(Ini adalah tulisan Ina Liem, CEO dan Founder Jurusanku.com, di majalah Parlementaria DPR – RI, edisi 233 tahun 2024 yang berisi opini secara umum sebagai evaluasi terhadap pendidikan nasional kita.)
Pengamat pendidikan terkemuka, Tony Wagner, menyebut tiga tujuan utama pendidikan yang sekaligus menjadi poin untuk dievaluasi.
Pertama, pendidikan harus menyiapkan generasi muda agar siap memasuki dunia kerja yang serba dinamis. Kedua, di era perubahan yang serba cepat dan kompleks, pendidikan dituntut untuk mencetak individu-individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga semangat belajar sepanjang hayat. Dan yang tak kalah penting, pendidikan harus mampu membentuk warga negara yang bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif di masyarakat.
Pertama-tama, mari kita tinjau apakah generasi muda kita siap memasuki dunia kerja. Banyak pimpinan HRD perusahaan mengeluh kesulitan mendapatkan karyawan yang dibutuhkan. Umumnya, mereka mencari karyawan dengan problem solving skill kuat. Namun skor PISA menunjukkan kemampuan berpikir siswa kita masih rendah, bahkan selama hampir 20 tahun nyaris tak berubah. Ini mengisyaratkan perlunya transformasi pendidikan yang tak hanya meliputi praktek-prakteknya, tetapi juga dalam pola pikir para praktisi utamanya.
Konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang digulirkan Kemendikbudristek berusaha meraih tujuan pertama ini. Sekedar contoh, Program Praktisi Mengajar di universitas berangkat dari pemahaman bahwa inovasi terbaik sering kali muncul dari kolaborasi radikal antar berbagai disiplin ilmu dan antara akademisi dan praktisi. Cara ini diyakini dapat melahirkan lulusan yang inovatif dan siap menghadapi realita dunia kerja.
Pergeseran ke arah pendidikan yang lebih progresif juga tercermin dari keputusan untuk memberi keleluasaan sekolah menentukan sendiri beban belajar siswanya. Menghapus Ujian Nasional (UNAS) adalah langkah berani untuk meninggalkan model ‘one size fits all’. Model lama ini memang sudah ditinggalkan banyak negara karena tidak mencerminkan realita keberagaman siswa di berbagai daerah. Bahkan, langkah ini sejalan dengan kebutuhan akan pendekatan yang lebih fleksibel dan inklusif dalam mengevaluasi kemampuan siswa. Meskipun banyak tentangan, pembelajaran yang lebih berorientasi pada kemampuan problem solving ini perlu diteruskan dan dikembangkan.
Selanjutnya, evaluasi terhadap pendidikan juga harus mengukur kemampuan generasi muda sebagai pembelajar sepanjang hayat. Alih-alih membanjiri mereka dengan informasi, Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek untuk membangkitkan rasa ingin tahu berkelanjutan sehingga proses belajar menjadi bermakna sehingga menyenangkan. Ini paralel dengan dunia kerja yang menuntut orang untuk terus belajar. Untuk itu Program Guru Penggerak dicanangkan demi mencetak pendidik sebagai fasilitator tangguh yang mampu menumbuhkan sikap pembelajar seumur hidup. Meski konsepnya jitu, program guru penggerak masih dianggap ancaman bagi kalangan tertentu karena mendisrupsi jenjang karier kependidikan.
Terakhir, peran pendidikan dalam membentuk warga negara yang bertanggung jawab juga menjadi fokus evaluasi. Kita melihat masih banyak persoalan yang menghambat upaya tersebut, seperti rendahnya tingkat kepekaan sosial dan tingginya tingkat intoleransi. Profil Pelajar Pancasila dengan aneka program yang digaungkan Kemendikbudristek memang belum kasat mata hasilnya. Mungkin pendekatan yang lebih kuat dalam mengembangkan karakter dan nilai-nilai solidaritas perlu dipertimbangkan, misalnya melalui pembelajaran dengan model militer namun tanpa kekerasan.
Meskipun arah dan model pendidikan nasional kita sudah sejalan dengan tren zaman, pemerintah masih punya banyak PR, utamanya di tataran implementasi. Korupsi dari hulu sampai tingkat sekolah masih jadi batu sandungan. Oleh karenanya, digitalisasi proses administrasi perlu dilanjutkan lebih masif demi tranparansi dan akuntabilitas. Aplikasi Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIP LAH) hanyalah salah satu aksi nyata menuju tranparansi pengelolaan dana BOS. Namun itu belum cukup. Sistem penerimaan siswa dan mahasiswa baru di lembaga pendidikan negeri perlu dibuat makin sederhana dan transparan. Begitu pula berbagai proses administrasi lainnya.
Banyak resistensi akibat pergeseran peran dan kewenangan di kalangan praktisi pendidikan. Ini mungkin mirip dengan reaksi keras dunia transportasi dulu terhadap disrupsi oleh Uber dan Grab. Seperti pada berbagai kasus disrupsi, suara keras umumnya hanya datang dari pelaku model konvensional, dan bukan dari para pengguna akhir (end user) layanan, yakni penumpang yang justru merasa diuntungkan. Perlu sosialisasi yang lebih mengena dan efektif untuk menghadapi penolakan ini.
Dengan kerjasama yang kuat dari semua pihak, kita dapat berharap bahwa pendidikan nasional mampu mencetak generasi masa depan yang memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter yang dibutuhkan untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks dan berubah cepat. Oleh sebab itu diperlukan percepatan, perluasan cakupan perubahan, dan insentif yang proporsional bagi pihak-pihak yang perannya memang dibutuhkan.
Mungkin PR terbesar bagi DPR adalah menguatkan sistem pendidikan model baru ini lewat pengesahan UU Sisdiknas agar tidak ‘digoyang’ untuk kembali ke model lama yang sarat dengan inefisiensi dan praktik pembelajaran yang tidak result-oriented. Jangan sampai kita dilempar kembali kepada model lama ketika SCHOOL dipelesetkan menjadi Seven Cruel Hours Of Our Life, yakni ketika belajar itu tidak menyenangkan dan siswa tidak merasa memiliki prosesnya. Taruhan besar kita adalah tercapainya bonus demografi yang jendela kesempatannya semakin menyempit.
Add Comment