Satrio adalah sosok unik yang menemukan passion memasaknya justru semasa ia kuliah di Amerika mengambil jurusan Finance.
Selama kuliah di Columbus, Ohio, yang sepi, hal yang dirasa berat adalah mencari makanan enak sebab jauh dari kota besar. Maka mulailah Satrio belajar memasak untuk memenuhi hasratnya. Tak disangka, inilah awal menuju profesinya sekarang.
Setelah lulus dari bidang keuangan di Ohio State University, USA, ia sempat bekerja selama setahun di sebuah bank di Amerika sebagai teller. Ketika visanya habis, ia harus kembali ke Indonesia.
Bukannya melamar kerja, ia malah bertekad mendalami kuliner secara akademis. Ia pun mendaftar ke Sages International Culinary School, Surabaya, kota asalnya, dan menjalani kuliah sampai lulus.
Resep Menjadi ‘Jagoan Masak’
Seperti kebanyakan lulusan kuliner, bagi Satrio, kuliah di jurusan kuliner meletakkan dasar-dasar umum tentang pekerjaan di dapur. Masih sangat banyak yang harus dipelajari di luar kampus.
Selepas kuliah, tanpa kenal lelah Satrio berlatih, bereksperimen dengan berbagai menu dan bahan masakan. Ia banyak menimba informasi dari buku-buku yang kadang mesti dibelinya di luar negeri. Bahkan tak jarang ia berburu bumbu masak dan bahan mentah sampai ke negara lain. Ia mengaku kecap terbaik untuk menunya justru bukan buatan lokal, apalagi bahan seperti cheese dan pasta.
Bukan itu saja. Banyak pengalaman yang harus dilaluinya untuk menjadi seperti sekarang. Ia pernah ditipu pemasok daging yang menjual daging tak sesuai kualitas yang diminta, yang akhirnya mesti dibuang karena di bawah standar restonya. Lewat ratusan trial and error, ia akhirnya menemukan menu andalan yang sangat digemari pelanggan setianya yang tidak dijumpai di tempat lain.
Keunikan dan Keistimewaan
Ada beberapa hal yang sangat dijaga Satrio di rumah makannya. Pertama, ia hanya menggunakan bahan bermutu tinggi. Bukan soal gengsi. Daging berkualitas baik memang jauh lebih enak dibanding daging sapi biasa, apalagi dibanding dengan daging rawon. Penikmat steak sangat paham soal ini.
Karena bahannya berkualitas, maka menu daging sajiannya tidak perlu ditutupi dengan rasa saus, sambal atau kuah kental penambah rasa. Ia justru mempertahankan rasa dagingnya dengan menyingkirikan bumbu yang malah bisa mengaburkan rasa aslinya.
Kedua, cara mengolah makanan pun sangat cermat. Bagian luar steak buatannya yang berwarna kecoklatan hanya setebal 2 milimeter saja, sedangkan bagian dalamnya yang tebal berwarna lebih terang. Ketepatan pengaturan waktu dalam memasak juga sangat diperhitungkan.
Ketiga, semangatnya berinovasi tak pernah padam. Pernah ia mengundang kalangan terdekatnya ke rumah untuk mencicipi menu kepiting hasil eksperimennya. Ternyata mereka ‘doyan’ sekali. Kini di kalangan penikmat kuliner kelas atas di Surabaya nama Beatus disebut sebagai tempat makan kepiting paling enak, meskipun bukan yang murah.
Suka Duka Membuka Resto
Dua tahun pertama sejak membuka Beatus, banyak kekecewaan yang dialaminya. Betapa tidak, rumah makan dan penjual makanan dan minuman di sekitar restonya dijejali pembeli, sementara itu restonya sunyi. Sesekali orang mampir, membaca daftar menu, lalu keluar sambil berkata: “Kemahalan”. Tak jarang Satrio merasa putus asa sampai hampir menutup usahanya.
Namun usahanya mulai membuahkan hasil di tahun ketiga. Mungkin karena Satrio sama sekali tak pernah beriklan, memberi diskon, mengadakan promo credit card, atau berkicau di media sosial. Benar-benar bisnis gaya ‘old school’. Perlu beberapa tahun sampai orang mengenal dan menjadi pelanggannya. Ia hanya mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut.
Ahirnya di tahun ketiga restonya mulai ramai. Mereka yang puas dengan kualitas makanan dan layanannya saling berbagi pengalaman dengan rekan masing-masing. Sekalipun harus merogoh dompet cukup dalam, kini untuk bisa makan di Beatus, orang mesti pesan tempat dulu.
Tantangan Profesi di Industri Kuliner
Yang paling utama adalah faktor kebersihan. Pernah seorang pembantu koki di Beatus memetik sayuran sambil menggaruk kaki. Di kesempatan lain, ia mengupas sayur lalu menggesekkan pisau pada tepian tempat sampah untuk membuang sisa sayuran yang melekat pada pisau. Untuk mendidik karyawannya itu, Satrio menyuruhnya menjilat pisau dan memakan sayuran yang dipotong dengan pisau kotor itu. Ini sekedar untuk menyadarkan betapa pelanggan harus mendapat yang terbaik.
Tantangan lain bagi pekerja kuliner adalah sikap sok tahu dan tidak mau ikut aturan. Pernah serang koki menambah gula pada masakan yang dianggap kurang manis menurut seleranya, padahal itu malah tak sesuai keingingan pimpinan dan selera pasar. Sikap ini bisa merugikan tempat kerjanya, dan akhirnya merugikan dirinya sendiri.
Yang tak kalah penting adalah semangat mengejar kesempurnaan (perfectionist). Kadang-kadang karena tidak cermat seorang koki memilih sayuran yang sudah mulai layu atau mulai bau, dan menyajikannya ke pelanggan. Cepat atau lambat pelanggan akan menyebarkan hal ini ke teman-temannya. Di era media sosial, hal buruk menyebar cepat.
Kunci Sukses Satrio
Sekalipun awalnya tidak mudah, ada beberapa poin yang sebaiknya dijadikan patokan bekerja di profesi ini. Satrio membagi tipsnya untuk para calon chef.
Menurut hemat Satrio, seorang chef profesional harus:
- Pekerja keras, di atas rata-rata orang umumnya
- Teliti dan ahli memilih bahan baku berkualitas prima (lewat pengalaman dan jam terbang)
- Inovatif, mampu menciptakan menu baru
- Teliti mengolah dan memperlakukan makanan seperti memperlakukan bayi
- Punya prinsip – tidak ikutan banting harga atau ikut resto lain soal harga
- Tahu cara mendidik tukang masak sampai jadi ahli dan membentuk mental higienis, perfeksionis, dan berorientasi layanan
- Pantang menyerah – meski resto sepi di tahun-tahun pertama, bahkan ia hampir nyerah, ia tetap bertahan
- Punya visi kedepan, bukan hanya berhenti di resto saja
Masih banyak syarat lain untuk sukses, tapi setidaknya poin-poin di atas bisa dijadikan pijakan awal. Kini BEATUS adalah salah satu resto kelas atas yang paling dicari di kalangan penggemar hidangan kepiting. Banyak investor kaya menawarinya kerja sama untuk membuka cabang di kota besar lain. Tetapi sikap kehati-hatian Satrio, terutama dalam menjaga kualitas, membuatnya tidak buru-buru mengiyakan mereka.
satrio123
Add Comment