Banyak pelajar merasa pelajaran sejarah cuma buang waktu. “Nggak relevan dengan kebutuhan saat ini”, kata beberapa siswa yang kritis. Dari pengamatan penulis, Perasaan seperti ini kebanyakan muncul akibat metode pembelajaran di sekolah yang rancu dan tidak tepat sasaran.
Merespon masalah
Seorang sejarawan, Arnold Toynbee, merangkum definisi sejarah kedalam pengertian sederhana: “Sejarah adalah tantangan dan jawaban”. Tidak salah. Semua kisah dalam buku-buku sejarah berisi tantangan yang dihadapi suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu dan bagaimana pemimpinnya merespon tantangan tersebut dengan cara yang memberi dampak terhadap masyarakat yang lebih luas.
Pangeran Diponegoro masuk catatan sejarah karena ia menanggapi penindasan pemerintah Hindia Belanda. Keputusannya melahirkan serentetan perlawanan terhadap Belanda dan berdampak luas. Kita melihat bagaimana perjuangannya menginspirasi para pemimpin lokal lain untuk angkat senjata dan mengubah peta kekuasaan Belanda di pulau Jawa kala itu.
Belajar mengambil sikap
Dari Diponegoro, kita tidak hanya diwariskan “dongeng” pahlawan. Kami juga belajar pelajaran berharga tentang apa itu kemanusiaan, keberanian, kepeloporan, perjuangan untuk menjadi manusia yang mandiri, dan arti pengorbanan. Sejarah perang Diponegoro cuma satu diantara sekian peristiwa sejarah, baik lokal, nasional, maupun dunia yang mengubah zaman. Tidak perlu heran, banyak tokoh sukses getol membaca buku-buku sejarah untuk menggali nilai-nilai di dalamnya.
Problema di sekolah
Namun di sekolah, sangat disayangkan, sering terjadi sejarah diselewengkan menjadi sekedar cerita berisi nama tokoh, tahun kejadian dan nama tempat. Siswa tidak diajak menemukan kandungan nilai-nilai di dalamnya. Mereka tidak dibimbing untuk memahami sepenggal peristiwa masa lalu dan relevansinya dengan masa kini. Akibatnya, sejarahnya kering, membosankan, dan saat untuk tidur siang atau ngobrol sesama teman di kelas.
Kalau seorang tokoh sukses ditanya bagaimana mereka belajar dari buku-buku sejarah, bisa dipastikan cara mereka berbeda dengan cara siswa belajar di sekolah. Mereka tidak terlalu peduli dengan tahun, nama dan tempat, meskipun ketiganya penting. Yang ingin mereka pahami adalah hubungan antara peristiwa masa lalu dan perkembangan saat ini. Dengan cara ini mereka belajar peka terhadap tanda-tanda yang muncul di zaman ini.
Hasilnya, setiap ada perubahan di masyarakat, mereka sudah bisa meraba mengapa itu terjadi dan bagaimana menyikapi perubahan tersebut. Semua pengambil keputusan membutuhkan kemampuan seperti ini, baik pejabat pemerintah, pemimpin rakyat, maupun pengusaha.
Bentuk pertanyaan
Pertanyaannya adalah, kalau dalam belajar sejarah kita mesti menemukan nilai-nilai di dalam peristiwanya, mengapa soal ulangan di sekolah menggunakan model pilihan ganda yang mengandalkan hafalan? Mengapa pula pertanyaannya sarat dengan detail tentang tahun, nama dan tempat? Alasan para guru biasanya agar mudah mengoreksinya.
Masalahnya, apakah kemudahan ini sepadan dengan kerugian di pihak siswa yang akhirnya justru tidak mendapatkan materi yang semestinya mereka peroleh? Bukankah model soal sebaiknya esai kalau yang mau diukur adalah pemahaman siswa?
Membuat soal esai sebetulnya jauh lebih cepat. Guru cukup menyiapkan 3 sampai 5 pertanyaan. Namun jenis ini tidak dipilih sebab mengoreksinya makan waktu lama. Guru kawatir siswa menjawab dengan tulisan panjang. Ini bisa disiasati, misalnya di soal ulangan terdapat instruksi “Jawab setiap pertanyaan di bawah ini maksimal dengan tiga kalimat pendek”, niscaya masalah teratasi. Siswa bisa diajar menemukan gagasan pokok (gagasan utama) dalam setiap materi yang diberikan. Memang, ini perlu pelatihan dan bimbingan, namun tidak sulit, baik bagi siswa maupun bagi guru.
Pertanyaan:
Apa lagi yang bisa dilakukan agar pelajaran sejarah mencapai sasaran sebagaimana yang ditetapkan dan siswa tidak merasa terbebani?
Tambahkan komentar