Pada ajang kompetisi Design Challenge yang diselenggarakan CHIuXiD 2016 di Jakarta tanggal 13-15 April 2016, tiga serangkai dari Universitas Parahyangan dan UNPAD, Bandung, keluar sebagai pemenang.
Mereka adalah Raditya Pradipta dan Dominikus Dwipranarko (jurusan IT Unpar) dan Vania Andriani (FTIP UNPAD).
Desain aplikasi yang mereka buat dinamai DAMROUTE, sebuah solusi digital di bidang tranportasi, khususnya bus Damri. Kompetisi desain ini bagian dari International Human-Computer Interaction (HCI) and User Experience (UX) Conference yang dihadiri beberapa pakar dan praktisi, antara lain Elizabeth F. Churchill, Director of User Experience, Google, USA.
Dalam ajang Design Challenge kali ini, yang dilombakan adalah konsep (prototype) solusi berbasis aplikasi mobile. Jadi baru konsepnya. Bila investor berminat dan menganggap gagasannya layak didanai, tahap selanjutnya adalah menggarap sisi teknisnya. Meskipun baru konsep, menemukan masalah, melanjutkannya dengan riset, dan merumuskan solusinya tidak mudah.
Peka terhadap sekitar
Kebanyakan orang kesulitan menemukan problema untuk dicarikan solusinya. “Sebenarnya ada banyak masalah di sekitar kita. Selalu ada ruang untuk menawarkan solusi asal kita mampu bersimpati pada korban dari problem tersebut,” kata Raditya yang tertarik pada masalah transportasi dan transparansi untuk menekan peluang KKN.
Ide untuk memilih masalah Damri berasal Vania Andriani, pengguna angkutan bus Damri selama 4 tahun kuliahnya. Ia sering mengalami kekecewaan terhadap layanan bis ini. Dari Vania, tim mendapat gambaran masalah dengan jelas. Selain itu, tim bisa lebih mudah menjangkau target users dari solusi ini, yakni pelajar di Kota Jatinangor.
Identifikasi Masalah
Prototype Damroute diawali dengan merumuskan masalah: Pengguna bis sulit mengatur waktu dan pengeluaran uang karena bis tak punya jadwal pasti. Dari riset terhadap 7 pengguna tetap Damri ditemukan sisi positif dan negatif layanan ini. Sisi positifnya, Damri adalah transportasi termurah dan untuk turun-naik tidak jauh dari rumah.
Sisi negatifnya, kondisi bis jelek. Pintu dan kursinya rusak. Bis kadang terlalu berdesakan dan waktu datang dan tibanya tidak pasti sehingga tidak efisien di waktu. Seorang pengguna pernah harus menanti 2 jam dan hanya mendapat bis penuh sesak yang akhirnya terhenti di tengah jalan karena mogok.
Meneliti pengguna
Dari pengamatan langsung, hasilnya ada dua poin utama, yakni masalah perawatan yang buruk dan penumpang cenderung mengantuk. Setelah ditelaah lebih jauh, ternyata penumpang bukan hanya mudah tertidur tetapi juga terlambat turun bis (tujuan terlewati). Tersisa dua persoalan utama yang hendak dicarikan solusinya, yakni waktu tiba yang tidak bisa diprediksi dan masalah penumpang yang tertidur.
Merancang solusi dengan teknologi
Sasaran pertama adalah menyediakan informasi perkiraan waktu kedatangan bus di tiap perhentian. Caranya dengan menggunakan metode P2P (peer to peer) dengan memanfaatkan smartphone penumpang sebagai pembawa sinyal GPS. Tiap bus dipasangi alat pelacak GPS. Untuk menghitung waktu tiba digunakan Waze atau GMaps API dan Flock Patterns Recognition.
Aplikasi juga dirancang dengan fitur dimana penumpang bisa berbagi opini/kesan tentang kondisi bus. Sementara itu untuk mencegah penumpang terlewat tujuannya, ada fitur alarm bagi penumpang yang mengantuk.
Setelah memperbaiki sana-sini, muncullah desain versi terakhir seperti terlihat di bawah ini.
“Kami memang sangat antusias perihal UX. Ini kesempatan melakukan UX research yang benar sekaligus mengukur kemampuan diri, jadi ya lebih untuk cari pengalaman,” lanjut Raditya. Bukan itu saja, mereka juga belajar bekerja dalam tim untuk proyek UX serta belajar pitching dihadapan investor. Bagi mereka hanya dua kemungkinan: sukses atau belajar; bukan sukses atau gagal.
Dari acara ChiUX conference selama dua hari, mereka merasa mendapat wawasan (insight) dari berbagai UX Designers baik dalam maupun luar negeri. Selain membuka pikiran, mereka dapat ilmu dan koneksi baru.
Ketika ditanya rencana kedepan, masing-masing tampaknya sudah punya rencana mantap. Vania ingin membangun usahanya sendiri, Raditya ingin melamar kerja dulu untuk mencari pengalaman sebelum melanjutkan studi, sedangkan Dominikus ingin mencoba pekerjaan baru untuk jangka pendek sebelum membentuk bisnis startup sendiri.
Jadi, tentang aplikasi berbasis mobile technology, yang utama bukanlah teknologinya, melainkan ide di belakangnya. Sebuah app akan banyak diminati jika ia sungguh membuat hidup jadi lebih mudah dan nyaman. Untuk sampai pada ide semacam itu, ajang UX design challenge semacam ini bisa dijadikan latihan sekaligus cermin untuk mengukur kemampuan diri. Selamat untuk Raditya, Vania, dan Domi, semoga tetap semangat menghasilkan karya-karya baru yang berguna bagi banyak orang.
Add Comment