(Artikel Ina Liem ini muncul di tabloid Kontan pada tahun 2015. Semoga bermanfaat)
Pemilihan IPA dan IPS masih jadi perbincangan hangat setiap kali anak masuk SMA.
Masih banyak yang menganggap IPA memberi peluang lebih menjanjikan dibanding IPS. Bahkan ada saja orang tua yang menangis saat anak mereka dinyatakan lebih cocok di IPS, seolah masa depannya sudah hancur.
Benarkah ilmu-ilmu yang tergolong IPS kurang menjanjikan? Apa saja pilihan jurusan selepas SMA bagi siswa IPS? Sesungguhnya, selain jurusan seperti Psikologi, Manajemen, Politik Hubungan Internasional, Sastra, Antropologi, dan Hukum, ada program yang lulusannya punya kelebihan khusus, yakni pendidikan Liberal Arts.
Liberal Arts adalah salah satu model pendidikan tertua di dunia. Di masa Yunani kuno, pendidikan ini menandai seseorang yang dianggap ‘educated’. Tujuannya mencetak pribadi yang etis dan bersikap mulia, berwawasan luas serta mampu merangkum pokok-pokok pikiran yang kompleks ke dalam bahasa sederhana.
Di Amerika, pendidikan ini sudah sejak lama dipertahankan. Namun di Eropa, tempat asalnya, Liberal Arts baru mencuat kembali belakangan ini. Sedangkan di Asia, pembahasan mengenai program ini baru mendapat momentum sekitar tahun 2013.
Dalam sistem pendidikan Liberal Arts, mahasiswa ‘dijejali’ mata kuliah pengantar berbagai cabang ilmu. Kelompok materi Liberal Arts biasanya meliputi Humanities (Filsafat, Sejarah, Sastra Inggris, Bahasa Asing), Social Sciences (Sosiologi, Politik, Ekonomi, Geografi, Antropologi), Creative Arts (Fine Art, Speech, Creative Writing, Theatre), serta sains termasuk Matematika, Kimia, dan lain-lain.
Dengan luasnya lingkup materi di tahun-tahun pertama, mahasiswa akan menemukan area yang ingin didalami lebih lanjut. Contohnya, setelah menempuh materi humanities di atas, mahasiswa yang berniat mendalami Ekonomi tetap harus mengambil semua mata kuliah wajib untuk bidang Ekonomi.
Kelebihannya, saat lulus ia sudah ‘dipersenjatai’ dengan soft skills dan wawasan sangat luas yang dibutuhkan dunia kerja, seperti kemampuan berpikir logis dan kritis, problem solving, berkomunikasi secara efektif, bernegosiasi, bertanya dengan benar, beradaptasi dengan berbagai situasi, serta teamwork.
Bekal ‘human skills’ ini tidak lekang oleh waktu dan teknologi sehingga manfaatnya bisa dirasakan seumur hidup. Wawasan yang luas memudahkan mereka bekerja sama dengan berbagai pihak. Dengan kemampuan berpikir lintas ilmu, mereka bisa melihat dunia dan manusia dari berbagai sudut pandang.
Mereka terbentuk menjadi pribadi yang mampu menembus kebuntuan dalam dialog dan pertukaran pendapat. Ini kemampuan langka yang diperlukan seorang pimpinan di industri apapun. Tidak aneh kalau 74% CEO di Amerika menyarankan pelajar untuk menempuh pendidikan liberal arts di perguruan tinggi, apapun bidang keahlian yang ingin mereka kuasai nantinya.
Salah satu universitas terbaik di Amerika untuk mendapatkan pendidikan liberal arts adalah Williams College di Massachusetts yang berdiri tahun 1793. Syarat masuknya sangat kompetitif. Tahun 2014 lalu, yang diterima hanya 19.3% dari total pendaftar.
Pendidikan liberal arts di Amerika kebanyakan ditawarkan oleh college-college swasta, dan biasanya berasrama. Jumlah mahasiswa dibatasi sehingga rasio dosen dan mahasiswa sangat kecil supaya proses belajar liberal arts lebih efektif dan interaktif. Oleh sebab itu uang kuliah di liberal arts colleges umumnya sangat mahal, berkisar antara USD30,000 – USD50,000 per tahunnya.
Alternatif lebih murah bisa ditemukan di Kanada, salah satunya di King’s University College at Western University yang terletak di kota kecil bernama London di Ontario. Lebih dikenal dengan sebutan King’s College, uang kuliahnya sekitar CAD25,000 per tahun.
Di Eropa sendiri mulai bermunculan universitas yang menerapkan pendidikan ini. Contohnya Utrecht University Belanda yang sudah berdiri sejak 1636. Mereka mendirikan University College Utrecht pada tahun 1998, university college pertama di Belanda yang menerapkan model pendidikan Liberal Arts and Sciences dengan durasi 3 tahun, lebih singkat dibanding di Amerika dan Kanada.
Di Utrecht, bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, dan semua mahasiswa harus tinggal di asrama kampus. Uang kuliah tahun 2015-2016 adalah E(lambang Euro) 9,260, belum termasuk asrama. Biaya total diperkirakan sekitar E20,000 per tahun.
Bard College yang kampus utamanya ada di New York berafiliasi dengan Bard College, Berlin di Jerman, sebuah liberal arts university yang menawarkan 2 program pilihan yaitu Bachelor of Arts in Humanities, the Arts, and Social Thought, atau Bachelor of Arts in Economics, Politics, and Social Thought. Uang kuliahnya sekitar E20,000 per tahun termasuk asrama dan makan.
Meskipun bahasa pengantarnya bahasa Inggris, diharapkan di akhir tahun kedua mahasiswa bisa berbahasa Jerman di tingkat intermediate. Menariknya, di tahun ketiga mahasiswa bisa ikut program Study Abroad untuk mencicipi kuliah di negara lain yang termasuk dalam jaringan ERASMUS ataupun Bard.
Di Indonesia liberal arts sudah Ada teh? Soalnya aku baru Tau pas jalan jalan ke Bangkok tentang jurusan ini
Setahu kami belum ada.
Kalau gak salah UPI Bandung sudah punya departemen Liberal Arts? Btw, apakah Liberal Arts itu bisa dalam bentuk Progdi yang berdiri sendiri? Atau menjadi semacam “Mata Kuliah Umum” yang wajib bagi mahasiswa semua jurusan/progdi?
Tks sebelumnya.
Semuel
Setahu saya belum ada prodi Liberal Arts di UPI. Mata Kuliah Dasar Umum dianggap serupa dengan General Education yang semangatnya ‘mirip’ pendekatan pengajaran Liberal Arts. Tapi UPI belum punya prodi ini.
Terimakasih banyak komennya. salam hangat
Calvin Institute of Technology di Jakarta, menggunakan Reformed Liberal Arts Curriculum (RLAC) sebagai dasar pembelajaran Program Studi STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Bisa lihat di sini https://calvin.ac.id/academics/reformed-liberal-arts-curriculum/
Terimkasih infonya.