Karir dan Studi

KOPI negara – Masih Banyak Peluang di Industri Kopi Nusantara Belum Tergarap

shutterstock_99664388
Pilih yang mana? Jadi pegawai kantoran dengan baju necis tapi gaji segitu-segitu aja, atau jadi pebisnis dan menangguk sukses di industri perkopian nusantara yang terus berkembang?

Indonesia bukan hanya kaya rempah-rempah. Indonesia adalah Negeri Kopi. Hampir 2,5 juta keluarga di Indonesia menggantungkan hidupnya dari perkebunan kopi. Kebanyakan dari mereka tidak sejahtera. Dengan pengetahuan yang tepat dan kemauan kuat, banyak anak muda tepelajar sukses dari bisnis kopi.

Peluangnya

Indonesia penghasil sejumlah kopi terkenal khas daerah, antara lain kopi Madheling dan Lintong (Sumatera Utara), kopi Gayo (Aceh), kopi Java Arabika (Jawa Timur), kopi Kintamani (Bali), kopi Toraja dan Kalosi (Sulawesi Selatan), Flores Bajawa (Nusa Tenggara Timur), dan kopi Luwak Arabika dari berbagai daerah seperti Lampung, Gayo, Flores, Bali, Sulawesi, maupun Papua.

Setelah menikmati aneka kopi di banyak kafe, baik lokal maupun asing, saya akhirnya jatuh hati pada kopi lokal yang diolah dengan teknologi modern, khususnya kopi Arabika Luwak Gayo. Hampir tak ada pagi tanpa secangkir kopi ini. Begitu khas dan nikmat aroma dan cita rasanya, sampai beberapa teman berkomentar: “Penikmat kopi sejati tak akan ke kafe asing,” sambil menyebut nama kafe terkenal dari Amerika.

Selain itu, kopi hutan kita juga diminati luar negeri. Federasi Koperasi Kehutanan Nasional melalui PT Korea Indonesia Forestry Cooperative membidik bisnis kopi Arabika yang ditanam masyarakat desa hutan di kawasan hutan Perhutani di Gunung Puntang, kabupaten Bandung, Jawa Barat. Cita rasa kopi ini bukan main.

shutterstock_147210017

Ayi Sutedja Soemali adalah orang yang paling berperan menjadikan kopi Puntang melejit di manca negara. Dalam ajang Asosiasi Kopi Spesial Amerika (SCAA) Pameran 2016, 14-17 April 2016, kopi yang ditanam Ayi di lembah Gunung Puntang menjadi yang terbaik dalam uji cita rasa dan harga lelang. Biji kopi ayi mendapatkan nilai 86,25 dengan harga lelang 55 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 750.000 per kilogram.

Mengapa petaninya miskin?

Produktivitas kopi kita belum optimal, rata-rata sekitar 750 kilogram per hektar per tahun. Jumlah ini masih minim dibandingkan dengan potensi sesungguhnya. Padahal, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, produktivitas kebun di Vietnam sudah mencapai 2-3 ton per hektar. ”Kami yakin dengan memacu produktivitas menjadi 2 ton-3 ton per hektar, tanpa menambah luas kebun, Indonesia bisa jadi produsen kopi terbesar dunia. Sebab luas kebun Indonesia paling luas,” ujarnya (Kompas, 12 Maret 2018). Menurut Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG), potensi produktivitas kopi Arabika Gayo bisa mencapai 2.000 kilogram per hektar per tahun jika dirawat dengan optimal.

Keterbatasan pengetahuan sebagian besar petani kopi tentang proses pasca panen membuat petani belum bisa hidup sejahtera. Saat masih biji merah harganya hanya Rp 7.000 per kilogram. Kalau sudah jadi gabah, harganya bisa Rp 23.000 per kilogram. Dengan proses roasting (pemanggangan) dengan hormat, harga biji kopi naik berlipat ganda. Pengolahan pasca panen yang cermat bisa mendongkrak harga kopi hingga jutaan rupiah per kilo.

Kopi Bali Cap Kupu-Kupu Bola Dunia, misalnya. Kopi lokal ini mengglobal karena rasanya yang sulit dicari tandingannya. Kopi luwaknya dibanderol sekitar 150 ribu per 50 gram atau 3 juta rupiah per kg. Bukan main.

Merebut Kesempatan

Paham akan potensinya yang sangat besar, beberapa kelompok masyarakat berinisiatif. Kopi Temanggung di Desa Danurejo, Kecamatan Kedu, Jawa Tengah mampu menembus pasar Asia dan Eropa. Mulai banyak anak muda pulang ke kampungnya untuk menggarap peluang ini. Kafe kecil Warung Kopi Lawoek ibarat oase kecil di tengah keriuhan Pasar Kliwon, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ini hanya satu di antara begitu banyak contoh inisiatif warga.

Beberapa pejabat pemerintah daerah pun mulai turun tangan mendorong pendapatan daerahnya dari kopi. ”Selama ini lebih dari 80 persen dari total ekspor kopi gayo dikirim ke Amerika Serikat. Dari Amerika Serikat baru dipasok ke negara Eropa. Kami ingin Eropa juga bisa membeli langsung kepada pengusaha di Gayo,” kata Bupati Aceh Tengah Nasaruddin (Kompas, Selasa, 20/6/17).

Mata rantai di bisnis perkopian cukup panjang, mulai dari pengadaan bibit, menanam hingga panen, mengolah biji kopi dengan roasting (penggorengan) dan pencampuran (pencampuran) untuk menciptakan cita rasa unik, pengemasan, dan lainnya untuk menambah nilai. Harga biji kopi bisa melejit berkali-kali lipat, apalagi jika mendapat sertifikat dari TUJUAN (Platform Kopi Berkelanjutan Indonesia).

shutterstock_145972004

Salah satu cara memenangkan persaingan adalah melalui Hak Kekayaan Intelektual. Logo kopi Arabika Gayo misalnya, resmi terdaftar di Kantor Harmonisasi di Pasar Internal (OHIM) yang menjamin hak kekayaan intelektual merek atau desain produk dagang di Uni Eropa. Hak ini melekat pada hasil kopi Arabika yang berasal dari dataran tinggi Tanoh/Tanah Gayo, meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Tujuannya untuk menghindari klaim atau pengakuan merek dagang kopi arabika gayo oleh daerah lain di luar Tanah Gayo.

Jadi selain penguasaan aneka pengetahuan tentang cara bercocok tanam, cara mengolah hasil panen sangat menentukan sukses. Cara tradisional hanya akan membuat petani terus hidup kekurangan akibat harga jual yang terlalu murah. Pemahaman soal Hak Kekayaan Intelektual dan pasar di dalam maupun di manca negara sangat membantu petani mendapatkan harga jual yang sangat baik.

Kopi sudah menjadi gaya hidup (gaya hidup). Bahkan kini rapat urusan kerja pun tidak afdol tanpa kopi. Ini bukan gaya hidup yang murah. Kita selalu punya dua pilihan, mau jadi konsumen yang terus menerus mengeluarkan uang untuk ngopi sambil ‘bergaya’, atau mau menciptakan bisnis menjanjikan dengan menyediakan kopinya?

Mau jadi pengusaha kopi? Sebuah tantangan bagi anak-anak zaman Now: berani menjelajah ke pedalaman dan pegunungan, jika perlu ke pulau lain. Jangan lupa, bekali diri dengan pengetahuan yang mumpuni. Jangan hanya memilih jurusan kuliah yang itu-itu saja.

Iklan 2-04

Tentang Penulis

Budi Prasetyo

Budi Prasetyo

Budi Prast adalah Founder jurusanku.com. Selain aktif melakukan penelitian di bidang pendidikan, bersama Ina Liem ia menulis “7 Jurusan Bergaji Besar”, "Kreatif Memilih Jurusan", dan "Jurusan untuk Masa Depan". Minat utamanya meliputi pendidikan, analitik data, dan pemikiran desain. Ia juga salah seorang Kontributor Kompas KLASS untuk rubrik #baca.

Tambahkan komentar

Klik di sini untuk mengirim komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *

*