Karir dan Studi

Profesi Pilot Pasca Covid 19 – Masih Ada Harapan?

Pilot cewek

Ketika Pandemi Covid 19 melanda dunia, industri yang paling parah terdampak adalah pariwisata dan penerbangan. Tidak ada orang bepergian; tidak ada orang berwisata. Semua tinggal di rumah dan hanya keluar rumah untuk urusan penting saja.

Akibatnya, banyak karyawan hotel, jasa catering, restoran, kopi, dan perusahaan penerbangan harus dirumahkan. Ada yang gajinya dipotong. Tidak sedikit yang di PHK, tak terkecuali pilot, profesi yang sering dikaitkan dengan gengsi dan gaji wah. Beberapa tetangga saya yang bekerja sebagai pilot hanya menerima 10% dari gaji bulanannya. Beberapa lainnya malahan terkena pemutusan hubungan kerja.

Belum lama ini, saya dan Ina Liem bertemu dan ngobrol panjang lebar dengan dua kapten pilot yang sudah puluhan tahun bekerja di industri penerbangan. Dengan protokol kesehatan memadai tentunya. Yang pertama adalah Capt. Daryanto yang sebentar lagi pensiun, dan Capt. Darmadi. Yang disebut terakhir ini bukan hanya mantan pilot. Beliau pernah menjabat sebagai direktur utama AirAsia Indonesia sekaligus salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut. Beberapa poin penting dari obrolan kami saya tulis di bawah ini.

Kuliah singkat, masa depan yang cerah?

Selama ini perusahaan penerbangan kita menerima pilot lulusan pendidikan setara diploma. Umumnya pendidikan mereka berlangsung sekitar setahun hingga 18 bulan. Sangat singkat, alasan yang diprioritaskan adalah penguasaan skill dalam menerbangkan pesawat. Bayangkan betapa beruntungnya mereka. Ketika lulus pendidikan singkat ini, gaji seorang co pilot sudah jauh di atas lulusan universitas pada umumnya.

Karena prospeknya cerah dan banyak peminatnya, beberapa sekolah penerbangan pun bermunculan dengan uang kuliah bervariasi. Uang kuliah di sekolah terkenal terkesan sangat mahal. Orang pun mencari alternatif yang lebih murah. Wajar. Untuk, muncullah sekolah penerbangan berbiaya lebih terjangkau, salah satunya di negeri tetangga. Banyak anak Indonesia belajar ke sana. Dari, buat apa bayar mahal kalau di tempat yang lebih murah lulusannya tetap bisa jadi pilot?

Tapi kemudian muncul masalah. Dalam praktiknya, banyak lulusan sekolah penerbangan bertarif murah ditolak bekerja di perusahaan penerbangan tertentu. Mengapa? Ternyata, sekolahnya “nakal”. Untuk menerbangkan pesawat komersial, lulusan sekolah pilot harus mengantongi minimal 156 jam terbang. Karena latihan terbang dengan pesawat (bukan dengan simulator) biayanya jutaan rupiah sekali terbang, manipulasi jam terbang jadi marak. SIswa yang belum mencapai jumlah jam terbang minimal tetap diluluskan.

Ina Liem di dalam simulator pesawat Boeing (foto: Jurusanku.com)
Ina Liem di dalam simulator pesawat Boeing (foto: Jurusanku.com)

 

Dunia penerbangan adalah industri yang mengutamakan keselamatan. Pilot yang jam terbangnya belum memadai berpotensi membahayakan nyawa orang banyak, termasuk nyawanya sendiri. Ini salah satu alasan banyak lulusan sekolah pilot yang tidak mendapat pekerjaan. Masalahnya, lulusan sekolah pilot kalau tidak diterima bekerja sebagai pilot mau bekerja di mana?

Pilot harus sarjana?

Selama ini kebanyakan pilot kita adalah lulusan SMA ditambah pendidikan pilot yang singkat. Sekolah penerbang hanya membekali mereka dengan skill untuk mengemudikan pesawat. Mereka tidak dibekali wawasan yang cukup tentang industri penerbangan dan sisi operasional dari perusahaan penerbangan tempat mereka bekerja kelak.

Kurangnya wawasan ini ternyata ada dampaknya. Asosiasi pilot sering berselisih paham dengan pihak manajemen (pimpinan perusahaan) karena pola pikir mereka berbeda. Tren pilot mogok dan mengancam manajemen sering terjadi khususnya di airline besar seperti Garuda. Yang dirugikan bukan hanya perusahaan tetapi juga para pengguna layanan penerbangan. Ketika perusahaan melakukan PHK, pilot tidak mampu berbuat banyak karena skillnya hanya menyupiri pesawat terbang.

Untuk itu ada wacana di masa depan pilot minimal bergelar Strata Satu (S1). Selain skill menerbangkan pesawat komersial, pilot juga akan memiliki wawasan manajerial tentang pengelolaan bandara dan industri penerbangan. Dengan demikian, mereka juga bisa menempati posisi-posisi di darat. Mereka yang sudah tidak layak terbang karena usia juga masih bisa berkarya di manajemen.

Salah satu skill manajerial yang diperlukan adalah kemampuan merencanakan penerbangan. Pendidikan S1 ini akan memberikan sertifikasi FOO (Petugas Operasi Penerbangan) yang menunjukkan bahwa orang tersebut mampu menjadi perencana penerbangan di airline company seperti Garuda, Singa, AirAsia, dan sejenisnya. Mereka juga paham konteks bisnis penerbangan dengan segala problema dan tantangannya.

Di luar negeri sudah banyak perusahaan penerbangan yang hanya menerima pilot dengan gelar Bachelor of Aviation. Salah satu sekolah penerbangan yang menyediakan pendidikan sampai S1 adalah Massey University School of Aviation di Selandia Baru (silakan baca “Merindukan Bandara Yang Nyaman”). Lama pendidikan antara 3 - 4 tahun.

(foto: stok rana)
(foto: stok rana)

Kenapa lebih lama?? Massey tidak hanya melatih mahasiswa menjadi pilot, tetapi juga membekali mereka untuk menjadi manajer dek penerbangan yang mampu memimpin semua kru di pesawat. Mereka harus memahami sisi bisnis dan keselamatan secara menyeluruh. Lulusannya diharapkan menjadi pilot dengan perbedaan alias pilot dengan nilai tambah.

Selain itu, program studi ini memungkinkan lulusannya melanjutkan ke studi pasca sarjana di lapangan manajemen penerbangan. Ini membuka peluang bagi yang ingin pensiun jadi pilot dan masuk level manajemen perusahaan penerbangan. Massey bahkan menawarkan jenjang studi dari Certificate in Aviation Studies (non gelar) hingga tingkat PhD (gelar doktor) di Penerbangan. Kapten. Darmadi bisa naik ke jenjang manajemen tertinggi sebagai dirut karena beliau melanjutkan studinya sampai tingkat Master.

Pilot muda lebih menarik

Biasanya pilot pensiun umur 65 tahun. Namun di saat pandemi, pilot-pilot senior berusia di atas 55 tahun sudah was-was. Saat pandemi berlalu dan industri penerbangan akan menggeliat lagi, ada kemungkinan mereka akan dipensiun. Setelah mengalami kerugian luar biasa akibat pandemi Covid 19, perusahaan penerbangan bisa jadi hanya akan merekrut pilot muda karena gajinya belum tinggi. Kapan? Ini bisa terjadi 2 atau 3 tahun lain.

Untuk diketahui, saat ini di Indonesia ada sekitar 250 pesawat Boeing dan 80 pesawat Airbus. Untuk mengoperasikan satu buah pesawat secara efisien, perusahaan harus mempekerjakan 10 pilot. Jadi untuk dua jenis pesawat ini saja diperlukan lebih dari 3000 pilot. Di luar itu masih ada banyak pesawat lain, antara lain pesawat sewaan yang dioperasikan sekitar 20-an perusahaan charter. Kebutuhan akan pilot muda meningkat seiring akan pensiunnya pilot-pilot senior. Selain itu ada sekitar 900 an pilot asing yang berangsur diberhentikan.

Kita tentu optimis pandemi Covid 19 ini akan berakhir. Industri penerbangan dan pariwisata akan kembali normal. Tidak, buat kamu yang pernah berpikir menjadi penerbang pesawat komersial, coba pertimbangkan untuk masuk pendidikan pilot jenjang S1 tahun ini. Mengapa? Pada saat kamu lulus kelak, kemungkinan besar perusahaan penerbangan sudah mulai merekrut banyak pilot muda, dan salah satu di antara mereka mungkin saja kamu.

Iklan 2-04

Tentang Penulis

Budi Prasetyo

Budi Prasetyo

Budi Prast adalah Founder jurusanku.com. Selain aktif melakukan penelitian di bidang pendidikan, bersama Ina Liem ia menulis “7 Jurusan Bergaji Besar”, "Kreatif Memilih Jurusan", dan "Jurusan untuk Masa Depan". Minat utamanya meliputi pendidikan, analitik data, dan pemikiran desain. Ia juga salah seorang Kontributor Kompas KLASS untuk rubrik #baca.

Tambahkan komentar

Klik di sini untuk mengirim komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *

*