Sistem Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) dengan model zonasi memicu banyak pro dan kontra. Sebenarnya apa sih zonasi itu? Mengapa banyak yang protes?
Sesungguhnya sistem zonasi adalah pelaksanaan Sila Kelima dari Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Artinya semua warga negara punya hak yang sama, dalam hal ini hak atas pendidikan. Asik ‘kan kalau setiap anak bangsa bisa menikmati sarana pendidikan dari pemerintah tanpa diskriminasi?
Lewat sistem zonasi, kini semua pelajar bisa masuk sekolah negeri yang ada di zona tempat tinggalnya. Seleksi masuk berbasis nilai UN hanya diberlakukan bagi segelintir calon siswa saja, alasan 90% jatah siswa baru diperuntukkan bagi yang berdomisili di wilayah sekolah.
Mengapa protes?
Ada banyak alasan. Meskipun tidak terang-terangan disuarakan, salah satu alasannya adalah soal SNMPTN. Masyarakat percaya sekolah favorit berpeluang meloloskan lebih banyak siswanya masuk universitas negeri lewat jalur non-tes (SNMPTN). Ini bukan tanpa alasan.
Menurut aturan, sekolah berakreditasi A bisa mendaftarkan 40% siswanya untuk ikut SNMPTN. Akreditasi di bawahnya dapat jatah lebih sedikit. Sekolah berakreditasi C atau tak terakreditasi hanya dapat jatah 5%. Tak heran, sekolah negeri berakreditasi A paling banyak peminatnya. Bukan hanya sekolah negeri yang dikejar, tapi peluang masuk universitas negeri lewat jalur tanpa tes.
Solusi
Salah satu tindakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberlakukan moratorium (penghentian) sistem seleksi tanpa tes yang disebut SNMPTN. Pakar pendidikan, Doni Koesoema, pernah mengusulkan jatah SNMPTN yang 30% dari jumlah mahasiswa baru diturunkan saja menjadi 10%. Apa sisi positipnya?
Pertama, ini akan mengurangi ‘nafsu’ orang tua untuk memaksakan anaknya masuk sekolah negeri favorit. Dengan ditiadakannya atau dikuranginya jatah SNMPTN, semua siswa, apapun sekolahnya, punya peluang sama untuk diterima di universitas negeri, yakni lewat persaingan berbasis tes.
Kedua, universitas negeri juga ‘happy’ karena mahasiswanya terseleksi secara obyektif sehingga hanya anak paling cerdas yang layak menikmati fasilitas pemerintah yang daya tampungnya terbatas ini. Beberapa rektor universitas negeri pernah menyerukan soal ini. Tak kalah penting, dalam jangka panjang universitas negeri akan menghasilkan lebih banyak lulusan bermutu. Mengapa demikian??
Data Kemenristek menunjukkan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa asal SNMPTN lebih rendah ketimbang mereka yang masuk lewat SBMPTN. Hasil survei kami di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur juga menunjukkan tren yang sama. Mayoritas mahasiswa asal SBMPTN meraih IPK di atas 3.5, sedangkan mahasiswa asal SNMPTN mendominasi kelompok IPK antara 3,0 – 3,5.
Ketiga, tentu saja keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa semakin terwujud. Selama ini anak orang kaya berpeluang meraih NEM tinggi karena bisa ikut les tambahan. Lewat seleksi berbasis nilai UN mereka lebih berpeluang masuk sekolah negeri ‘favorit’. Sudah berkecukupan, mereka tidak perlu bayar uang sekolah pula.
Dan sebaliknya, siswa dari kalangan tidak mampu tidak bisa ikut les atau bimbel sehingga kalah bersaing pada nilai UN nya. Sudah miskin, sulit masuk sekolah negeri, malah harus membayar lebih mahal karena terpaksa masuk sekolah swasta. Sistem zonasi bisa meminimalkan ketimpangan seperti ini.
Memang, kebijakan zonasi tidak menguntungkan beberapa pihak. Pelaksanaannya juga belum sempurna. Masih ada beberapa masalah lain yang tidak dibahas di sini karena keterbatasan ruang. Namun setidaknya sistem ini akan lebih menjamin terlaksananya sila ke lima dan makin banyak orang sukses karena ketangguhan dirinya, bukan karena sistem yang diskriminatif.
Tambahkan komentar