kesana. Setidaknya empat langkah sederhana ini bisa memberi gambaran umum.
- Membuat peta budaya diri kita sendiri seperti diuraikan di atas
- Meminta orang lain memaafkan kesalahan kita dalam beradaptasi
- Menemukan ‘pembimbing budaya’ (cultural mentor)
- Menentukan dalam hal apa saja kita akan menyesuaikan diri dan dalam hal mana kita bertahan dengan kultur kita sendiri.
Global dexterity adalah skill yang perlu dikembangkan terus. Dalam perjalanan karir ada kemungkinan kita berada dalam situasi kultural berlainan. Saat melamar kerja di perusahaan asing dan menghadapi job interview, bekerja dalam team dengan profesional dari budaya lain, ketika diskusi, menghadiri seminar, atau mengikuti workshop di negara lain atau dalam event bertaraf internasional, dikirim bekerja atau studi ke luar negeri, dan masih banyak lagi.
Menjelang AFTA 2015, beberapa perguruan tinggi di Negara ASEAN seperti Thailand mulai mengajarkan pengenalan budaya negara tujuan para lulusannya. Jadi banyak yang sudah mulai dikenalkan dengan tata cara dan kultur Indonesia. Mereka memandang Indonesia sebagai negara potensial untuk bekerja atau membuka usaha. Siapkah kita menyambut mereka, bersaing dengan mereka, atau bahkan memimpin mereka di negeri sendiri?
Sumber:
Add Comment