Jangan buru-buru mengatakan bahwa passionmu adalah perfilman atau desain dan menggambar, atau malah game.
Banyak pelajar dan anak muda mengatakan bahwa perfilman adalah passion mereka. Ada lagi yang mengatakan minat mereka pada desain dan menggambar. Lalu atas dasar ini mereka memilih jurusan kuliah. Sebaliknya, banyak orang tua ragu dengan pilihan anak mereka. Begitu juga saya. Mengapa?
Tipe-tipe Minat
Pertama, kita mesti paham ada minat sebagai hobi. Yang seperti ini tidak selalu berujung pada karier yang sama. Ada orang yang senang memasak tapi sukses sebagai analis keuangan; yang meraih gelar doktor di bidang Biologi Kelautan malah sukses sebagai pembuat film (baca artikel kami “Menyatukan Kesenangan, Pilihan Bidang Studi, dan Income Menjanjikan”); yang menempuh studi di bidang politik internasional tapi sukses dan kaya sebagai penulis, dan lain-lain.
Jennifer Xue adalah penulis produktif yang kini merambah ke Content Marketing, Digital Publishing, Data Science, dan UX Design. Tulisannya banyak dimuat di media Internasional, termasuk di Indonesia. Penulis berlatar belakang pendidikan multidisipliner ini tinggal di Amerika. Namun ia banyak menginspirasi publik Indonesia antara lain lewat artikelnya di Tabloid KONTAN.
Kedua, ada minat untuk belajar. Saya sangat bersemangat ketika bicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan data, karya seni dan proses berkesenian, audio, martial arts, dan teknologi internet. Saya juga membeli banyak buku seputar bidang-bidang tersebut. Tetapi saya tidak memilih satu pun di antaranya sebagai pekerjaan saya.
Ketiga, minat untuk bekerja. Nah, ini baru minat yang bisa dijadikan alasan untuk memilih jurusan kuliah dan rencana karier ke depan. Tetapi apakah setiap orang akan bisa sampai pada kesimpulan bahwa minatnya adalah minat untuk bekerja? Tidak selalu.
Salah Kaprah soal PASSION
Minat yang kuat di suatu bidang ini sering disebut passion. Namun ada yang perlu kita luruskan. Seseorang tidak bisa mengatakan passionnya di bidang kelautan, pertanian, atau pun desain kalau ia belum pernah menjalaninya secara intens. Kuncinya pada kata ‘intens’.
Begini. Seseorang yang suka memasak untuk keluarga belum tentu akan sukses jadi chef atau koki. Mengapa? Karena chef dan koki bukan hanya suka masak. Ia harus mau bekerja keras di bawah tekanan, berdiri berjam-jam di dapur yang panas (ingat, dapur resto tidak boleh pakai AC), dan mampu bekerja sama dalam tim atau memimpin. Memasak sebagai hobi dan memasak sebagai pekerjaan bisa jauh berbeda.
Begitu juga mereka yang mengaku berminat pada perfilman. Ketika membuat film dilakoni sebagai hobi, apalagi bersama teman-teman, segalanya terasa menyenangkan. Tapi ketika masuk tim pembuat film professional, mereka akan tahu bahwa pekerja seni sering harus bekerja tanpa kenal waktu. Di dunia perfilman, bekerja 12 sampai 16 jam sehari bukan hal baru (baca artikel kami di Kompas, “Merapal Lewat Visual”)
Itu sebabnya, passion baru ketahuan ‘SETELAH’, bukan ‘SEBELUM’ melakukan sesuatu berulang kali, di berbagai situasi, dan dalam jangka cukup lama. Jika seseorang mampu dan senang melakukan sesuatu berjam-jam tanpa merasa lelah, bahkan ia merasa lebih ‘berdaya’ ketika melakukannya, mungkin saja ia sudah menemukan passionnya.
Test Bakat & Minat
Ada banyak jenis tes untuk memprofil siswa, salah satunya adalah tes bakat dan minat. Pertanyaannya, apakah tes semacam ini bisa digunakan untuk mengetahui minat seseorang? Tentu saja bisa. Tapi apakah hasilnya bisa digunakan untuk memilih jurusan kuliah berikut peta kariernya dengan baik? SAYA RAGU.
Misalnya, salah satu pertanyaan dalam tes adalah “Mana yang lebih kamu sukai, menghitung uang atau merangkai bunga?”. Kalau dijawab ‘menghitung uang’, apakah kita sebaiknya memilih akuntansi atau manajemen keuangan? Nanti dulu. Saya juga suka menghitung uang, apalagi kalau jumlahnya besar dan itu uang saya sendiri. Wah, senangnya. Tapi saya tidak pernah tertarik pada karier yang terkait urusan uang.
Bagaimana dengan tes bakat atau tes IQ? Tes seperti ini memberi masukan kepada konselor tentang kemampuan dan kecenderungan seseorang dalam menerima pelajaran. Anak dengan IQ tinggi di bidang logika matematika bisa masuk ke banyak bidang studi. Tapi ini justru akan membuatnya kesulitan memilih satu bidang saja yang akan ditekuninya.
Di jurusan apapun ia akan mampu meraih prestasi. Jadi dokter bisa, sarjana ilmu sosial bisa, manajemen keuangan juga. Secara akademik, ia tidak akan menghadapi banyak kendala saat kuliah. Tapi apakah ia akan sukses dan mampu bersaing di salah satu bidang tersebut? Nanti dulu.
Dunia kuliah dan dunia kerja seringkali beda jauh. Ada kasus nyata. Seorang mahasiswa pintar akhirnya lulus sebagai dokter spesialis Onkologi (ahli kanker). Tetapi ketika bekerja di rumah sakit ia banyak menghadapi pasien kanker dan keluarga mereka. Perasaannya selalu tertekan dan ini terbawa ke rumah dan mempengaruhi suasana di keluarganya. Akhirnya ia memutuskan berhenti dari dunia kedokteran dan memilih jadi guru piano dan agen asuransi.
Apa yang bisa kita simpulkan? Apakah hasil tes bakat dan minatnya salah? Apakah minat dan bakat tidak bisa dijadikan indikator untuk merencanakan karier masa depan? Bisa, tetapi indikator utamanya bukan pada minat dan bakat.
Lantas, kemana orang tua, siswa dan para guru harus mencari jawaban yang lebih baik?
Jawabannya ada pada TIPE KEPRIBADIAN atau Personality Types. Seluruh perencanaan karier dan pemilihan jurusan kuliah semestinya berawal dari sini. Mau tahu alasannya? Silakan baca artikel selanjutannya di sini.
[…] 28, 2020 Career and […]