Harapan untuk Indonesia
Dengan banyaknya daerah di Indonesia yang tidak hanya bisa, tetapi juga perlu rebranding, kebutuhan akan tenaga ahli di bidang pengembangan pariwisata sangat banyak. Mereka bisa memanfaatkan komunitas yang peduli.
Banyak contoh gerakan perubahan yang terealisasi karena ada kerja sama antara komunitas dengan tenaga ahli. Kita mengenal Anies Baswedan dengan Indonesia Mengajar, Ridwan Kamil dengan Indonesia Berkebun, dan Kick Andy dengan Gerakan 1.000 kaki palsu, dan banyak lagi. Tidak mustahil kita akan punya sosok pengembang pariwisata dengan gerakan penciptaan kota-kota tematis di Indonesia.
Menghidupkan kota tua
Sebetulnya, langkah serupa bisa kita lakukan terhadap berbagai wilayah di negeri kita, terutama yang tidak memiliki keindahan alam atau udara sejuk. Contohnya di Pasuruan, sekitar 60 km dari kota Surabaya, ada banyak bangunan kolonial yang menyimpan misteri masa lalu, baik yang kosong maupun yang masih dihuni. Sejumlah pabrik makanan yang produknya populer di tahun 1960an masih aktif berproduksi, seperti Ting-Ting Jahe, Bipang “Jangkar”, dan roti “Matahari”.
Tempat-tempat ini berpotensi jadi ‘ wisata produksi di tempat’ yang memberi pengalaman unik bagi pengunjung. Membayangkan, selain bisa menyaksikan proses produksi yang masih memakai mesin dan metode jadul, pasti asyik apabila wisatawan juga diijinkan terlibat dalam proses produksinya, lalu membawa pulang hasil buatannya sebagai suvenir dan suvenir.
Selain itu, kapal-kapal kayu tradisional berbagai ukuran masih datang dan pergi di pelabuhan Pasuruan. Truk-truk tahun ‘60an masih giat beroperasi menyambut muatan kayu atau garam untuk dibawa ke gudang-gudang tua di sekitarnya.
Namun, seperti diakui Takim Sunarko, cukong garam paling disegani di sana, lalu lintas perdagangan garam dan kayu sudah merosot tajam. Sejak diresmikannya jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Madura, garam produksi Madura lebih banyak diangkut lewat jalan darat.
Seperti halnya kota Kirkcudbright yang bangkit dari keterpurukan ekonomi, pelabuhan Pasuruan berpeluang mendatangkan wisatawan dengan tema baru. Begitu memasuki gerbang pelabuhan ini, penulis membayangkan berdirinya kios-kios kecil warna-warni di Pantai Brighton Australia, di sepanjang pelabuhan, dengan warga setempat menjual berbagai produk lokal.
Bayangkan sensasi menyeruput kopi di kafe-kafe bekas gudang kayu tua sambil memandang “The Pasuruan Waterfront”. Para wisatawan lalu lalang bersepeda onthel, penggemar vespa kuno nangkring di sisi yang lain, sementara anak-anak muda berpose ria di patung-patung a la Patung Geelong untuk memuaskan hasrat narsis mereka.
Dengan masyarakat Tionghoanya yang masih menyimpan tradisi leluhur, Pasuruan bisa jadi ikon wisata “Kota Tua” di Jawa Timur. Kebiasaan melayani 13 macam lauk di keluarga tradisional Tionghoa bisa menjadi pengalaman kuliner menarik bagi manusia modern yang sudah lama kehilangan jejak leluhurnya. Sambil menikmati iringan musik dengan lagu-lagu tempo doeloe atau nonton boneka bayangan, pengunjung serasa dilempar untuk waktu 100 tahun silam, ketika leluhur mereka pertama kali mendarat di sana dan merintis kehidupan baru.
Pasti menyenangkan jika khayalan seperti ini terwujud. Dengan mengemas berbagai keunikannya dalam konsep pengembangan yang matang, rasanya Pasuruan bisa menjadi alternatif liburan akhir pekan bagi warga kota-kota di sekitarnya, atau bahkan tempat liburan wisatawan dari jauh. Banyak wilayah di tanah air yang bisa direformasi seperti kota-kota tematik di Scotland. Salah satu modalnya adalah keahlian di bidang Tourism Development.
Salah satu konsep pengembangan pariwisata yang kreatif adalah Klaten. Untuk lebih jelasnya, silakan simak videonya di sini.
Tambahkan komentar