Karir dan Studi

Pilih Jurusan Sesuai MINAT – Bisa? (tas. 1)

shutterstock_120626929

Jangan buru-buru mengatakan bahwa passionmu adalah perfilman atau desain dan menggambar, atau malah game.

Banyak pelajar dan anak muda mengatakan bahwa perfilman adalah passion mereka. Ada lagi yang mengatakan minat mereka pada desain dan menggambar. Lalu atas dasar ini mereka memilih jurusan kuliah. Dan sebaliknya, banyak orang tua yang meragukan pilihan anaknya. Begitu juga aku. Mengapa?

Tipe-tipe Minat

Pertama, kita harus memahami bahwa ada minat sebagai hobi. Yang seperti ini tidak selalu berujung pada karier yang sama. Ada orang yang senang memasak tapi sukses sebagai analis keuangan; yang meraih gelar doktor di bidang Biologi Kelautan malah sukses sebagai pembuat film (baca artikel kami “Menyatukan Kesenangan, Pilihan Bidang Studi, dan Penghasilan Menjanjikan”); yang menempuh studi di bidang politik internasional tapi sukses dan kaya sebagai penulis, dan lain-lain.

Jennifer Xue (foto: https://www.jenniferxue.com/about/)
Jennifer Xue (foto: https://www.jenniferxue.com/about/)

Jennifer Xue adalah penulis produktif yang kini merambah ke Content Marketing, Penerbitan Digital, Ilmu Data, dan Desain UX. Tulisannya banyak dimuat di media Internasional, termasuk di Indonesia. Penulis berlatar belakang pendidikan multidisipliner ini tinggal di Amerika. Namun ia banyak menginspirasi publik Indonesia antara lain lewat artikelnya di Tabloid KONTAN.

Kedua, memiliki minat untuk belajar. Saya sangat bersemangat ketika bicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan data, karya seni dan proses berkesenian, audio, seni bela diri, dan teknologi internet. Saya juga membeli banyak buku seputar bidang-bidang tersebut. Tapi saya tidak memilih salah satu dari mereka sebagai pekerjaan saya.

Ketiga, minat untuk bekerja. Tidak, ini baru minat yang bisa dijadikan alasan untuk memilih jurusan kuliah dan rencana karier ke depan. Tetapi apakah setiap orang akan bisa sampai pada kesimpulan bahwa minatnya adalah minat untuk bekerja? Tidak selalu.

Salah Kaprah soal PASSION

Minat yang kuat di suatu bidang ini sering disebut passion. Tapi ada sesuatu yang perlu kita luruskan. Seseorang tidak bisa mengatakan passionnya di bidang kelautan, pertanian, atau pun desain kalau ia belum pernah menjalaninya secara intens. Kuncinya pada kata ‘intens’.

Begini. Seseorang yang suka memasak untuk keluarga belum tentu akan sukses jadi chef atau koki. Mengapa? Karena chef dan koki bukan hanya suka masak. Ia harus mau bekerja keras di bawah tekanan, berdiri berjam-jam di dapur yang panas (ingat, dapur restoran tidak bisa pakai AC), dan mampu bekerja sama dalam tim atau memimpin. Memasak sebagai hobi dan memasak sebagai pekerjaan bisa jauh berbeda.

Begitu juga mereka yang mengaku berminat pada perfilman. Ketika membuat film dilakoni sebagai hobi, apalagi bersama teman-teman, segalanya terasa menyenangkan. Tapi ketika masuk tim pembuat film professional, mereka akan tahu bahwa pekerja seni sering harus bekerja tanpa kenal waktu. Di dunia perfilman, bekerja 12 sampai 16 jam sehari bukan hal baru (baca artikel kami di Kompas, “Merapal Lewat Visual”)

shutterstock_180689558

Itu sebabnya, passion baru ketahuan ‘SETELAH’, bukan 'SEBELUM' melakukan sesuatu berulang-ulang, di berbagai situasi, dan dalam waktu yang cukup lama. Jika seseorang mampu dan senang melakukan sesuatu berjam-jam tanpa merasa lelah, bahkan ia merasa lebih ‘berdaya’ ketika melakukannya, mungkin saja ia sudah menemukan passionnya.

Test Bakat & Gairah

Ada banyak jenis tes untuk memprofil siswa, salah satunya adalah tes bakat dan minat. Pertanyaannya, apakah tes semacam ini bisa digunakan untuk mengetahui minat seseorang? Tentu saja bisa. Tapi apakah hasilnya bisa digunakan untuk memilih jurusan kuliah berikut peta kariernya dengan baik? SAYA RAGU.

Misalnya, salah satu pertanyaan dalam tes adalah “Mana yang lebih kamu sukai, menghitung uang atau merangkai bunga?”. Kalau dijawab ‘menghitung uang’, apakah kita sebaiknya memilih akuntansi atau manajemen keuangan? Nanti dulu. Saya juga suka menghitung uang, apalagi kalau jumlahnya besar dan itu uang saya sendiri. Wah, senangnya. Tapi saya tidak pernah tertarik pada karier yang terkait urusan uang.

Bagaimana dengan tes bakat atau tes IQ? Tes seperti ini memberi masukan kepada konselor tentang kemampuan dan kecenderungan seseorang dalam menerima pelajaran. Anak dengan IQ tinggi di bidang logika matematika bisa masuk ke banyak bidang studi. Tapi ini justru akan membuatnya kesulitan memilih satu bidang saja yang akan ditekuninya.

Di jurusan apapun ia akan mampu meraih prestasi. Jadi dokter bisa, sarjana ilmu sosial bisa, manajemen keuangan juga. Secara akademis, ia tidak akan menghadapi banyak kendala saat kuliah. Tapi apakah ia akan sukses dan mampu bersaing di salah satu bidang tersebut? Nanti dulu.

Dunia kuliah dan dunia kerja seringkali beda jauh. Ada kasus nyata. Seorang mahasiswa pintar akhirnya lulus sebagai dokter spesialis Onkologi (ahli kanker). Tetapi ketika bekerja di rumah sakit ia banyak menghadapi pasien kanker dan keluarga mereka. Perasaannya selalu tertekan dan ini terbawa ke rumah dan mempengaruhi suasana di keluarganya. Akhirnya ia memutuskan berhenti dari dunia kedokteran dan memilih jadi guru piano dan agen asuransi.

Apa yang bisa kita simpulkan? Apakah hasil tes bakat dan minatnya salah? Apakah minat dan bakat tidak bisa dijadikan indikator untuk merencanakan karier masa depan? Bisa, namun indikator utamanya bukan pada minat dan bakat.

Lantas, kemana orang tua, siswa dan para guru harus mencari jawaban yang lebih baik?

Jawabannya ada pada TIPE KEPRIBADIAN atau Personality Types. Seluruh perencanaan karier dan pemilihan jurusan kuliah semestinya berawal dari sini. Mau tahu alasannya? Silakan baca artikel selanjutannya di sini.

 

 

Iklan 2-04

Tentang Penulis

Budi Prasetyo

Budi Prasetyo

Budi Prast adalah Founder jurusanku.com. Selain aktif melakukan penelitian di bidang pendidikan, bersama Ina Liem ia menulis “7 Jurusan Bergaji Besar”, "Kreatif Memilih Jurusan", dan "Jurusan untuk Masa Depan". Minat utamanya meliputi pendidikan, analitik data, dan pemikiran desain. Ia juga salah seorang Kontributor Kompas KLASS untuk rubrik #baca.

1 Komentar

Klik di sini untuk mengirim komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *

*