(Ini adalah bagian ke 2 dari artikel “Bikin Mobil Berbasis Komunitas – Siapkah Kita Memasuki Industry 4.0?”. Bagian pertama bisa baca disini. Semoga bermanfaat)
Presiden Jokowi sering bicara soal industri tahap 4. Peta pengembangan industri menetapkan 5 prioritas, yakni di bidang makanan dan minuman, elektronik, tekstil dan busana, kimia, dan otomotif. “Sekitar 84 persen permintaan dari ekonomi dunia terpusat pada kelima sektor itu. Kalau dioptimalkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 3.000 kali lipat,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Revolusi Industri tahap ke 4 diperkirakan akan menimbulkan goncangan di dunia kerja dan usaha. Itu sebabnya pemerintah kita mengantisipasinya dengan mencetuskan beberapa strategi, termasuk di bidang penyediaan sumber daya manusianya.
Salah satu langkahnya adalah mereformasi pendidikan tinggi. Wacana strategis yang disinggung pak Jokowi adalah membebaskan universitas membuka prodi berorientasi masa depan. Perguruan tinggi harus bisa menyiapkan aneka keahlian yang dibutuhkan masa depan seperti Logistik, Ilmu Data, dan Analisis Bisnis.
Tapi itu belum cukup. Percuma orang belajar ilmu baru kalau mentalitasnya tidak siap berkiprah di era industri ke 4. Di abad ini dunia usaha sangat membutuhkan orang yang adaptive (mudah beradaptasi, siap menerima perubahan). Orang yang ngotot dengan caranya sendiri pasti akan ketinggalan, atau ditinggalkan alias tidak laku.
Selain itu diperlukan juga, dan ini sangat langka, etos kerja (etika kerja) tinggi. Orang dengan etos kerja tinggi selalu siap melangkah lebih jauh dan berusaha lebih keras untuk mencapai tujuan. Mereka yang mau menambah kecakapan (bukan hanya mengejar gelar), atau pulang lebih larut demi menyelesaikan tugas, termasuk mereka yang memiliki motivasi kerja tinggi.
Kolaborasi adalah pola pikir yang sangat dituntut. Tidak ada yang bisa memenangkan persaingan dengan bekerja sendiri. Kemampuan berkolaborasi menjadi daya tarik bagi perusahaan. Tidak semua orang pintar mampu bekerja dalam tim. Justru banyak orang pandai merasa bisa melakukan semuanya sendiri. Local Motors adalah contoh nyata kekuatan kolaborasi.
Meragukan Defaultnya
Ini mentalitas inovator. Pencetus Local Motors dan ribuan pelopor bisnis model baru adalah orang yang selalu mempertanyakan banyak hal yang sudah dianggap wajar. “Mengapa kita tidak bisa membuat mobil sendiri?”, “Mengapa desain mobil itu-itu melulu?”, “Apakah pabrik otomotif mesti bermodal super raksasa?”, “Apakah Anda perlu mempekerjakan ribuan pekerja??”, “Haruskah pabrik mobil memproduksi sendiri semua komponennya?”, dan seribu pertanyaan lainnya.
Mentalitas ini tidak mudah ditemukan. Dalam budaya Asia, mempertanyakan aneka hal bisa dianggap tidak sopan. Kemampuan bertanya tidak dikembangkan dengan maksimal pada siswa sejak kecil sampai lulus kuliah. Akibatnya ketika memasuki dunia kerja, tidak banyak anak muda yang mampu mencetuskan ide dan solusi jitu terhadap berbagai persoalan di sekitar mereka.
Negeri kita akan selalu memerlukan orang-orang inovatif yang mampu memberi solusi nyata. Kita butuh mobil angkutan barang murah, mesin pertanian praktis dan murah, berbagai peralatan yang khas untuk kondisi Indonesia, pengolah sampah yang masif dan terjangkau, sistem produksi pangan yang mudah dijalankan penduduk desa, dan banyak lagi. Kita perlu belajar dari prinsip kerja co-creation seperti yang dilakukan Local Motors.
Tambahkan komentar