(Tulisan ini ringkasan hasil diskusi pendidikan pada Jurusanku Education Conference 2017 yang diselenggarakan pada Selasa, 23 Mei 2017 lalu. Dihadiri rektor dan perwakilan universitas dalam dan luar negeri, kepala sekolah SMA, pelajar, mahasiswa, praktisi dan orang tua siswa, event ini menghasilkan banyak gagasan segar menuju sistem sekolah masa depan)
Penjurusan di SMA ke dalam IPA dan IPS ada sejak zaman Belanda. Nama dan kategorinya berubah dari masa ke masa. Meski istilah penjurusan kini dilabeli Peminatan, praktiknya nyaris sama. Masalahnya, dunia kerja mengalami perubahan besar di abad 21 ini. Para pelajar saat ini harus menyiapkan diri untuk berbagai pekerjaan dan profesi yang saat ini bahkan belum ada namanya.
Berkolaborasi dengan penerbit Grasindo dari Gramedia Grup, Jurusanku.com mengadakan Jurusanku Education Conference 2017, sebuah ajang diskusi untuk mencari solusi atas berbagai masalah akibat isu IPA dan IPS. Event bertema “Penjurusan IPA dan IPS di SMA, Masihkah Relevan?” ini dihadiri beberapa rektor, perwakilan universitas dalam dan luar negeri, kepala sekolah, praktisi industri, orang tua murid, pelajar SMA dan mahasiswa.
Problema
Membuka acara diskusi, Ina Liem dari Jurusanku.com selaku penyelenggara mengungkapkan masalah yang paling sering dirasakan adalah stigma bahwa anak IPA lebih pintar dari anak IPS. Pertanyaan “Kamu pinter kok milih IPS?” sering terdengar. Beberapa siswa bahkan dipersulit masuk ke IPS karena nilainya cukup untuk masuk IPA.
Selain itu, ada persepsi siswa IPA mempunyai lebih banyak pilihan bidang studi di perguruan tinggi. Akibatnya orang tua menekan anak agar masuk IPA. Banyak yang ingin anaknya diterima di PTN yang notabene ketat dengan syarat IPA dan IPS ini.
Begitu kuatnya stigma negatif IPS, ditambah dengan penerimaan mahasiswa PTN lewat jalur SNMPTN, telah mendorong banyak praktik kecurangan di dunia pendidikan, khususnya di sekolah. Pakar pendidikan Doni Koesoema mengungkapkan hal ini.
Syarat masuk universitas
Beberapa universitas swasta, baik di dalam maupun di luar negeri, tidak menerima mahasiswa berdasarkan IPA dan IPS. Sampoerna University lebih mengutamakan kompetensi dasar yang antara lain meliputi kreativitas, berpikir kritis, dan kolaborasi.
Di Swiss German University beberapa lulusan SMA jurusan IPS diterima di jurusan Mekatronika yang sarat dengan muatan elektronika, komputer, dan mekanika. Mereka bukan hanya mampu mengikuti perkuliahan, tetapi bahkan masuk Top Three di angkatannya.
Ada lagi pelajar yang nilainya tidak cukup untuk masuk IPA, namun sangat suka komputer. Ia masuk jurusan IT dan berprestasi. Kuncinya kerja keras, bergaul dan mau belajar dari siapapun. “There is a simple recipe for success – work hard and don’t give up,” kata Dr. Filiana Santoso, rektor Swiss German University, menyimpulkan.
Di Belanda, menurut perwakilan dari Nuffic Neso memang pilihan prodi untuk lulusan IPS lebih terbatas dibanding lulusan IPA, seperti halnya di Indonesia. Namun negara-negara lain
umumnya menerima semua lulusan SMA tanpa memandang IPA atau IPS. Hanya saja untuk program studi tertentu ada syarat tambahan. Untuk bidang engineering di RMIT, Melbourne, misalnya, lulusan IPS harus ada nilai Advanced Math yang ujiannya bisa ditempuh lewat Cambridge International Examination di Indonesia.
Menurut Stefani Sugiarto dari Insearch UTS, Sydney, hanya di prodi engineering siswa diminta menunjukkan nilai Basic Physics atau Chemistry (salah satu). Jurusan Dermal Therapies yang masuk fakultas sains di Victoria University, Melbourne, juga menerima mahasiswa berlatar IPS. Selama minatnya kuat, terbukti mereka bisa menjalani kuliah dengan baik. Begitu juga Deakin University di Melbourne, yang memiliki prodi kekinian di bidang Digital Communication.
Kastanisasi yang tidak relevan
Menurut rektor Universitas Trilogi, Prof. Dr. Asep Saefuddin, perguruan tinggi perlu memikirkan kembali syarat masuknya. “Apa perlu syarat masuk dibedakan seperti kasta?” tanya guru besar Statistik ini. Hasil risetnya yang berbasis multiple intelligences (kecerdasan majemuk), pengelompokan IPA dan IPS menyesatkan. Anak tidak bisa begitu saja dikelompokkan ke dalam IPA atau IPS, sebab profil seseorang tidak sesederhana itu.
Secara umum, mahasiswa dan pelajar yang hadir sepakat penjurusan ini tidak cocok lagi. Adi Pratama, mahasiswa kedokteran di Unika Atmajaya, Jakarta mengatakan siswa IPS bisa masuk kedokteran. Meski kewalahan, mereka survive. Sementara itu kuliah kedokteran juga memuat topik-topik di ranah IPS seperti etika, aspek sosial dan hukum dalam kesehatan dan praktik kedokteran. Menurutnya, pendekatan interdisipliner perlu sejak SMA.
Pemisahan IPA dan IPS sering menghasilkan pola pikir terkotak-kotak. Imanda Susilo yang lama berkarier di industri migas mengatakan bahwa engineers sering tidak sadar pentingnya pendekatan sosial. Padahal justru kajian para sarjana ilmu sosial lah yang membantu kelancaran tugas teknisi migas di lapangan. Engineers yang memiliki wawasan sosial justru berpeluang untuk menempati posisi pimpinan.
Pendapat ini dikuatkan Evelyn, praktisi Data Analytics dari Red & White. Menurutnya, orang sering memandang IPA dan IPS sebagai dua hal terpisah seperti kode biner, yakni nol dan satu. Padahal mestinya keduanya terhubung secara lebih cair seperti di dunia kerja saat ini. Lulusan Matematika ITB ini menambahkan, kini riset di bidang matematika pun bersifat multidisipliner karena terkait lingkungan, desain, sosial, hukum, dan sebagainya.
Solusi lewat aksi
Di usianya yang ke 25, SMA Cita Hati, Surabaya, mereview seluruh visi dan misinya. Hasilnya, pemisahan IPA dan IPS dihapus. Kepala sekolahnya, Juwati Ureyang, sadar kebutuhan anak sekarang berbeda. Ketika lulus kuliah kelak, mereka harus bersaing, bukan hanya dengan tenaga kerja asing, tetapi juga melawan mesin (kecerdasan buatan). Banyak jenis pekerjaan akan lenyap. Jadi skill apa saja yang perlu diberikan?
Beberapa kemampuan menjadi tolok ukur hasil pendidikan, seperti komunikasi, analisa, team work, kreativitas, dan karakter, semua hal yang tidak mampu dilakukan mesin. Proses belajar pun lebih bersifat interdisipliner. Alhasil, kurikulum dirombak.
Ada 9 bidang yang harus dipelajari, yakni bahasa, sains, social studies, math, design, visual arts, writing, philosophy, dan community service. Untuk tiap bidang siswa cukup memilih satu mata pelajaran. Tentu ada pelajaran agama dan olahraga sesuai ketentuan pendidikan nasional. Menariknya, tiap pelajaran punya jatah jam sama banyak. Tak ada yang lebih penting dari yang lain. Metode mengajarnya pun sarat dengan praktik (doing).
Selain Cita Hati ada pula ESOA (Erudio School Of Art), sebuah sekolah seni setara SMA dengan kurikulum unik. Menurut Ira, pendirinya, sekolah ini didirikan untuk mengakomodasi pelajar dengan talenta, kebutuhan, dan aspirasi unik yang tidak terlayani baik di IPA, IPS maupun Bahasa.
Dukungan dan keleluasaan dari pemerintah
Seringkali sekolah takut melakukan perubahan karena persepsi yang tidak sepenuhnya benar terhadap kebijakan pendidikan nasional. M. Hamka dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), Kemendikbud, mengutip UU pendidikan nasional no 20 psl 12 (1.c) yang menyatakan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
Lanjutnya, UU tidak mengatur IPA dan IPS. Jadi sekolah dengan model kurikulum unik tidak melanggar regulasi. Kini pemerintah lebih menekankan core competences, seperti collaboration, communication, creativity, critical thinking, cross cultural understanding, ICT, dan career. Semua pelajaran di IPA atau IPS hanya wahana untuk mengajarkan kompetensi di atas. Jadi, sekolah bisa menentukan jenis dan jumlah mata pelajarannya sejauh mencapai standar pemerintah.
Masih dari Puskurbuk – Kemendikbud, Dr. Agus Trianto menambahkan, ide penghapusan jurusan sudah ada sejak 2012. Kita mengarah pada cara belajar yang menumbuhkan learning skills, bukan subject skills. Ia menyarankan agar ide-ide baru terus diserukan untuk mendorong reformasi. Selama tidak melanggar undang-undang, pihak Kemendikbud memberi kelonggaran pada gagasan baru sekalipun belum sesuai peraturan menteri.
Saya sangat mendukung penghapusan kasta jurusan di sma ini.. Semoga segera terwujud !
Mari terus kita suarakan, di kalangan para orang tua siswa lebih efektif.