(Seperti biasanya, karena artikel Ina Liem di Kompas KLASS memakan dua halaman, maka kami mengunggahnya ke blog dalam dua artikel. Ini bagian kedua artikel Sport Science di Kompas KLASS, Jumat 23 Mei 2014. Untuk membaca bagian pertama, klik disini)
Apa yang diperlukan untuk mencetak peraih medali emas di kancah internasional?
Profesor Keith George, pimpinan Research Institute for Sport and Exercise Sciences di Liverpool John Moores University, mengatakan, untuk menjadi juara dibutuhkan attitude yang tepat, mental yang tangguh, dan sistem pendukung.
Pelatihan-pelatihan standar biasanya hanya fokus pada sisi teknik, taktik, dan fisik. Kita sering lupa memberi perhatian yang sama besarnya pada unsur psikologis atau mental. Menurut Prof George, rasa percaya diri dan “a winning mindset” penting ditanamkan pada atlet.
Prof. George memberikan contoh peningkatan prestasi Inggris pada Olimpiade 2012 ketika Inggris meraih 29 medali emas dan menduduki peringkat ke-3 setelah Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok. Padahal, pada Olimpiade 1996 di Atlanta, Inggris hanya mengantongi 1 medali emas dan berada di posisi 36. Apa rahasianya?
Menurut Prof George, peningkatan prestasi Inggris ini didukung oleh penelitian di bidang olahraga dan suatu konsep yang disebutnya “mind over matter”. Menurut hematnya, memenangkan medali emas bukan masalah leher ke bawah, melainkan apa yang ada di pikiran kita.
Penemuan bakat
Sering terjadi perdebatan, apakah atlet terbentuk karena bakat alam (nature) atau hasil pelatihan (nurture)? Menurut Dr Graeme Close, faktor genetik tentu ada. Misalnya, atlet dayung memerlukan tinggi badan tertentu. Apabila tidak ada keturunan berbadan tinggi di keluarga, tentunya kecil kemungkinan seseorang masuk tim dayung.
Namun, komponen genetik ini lebih kecil dibandingkan dengan faktor pembinaan. Tinggi badan saja tidak cukup tanpa stimulus yang benar terhadap otot, kekuatan mental, nutrisi, dan teknik biomekanik yang digunakan. Untuk itu, diperlukan persiapan setidaknya 5 tahun untuk mencetak juara olimpiade. Aturan 10.000 jam terbang memang berlaku di sini.
Namun, ini bukan berarti hanya 10.000 jam berlatih. Unsur persiapan secara menyeluruh untuk mendapatkan bentuk tubuh yang sesuai dan kesiapan mental juga termasuk di dalam 10.000 jam tersebut. Oleh sebab itu, bakat atlet perlu diidentifikasi sejak usia dini dan dipupuk untuk mencetak atlet unggulan. Keterlibatan dalam kompetisi tingkat tinggi lebih baik dilakukan sejak dini dari pada saat menginjak remaja.
Prof George mengambil contoh Ellie Simmonds, seorang perenang paralimpiade. Ia begitu percaya diri dan bersedia melakukan latihan apa pun untuk menjadi atlet papan atas. Ia rela meninggalkan Inggris di usia 11 tahun dan pindah ke Swansea, Wales, untuk berlatih. Pada 2008, Ellie mewakili Inggris di Paralimpiade Beijing di usia 13 tahun. Medali emas pertamanya diraih pada usia 18.
Sistem pendukung (support system)
Hal lain yang sangat penting menurut Prof George adalah sistem pendukung untuk membantu atlet muda melewati masa transisi dari yunior menuju olahragawan profesional. Mereka harus dibekali kemampuan beradaptasi sesuai dengan usia, emosi dan lingkungannya.
Sistem pendukung meliputi sang atlet itu sendiri, pelatih, tim medis, tim sains (nutrisi, fisiologi, pelatihan, pemulihan, psikologi), lembaga pemerintah, dan pendanaan. Orang-orang di dalamnya harus dibekali dengan kualitas, pengetahuan mutakhir, dan pengalaman. Fokus utamanya ada pada atlet dan performanya.
Mencetak atlet tidak hanya memberi makan bergizi dan pelatihan yang benar, tapi juga menyediakan lingkungan sosial yang tepat. Teman, keluarga, aktivitas sosial mereka termasuk hal pokok yang perlu penanganan. Banyak pemain sepak bola yang dikirim ke luar negeri gagal berprestasi hanya karena tidak mampu beradaptasi dari sisi bahasa dan kurang dukungan keluarga. Penyebab lainnya adalah kegagalan beradaptasi dengan makanan atau kultur setempat.
Memang berat. Bayangkan seorang anak 13 tahun dikirim ke Denmark untuk berlatih. Siapa di sana yang bisa dia ajak berbicara, berteman, atau jalan-jalan? Berlatih memang penting, tetapi kehidupan sosial juga harus tetap berlangsung sehingga ia merasa nyaman. Pemahaman psikologis dan sistem pendukung seperti ini sangat ditekankan di jurusan Sports Science di LJMU.
Untuk menjadi ahli sports science, ilmu di tingkat S-1 meletakkan dasar pemikiran ilmiah dalam olahraga dan keterkaitan antara satu aspek dengan aspek lain. Namun, untuk menjadi seorang spesialis, jenjang S-2 menawarkan beberapa pilihan, seperti misalnya psikologi olahraga, nutrisi, atau biomekanika. Mereka yang berorientasi pada penelitian bisa meneruskan ke tingkat doktoral.
Selain pengetahuan akademik, pengalaman atau jam terbang juga penting. Untuk itu, pada tahun terakhir program S-1 Sports Science di LJMU, ada Work Placement. Banyak lulusan LJMU yang mendapat pekerjaan permanen di tempat mereka magang karena sudah dinilai kompeten ketika masih magang.
Ina Liem
Author and CEO Jurusanku.com
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Add Comment