Mendalami Ilmu Kuliner ala Perancis

[guestpost]Artikel tulisan Ina Liem ini muncul di KOMPAS KLASS Jumat 11 Oktober 2013. Disini ia membongkar ‘jeroan’ pendidikan kuliner di salah satu sekolah kuliner tertua di dunia. Selamat membaca.[/guestpost]

Dunia kuliner bukan semata menyangkut urusan perut tapi juga gaya hidup. Mudah dimaklumi kalau kemudian dunia tersebut semakin marak. Tak luput di Tanah Air, banyak kaum muda masa kini yang hobi masak semakin serius mendalami bidang ini ke jenjang perguruan tinggi.

Kelas Demo Le Cordon Bleu di kampus London
Kelas Demo Le Cordon Bleu di kampus London

Akan tetapi urusan masuk ke perguruan tinggi tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak calon siswa mendapat tentangan dari orangtua karena menganggap bidang ini bukan jurusan ‘serius’, dan bisa dipelajari lewat kursus sambil menjalankan kuliah yang dianggap lebih ‘serius’. Benarkah ini bidang main-main?

Jawabnya bergantung pada orientasi, sampai seberapa jauh seseorang akan menjadikan dunia kuliner sebagai jalan hidupnya. Bagi yang ingin pandai memasak demi menyenangkan perut keluarga, kursus saja mungkin cukup. Namun, bagi yang ingin berkarier atau berbisnis kuliner, nyatanya banyak hal yang mesti dipelajari.

Salah satu institusi tertua untuk jurusan Culinary Arts adalah Le Cordon Bleu (LCB). Berdiri tahun 1895 di Paris, LCB sering dipercaya melayani jamuan makan di kalangan bangsawan Perancis. Bahkan saat Inggris merayakan ultah ke-60 Ratu Elizabeth, principal LCB dari kampus London diminta untuk menyajikan sebuah menu untuk sang ratu.

Kampus Le Cordon Bleu d Ottawa, Canada
Kampus Le Cordon Bleu di Ottawa, Canada

Kini lebih dari 50 kampusnya hadir di berbagai negara dengan 20.000 siswa per tahun. Selain di Perancis, kampusnya antara lain ada di Inggris, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Jepang, Korea, dan Malaysia. Mayoritas instrukturnya berasal dari restoran-restoran Michelin stars atau pernah menjadi jawara di berbagai kompetisi bergengsi.

Penguasaan teknik dasar

Meskipun program di LCB berbasis masakan Perancis, tekanan utamanya adalah soal teknik, mulai dari mise en place (persiapan sebelum memasak), pemilihan bahan baku, pembuatan berbagai macam saus, teknik portioncutting, tingkat kematangan, suhu, penyimpanan, plating (teknik penyajian), hingga teknik memasak seperti grill, poach,  dan stewNah, Karena yang dipelajari adalah teknik, maka aplikasinya bisa untuk semua masakan.

Pengenalan bahan baku pun penting. Ada macam-macam daging, ikan, telur, keju, sayuran, herbs, bumbu, penyedap, buah, kacang-kacangan dan biji-bijian, macam-macam minyak, serta cuka. Masing-masing kategori bisa berisi puluhan bahkan ratusan macam. Untuk saus saja, siswa LCB harus bisa membuat berbagai macam saus seperti Beurre Blanc, Meuniere sauce, Bearnaise sauce, dan lebih dari 100 saus lain.

Soal cutting, mahasiswa belajar mulai dari cara memegang pisau yang benar dan aman, hingga bereksplorasi dengan berbagai teknik memotong ala Perancis yang masing-masing punya kriteria sendiri. Contohnya, Julienne Cut adalah potongan dengan ukuran 1/8 x 1/8 x 2 ½ inci. Tiap kesalahan ukuran atau teknik berbuntut pengulangan dengan bahan baru. Ini dilakukan terus sampai chef mengatakan “OK, this is what we want”.

Buku karya chef LCB
Buku karya chef LCB yang dijual di untuk umum

Menariknya, di LCB bahan praktik tidak dibatasi. Berbagai bahan makanan tersedia dalam jumlah cukup. Bahkan jamur langka white truffle yang harganya ribuan dolar disediakan pihak sekolah agar siswa mengenal semua bahan baku.  Di beberapa kampus LCB di Korea, Jepang, dan Thailand misalnya, banyak bahan makanan harus diimpor seperti foie gras, aneka mentega, tepung jenis tertentu, keju,  hingga coklat high quality produksi Perancis, Belgia, dan Swiss.

Dengan gemblengan semacam ini, banyak alumninya diterima di restoran terkenal. Tidak jarang para chef dari Michelin Star restaurant datang ke kampus mencari siswa untuk diajak magang. Meskipun sering tidak digaji, magang di restoran kelas premium seperti ini merupakan pengalaman yang sangat membanggakan. ‘Working with one of the best’ tentu mengajarkan banyak hal, bukan?

Soal jadwal kuliah, siswa hanya perlu datang ke kampus tiga hari seminggu, yang itupun sudah sangat melelahkan. Teori atau demo selalu disusul praktik memasak sambil berdiri. Tuntutan kesempurnaan dari instruktur juga menguras perhatian dan tenaga.

Instruktur rela menghabiskan ekstra waktu 2- 3 jam untuk menunggu mahasiswa hingga mendapat hasil yang sempurna. Di luar jam kuliah, mahasiswa harus sering berlatih, biasanya berkelompok, agar bisa saling mencicipi. Selain untuk menguji penguasaan teknik baru, cara ini efektif untuk meningkatkan jam terbang.

Karier

Salah seorang alumni LCB, Dean Tjondrowidjojo (@dinchidu) saat ini menjabat sebagai Product Development Director di Stupa Group, perusahaan kuliner yang membawahi beberapa kafe dan restoran di Jakarta. Ternyata pekerjaan Dean tidak setiap hari memasak di dapur restonya, tapi ngantor layaknya seorang direktur. Hanya sesekali dia harus bereksperimen mencari menu-menu baru untuk pengembangan resto-resto tempatnya bekerja.

Seperti Dean, lulusan sekolah kuliner ternyata tidak harus menjadi chef. Ada yang menjadi penulis, jurnalis, instruktur, konsultan, dan bahkan pengusaha di bidang retail bahan makanan dan perlengkapan dapur profesional . Alumni LCB lainnya seperti Adhitya Pratama (@adith1LINK UNTUK ENGLISH801) menjadi penulis tentang makanan, Chris Salans (@ChrisSalans) menjadi entrepreneur mendirikan Mozaic Bali yang masuk top 5 Miele Guide 2013, dan Rinrin Marinka (@RinrinMarinka) menjadi salah satu juri dalam Masterchef Indonesia.

Ternyata belajar kuliner lebih dari sekedar mempelajari resep masakan dan mencobanya. Melihat banyaknya detail yang harus dipelajari, rasanya tidak mungkin mengambil jurusan ini sebagai sambilan. Apabila ingin sukses di suatu bidang, tentunya kita tidak boleh setengah-setengah. Anggapan bahwa jurusan-jurusan sains lebih ‘serius’ ketimbang seni sudah saatnya diluruskan. Seni memasak bisa menjadi karier yang menjanjikan kalau dijalani dengan semangat profesional.

Ina Liem

Author and CEO JURUSANKU

@InaLiem

 

@kompasklass #edukasi

 

Artikel lainnya tentang KULINER bisa dibaca disini

kuliner123

6 Comments

Click here to post a comment

Leave a Reply to admin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

  • kalau memasak ini dipelajari lewat kursus berarti hanya memfasilitasi hobi ya. sebaliknya, jika memiliki rencana jangka panjang seperti membuka bisnis kuliner, sebaiknya lanjut kuliah saja. adakah program profesi kuliner di indonesia?

    • Program studi kuliner di Indonesia sangat banyak dan bervariasi. Google saja. Untuk versi lengkap tentang program studi kuliner, silakan buka edisi Kuliner di infoletter.jurusanku.com (versi online tersedia gratis). Selamat menjelajah bidang kuliner.

        • Cari tahu mengapa mereka tidak mendukung. Banyak yang ingin kuliah kuliner tapi masuk dapur saja jarang. Saran saya, coba magang di dapur restoran waktu liburan. Kerja bantu koki mulai dari cuci piring sampai memotong sayuran. Rasakan panasnya dapur (dapur tidak boleh berAC), lamanya bekerja sambil berdiri, dan stres ketika banyak pengunjung datang. Selamat mencoba.

  • Saya mahasiswi pariwisata, saya ingin mendalami pastry lewat jalur internship. Ada gak peluang WNI bisa internship disana? Kalo boleh saran apakah ada “jalur” yang memudahkannya?