Kiat Sukses

Mengapa Aktivitas Seni Drama di Sekolah Diperlukan Agar Mampu Bersaing di Abad 21

shutterstock_192076820
Lima belas peneliti asal Michigan State University, Amerika Serikat, menemukan kaitan antara hobi berkesenian dengan peluang seorang ilmuwan untuk memenangkan hadiah Nobel.

Ilmuwan dengan hobi performing arts seperti misalnya acting, tarian, dan pertunjukan sulap berpeluang paling besar untuk memenangkan Nobel ketimbang ilmuwan yang tidak punyahobi seni. Peringkat berikutnya ditemui pada ilmuwan yang hobinya terkait menulis kreatif seperti menulis puisi, naskah drama, novel, cerita pendek, esai, dan buku populer. Selebihnya lihat tabel di bawah ini.

(Sumber: Adam Hibah, "Originals - Bagaimana Non-Coformis Menggerakkan Dunia," hal. 47)
(Sumber: Adam Hibah, “Asli – Bagaimana Non-Coformis Menggerakkan Dunia,” hal. 47)

Di tengah derasnya informasi akademik yang dijejalkan ke benak pelajar dewasa ini, seorang ahli pendidikan terkenal, Ken Robinson, mengklaim bahwa sekolah justru ‘membunuh’ kreativitas anak. Ken mengingatkan agar sekolah memperbanyak aktivitas drama, sekali pun kegiatan ini tidak populer saat ini. Mengapa?

Drama adalah kegiatan yang mengajarkan banyak skill untuk masa depan. Pada saat latihan, siswa belajar bekerja sama. Ada pembagian peran dan manajemen tugas, termasuk menyiapkan perlengkapan panggung dan kostum. Ada keharusan untuk berimajinasi, membayangkan seperti apa peran yang mesti dimainkan. Kreativitas dan kemampuan berkolaborasi terasah secara dinamis.

Di sisi lain, main peran dan berdialog mengajarkan banyak hal tentang komunikasi dan berbahasa. Aktivitas ini sekaligus membangun karakter lewat pengenalan terhadap berbagai tokoh yang terlibat di naskah. Tak tertutup kemungkinan, siswa malah ‘mengoprek’ naskah asli untuk menyesuaikan dengan konteks atau situasi yang mereka anggap lebih sesuai untuk audiens mereka.

Bagaimana dengan isinya? Drama justru efektif untuk mengajarkan berbagai materi, termasuk sejarah, PPKN, kebudayaan, sosiologi maupun bahasa. Bahkan siswa bisa belajar logika dan berpikir kritis, misalnya lewat drama bertema detektif, proses pengadilan atas ketidakadilan, konflik sosial dan sebagainya.

Menuju gen inovatif abad 21 melalui van gogh

Coba diingat kembali, ketika sebagian besar pelajaran di sekolah sudah terlupakan seusai ujian, apa yang tersisa? Di abad ini penuh dengan perubahan, ilmu hari ini mungkin akan kadaluarsa beberapa tahun lagi. Mengingat atau hafal berbagai materi pelajaran jadi tidak relevan lagi. Mereka yang mendapat nilai tinggi karena menghafal jangan gembira dulu. Lalu apa yang kita butuhkan??

Tony Wagner, pemerhati pendidikan dan penulis terkenal, mengatakan: “Pemimpin perusahaan tidak peduli dengan apa yang kamu ketahui. Mereka hanya peduli tentang apa yang dapat Anda lakukan dengan pengetahuan Anda.” Jadi, Bebas menghafal banyak teori dan memiliki banyak ilmu jika tidak tahu cara mengaplikasikannya pada masalah yang ada di hadapan Anda..

Orang mungkin bertanya: “Bagaimana kalau kita lupa pelajaran yang penting?” Di sekolah model lama, tidak hafal artinya celaka dan tidak naik kelas. Padahal di dunia kerja, jika lupa teori tertentu, solusinya gampang. Cari saja di Google. Hampir semua yang diajarkan di sekolah atau perguruan tinggi ada di sana. Masalahnya kembali pada pertanyaan: Mau diapakan semua info dan pengetahuan itu?

Di abad ini 21 ini, pemenang dalam persaingan di dunia kerja hanya mereka yang kreatif, inovatif, mampu bekerja dalam tim secara efektif, dan fasih berkomunikasi untuk ‘menjual’ gagasannya. Lalu, apa hubungannya dengan drama? Kegiatan drama bisa jadi sarana efektif untuk mengembangkan semua skill ini.

Kalau nilai akademikmu bagus tapi kamu tidak inovatif, tidak mampu bekerja sama dan berkomunikasi dengan efektif, siap-siaplah untuk tersingkir dari persaingan abad ini.

Iklan 2-04

Tentang Penulis

Budi Prasetyo

Budi Prasetyo

Budi Prast adalah Founder jurusanku.com. Selain aktif melakukan penelitian di bidang pendidikan, bersama Ina Liem ia menulis “7 Jurusan Bergaji Besar”, "Kreatif Memilih Jurusan", dan "Jurusan untuk Masa Depan". Minat utamanya meliputi pendidikan, analitik data, dan pemikiran desain. Ia juga salah seorang Kontributor Kompas KLASS untuk rubrik #baca.

2 Komentar

Klik di sini untuk mengirim komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *

*

  • Dear Pak Budi. Semua ide perihal seni drama ini saya setuju (500% saya dukung). Oleh karna itu universitas jurusan liberal arts di Amerika mengharuskan anak mengambil “pendidikan umum” yang isinya history, sosiologi, psikologi, dll. Namun bagaimana bisa terjadi waktunya jika kurikulum sekolah begitu padat dengan banyak hal yang tidak perlu sementara anak dikejar angka untuk bisa masuk sekolah bagus? belum lagi ditambah harus les. ditambah lagi lingkungan yang tidak menghargai kegiatan seperti itu “tidak populer”. bayangkan saja kegiatan berenang atau bulu tangkis “tidak populer” dengan segala alasan apalagi seni drama. saya pikir sistem edukasi kita memang perlu overhaul besar. bagaimana 6 selai (atau 8 selai ?) itu bisa menyiapkan anak dengan tepat.

    • Memang ini masalah umum di banyak sekolah kita. Tapi beberapa sekolah tertentu berani membuat perubahan misalnya dengan meniadakan jurusan IPA dan IPS, dan menggabungkan beberapa pelajaran sehingga jumlahnya berkurang. Dengan berkurangnya beban, siswa punya banyak waktu mengembangkan sisi non akademik mereka. Cara ini tidak melanggar hukum, tapi umumnya sekolah mau cari aman.