Tahun 2030 mendatang kita memasuki era Bonus Demografi. Artinya di tahun tersebut di negeri kita ada lebih banyak penduduk usia usia kerja (15 – 64 tahun?) dibanding penduduk yang non produktif, yakni usia anak-anak dan usia lanjut.
Mengapa disebut Bonus? Jika pada saat itu semua individu produktif punya penghasilan, perekonomian negeri ini akan maju pesat. Akan ada lebih banyak orang yang menanggung biaya hidup anak-anak dan orang lanjut usia. Mirip sebuah keluarga besar dimana jumlah orang yang bekerja lebih banyak ketimbang jumlah orang yang jadi tanggungan. Biaya hidup jadi jauh lebih terjangkau.
Korea Selatan adalah salah satu negara yang melompat menjadi negara kaya karena Bonus Demografi bisa dimanfaatkan dengan baik. Pendapatan per Kapita Korea dilaporkan hampir 30.000 Dolar AS aktif 2017 (ceicdata.com). Meskipun kita tidak masuk kategori negara miskin lagi, income rata-rata penduduk Korea Selatan sepuluh kali lipat pendapatan kita. Ini terjadi karena pemerintah dan masyarakatnya siap menyongsong era tersebut.
Sebagai contoh, China dan Korea Selatan berhasil memanfaatkan melimpahnya jumlah penduduk usia produktif dengan menciptakan industri rumahan (industri rumahan) pembuat komponen untuk memasok peralatan elektronika dan telpon genggam bagi industri besar. Selain menciptakan jutaan lapangan kerja, industri rumahan ini mendukung terbentuknya industri elektronika raksasa yang kemudian mendunia (finance.detik.com).
Bonus vs Bencana Demografi
Bagimana Indonesia? Bonus Demografi sudah di depan mata, yakni di 2030, dengan puncaknya di tahun 2025 dan 2027. Bahkan menurut studi PricewaterhouseCoopers, Indonesia akan masuk empat besar negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada 2050. Prediksi ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di atas lima persen serta bonus demografi dan kekayaan sumber daya alam. Kita tentu berharap bisa seperti Korea Selatan (Kompas).
Namun potensi ini tidak mudah mewujudkannya. Tanpa kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, Bonus Demografi bisa berubah menjadi Bencana Demografi, yakni ketika kita terperosok ke dalam Perangkap Pendapatan Menengah, alias menjadi bangsa dengan pendapatan ‘segitu-segitu aja’.
Pemerintah mengantisipasi hal ini dengan menyiapkan berbagai langkah. Direktur Pendidikan Tinggi, IPTEK dan Kebudayaan di BAPPENAS, Amish Alhumami MA, M.Ed, Ph.D, mengungkapkan beberapa pokok pikiran dan harapannya terkait masalah ini kepada team Jurusanku di ruang kerjanya, Senin 5 November 2018 lalu.
Itu sebabnya generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa, perlu menyiapkan diri dengan lebih cerdas dan kerja keras. Ingat, bonus demografi adalah saat ketika jumlah pencari kerja melonjak drastis. Persaingan merebut lapangan kerja akan semakin ketat. Sekali pun pemerintah berusaha membuka lapangan kerja seluas-luasnya lewat penanaman modal baru, jika mutu lulusan kita tidak memenuhi syarat, hasilnya tidak akan banyak mengubah nasib bangsa.
Banyak orang menganggap mencari pekerjaan itu sangat sulit sebab lapangan kerja tidak tersedia cukup. Tapi di pihak lain, banyak pimpinan perusahaan mengeluh sulitnya mendapatkan tenaga kerja dengan kualitas yang dibutuhkan. Keduanya bisa saja benar. Pasti, di pihak pencari kerja ada keharusan mendesak untuk menunjukkan kemampuan yang dibutuhkan industri.
Pengisian Akademik
Salah satu hal penting yang disampaikan Dr. Amich Alhumami adalah soal pendidikan vokasi (kejuruan) baik di tingkat SMK maupun Politeknik. Lulusan bidang kejuruan yang bermutu masih sangat dibutuhkan industri. Selama 3 tahun terakhir ini pemerintah melakukan Pengisian Akademik dengan mengirim banyak pengajar untuk training sekaligus magang selama beberapa bulan di negara-negara yang terbukti maju pendidikan vokasinya, seperti Taiwan, Kamu punya, dan Korea Selatan.
Masih ada beberapa masalah lain dalam menghadapi Bonus Demografi, salah satunya adalah tidak sinkronnya antara bekal pendidikan dengan bidang kerja yang dijalani. Salah satu alasannya karena banyak lulusan tidak punya skill yang siap pakai. Sementara itu mereka yang punya pengetahuan dan skill malah memilih bekerja di luar bidang studinya.
Selain itu, banyak orang menganggap pendidikan vokasi kurang bergengsi dan bukan untuk anak pintar. Ini anggapan salah. Di banyak negara maju, misalnya Jerman, sebagian besar pelajar bangga menempuh pendidikan kejuruan. Di Indonesia, lulusan politeknik seperti ATMI (Akademi Teknik Mesin Indonesia) di Solo umumnya sukses di berbagai industri dan mampu meraih posisi tinggi di perusahaan. Selain ilmu dan keterampilannya terasah baik dan siap kerja, lulusan Politeknik bisa melanjutkan studi ke jenjang S2 atau bahkan S3 di bidang ilmu terapan (Ilmu pengetahuan praktis).
KETERAMPILAN LEMBUT
Memasuki era Revolusi Industri ke 4 ini, pemerintah menyiapkan Agenda Pembangunan Manusia yang tujuannya meningkatkan kualitas penduduk Indonesia. Fokus utamanya ada di pendidikan menengah (SMA dan SMK) dan pendidikan tinggi (Universitas dan Politeknik). Tapi ini jangan diartikan hanya sebatas pada kualitas akademik saja.
Mengutip beberapa hasil studi di berbagai negara, dr. Amich menyebut bahwa mengembangkan soft skills dan membangun karakter adalah bagian yang sangat penting dalam menyiapkan diri menuju profesi. Sudah banyak bukti betapa kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, berpikir kritis, dan kepemimpinan menjadi penentu sukses di dunia kerja. Intinya, buat apa punya nilai akademik tinggi kalau tidak mampu bersosialisasi dengan baik.
Ada temuan menarik dari perusahaan konsultan manajemen Red & Putih, Singapura. Data ratusan ribu karyawan berbagai perusahaan besar di 7 negara di Asia, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa tingginya IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) bukan jaminan sukses di tempat kerja. Memang, kinerja sesorang semakin bagus seiring dengan semakin tingginya IPK. Tapi ini berlaku sampai IPK 3,40. Di atas angka tersebut, semakin tinggi IPK seseorang, semakin rendah job performance nya. Semoga generasi muda kita tidak terpaku pada upaya mengejar tingginya nilai akademik sehingga lupa mengembangkan karakternya.
Tambahkan komentar