Kalau menyenangkan mengapa banyak yang mengeluh? Lagipula, berapa persen sih orang yang beranggapan pelajaran ini bikin happy?
Sudah jamak bahwa sejak sekolah dasar orang tua merasa anaknya perlu usaha ekstra untuk mengikuti pelajaran ini. Tidak sedikit yang memanggil guru privat untuk les tambahan. Namun ada pula yang ‘diam-diam’ memanggil guru kelasnya untuk memberikan ‘bocoran soal’. Di tingkat SMA kebiasaan les matematika di luar jam sekolah seperti ini makin merata. Seolah ada aturan tak tertulis bahwa pelajar mesti les matematika. Mengapa?
Sebabnya beragam. Yang paling sederhana adalah karena si pelajar memang malas berpikir sedikit lebih serius. Bagi siswa seperti ini apapun pelajarannya selalu akan terasa sulit. Namun tidak sedikit pelajar yang cukup serius memelototi buku pelajaran matematika namun tetap butuh bantuan tambahan di luar jam sekolah.
Sungguh sulitkah pelajaran ini? Adakah yang salah dalam metode mengajar di sekolah sehingga siswa begitu mengandalkan guru les? Sudah tak berdayakah guru matematika di sekolah untuk membuat siswanya paham
APA BIANG KEROKNYA?
Dari pengamatan penulis dan hasil obrolan dengan beberapa guru sekolah dan guru privat matematika, setidaknya ada dua alasan yang membuat pendidikan matematika memprihatinkan di Indonesia.
Kurikulumnya. Beberapa pakar matematika di perguruan tinggi mengakui bahwa kurikulum kita lebih menekankan pada hasil akhir. Kalau jawaban seorang siswa sama dengan kunci jawaban (kunci jawaban), maka siswa tersebut mendapat nilai bagus. Kalau beda, ya maaf saja, nilainya rendah. Mudah.
Karena orientasinya adalah jawaban akhir, maka tidak mengherankan banyak siswa yang ‘berburu kunci jawaban’. Untuk mereka, paham atau tidak bukan masalah, yang penting jawaban soalnya benar. Akibatnya nilai matematika di sekolah seringkali bukan tolok ukur kekuatan berpikir logis-matematis seorang siswa. Yang nilainya ok belum tentu benar-benar ok, sebaliknya yang nilainya kurang ok belum tentu tidak menguasai prinsip-prinsip logika matematika.
Metode mengajarnya . Seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta menyesalkan banyaknya guru matematika yang masih belum menyadari intisari pengajaran matematika. Akibatnya, bentuk soal dan bahan ajar tidak membentuk pola berpikir yang logis. Soal-soal berorientsi problem solving jarang dibahas. Hasilnya, siswa tidak mengerti kegunaan berbagai rumus dan hitungan matematika yang mereka hadapi. Ketidaktahuan ini memicu rasa bosan dan akhirnya tidak peduli.
MENYERAH vs BERTINDAK
Sebetulnya ada banyak hal yang bisa dilakukan sekolah atau guru untuk mengurangi dampak salah kaprah ini. Jika guru punya dedikasi dan pihak sekolah mendukung, tidak mustahil lahir program-program menarik untuk mengajarkan matematika dengan menyenangkan dan mencapai tujuan utamanya. Ada beberapa hal yang bisa ditempuh, seperti misalnya:
PENYELESAIAN MASALAH. Guru bisa menambah soal yang berorientasi penyelesaian masalah. Jika dianggap perlu, sekolah bisa mendukung dengan menyediakan materi dari luar dan memberi sedikit keleluasaan bagi guru untuk bereksperimen dengan materi di luar kurikulum.
RISET. Siswa diminta menemukan atau meriset sendiri kegunaan rumus matematika tertentu. Maksudnya agar matematika terasa manfaatnya dan bahkan bisa menginspirasi siswa untuk mengarahkan cita-citanya kelak.
PERMAINAN. Guru mengajak siswa membuat aneka permainan yang merupakan aplikasi prinsip matematika tertentu. 'Belajar harus menyenangkan'. Anak muda sekarang hidup dikelilingi games. Mereka memahami bahasa permainan lebih baik daripada bahasa formal di kelas. Jadi mengapa tidak memakai bahasa yang mereka pahami untuk membahas matematika?
INSPIRASI DARI SURABAYA
Di SMA Hendrikus, Surabaya, ada program pemberdayaan siswa yang disebut SEP (Program Pemberdayaan Mahasiswa). Seminggu sekali para guru bertemu untuk mempresentasikan, membahas, dan mematangkan program mereka. Aneka ide dan inspirasi di share dan ditindaklanjuti. Tidak ada sekat diantara para guru. Guru Sejarah bekerja sama dengan guru Bahasa Indonesia merancang drama dengan naskah sejarah, atau guru Matematika bekerja sama dengan beberapa guru bidang lain untuk mengadakan lomba matematika antar sekolah, dan lain-lain.
Salah satu topik yang dibahas adalah pengajaran matematika. Dengan cara yang unik, mereka berhasil memprovokasi siswa untuk berinisiatif memperkaya pelajaran matematika. Hasilnya, para murid membuat sendiri berbagai permainan yang merupakan aplikasi dari macam-macam prinsip matematika. Beberapa diberi nama BoomMath, Perlombaan Seratus Detik, dan lain-lain.
Matematika Boom adalah permainan perang-perangan dimana kedua pihak saling melontarkan “peluru kendali” dengan menebak koordinat Cartesian. Serunya permainan membuat mereka lupa bahwa mereka sedang menerapkan salah satu prinsip matematika.
Besar, Semua permainan ini dirancang dan dibuat oleh siswa sendiri. Tampilan game board nya pun enak dilihat. Bahkan setelah dicetak dan diuji cobakan, mereka berani mengadakan lomba matematika antar sekolah a la mereka sendiri.
Peran guru ternyata tidak terlalu dominan, demikian kata Yefri, salah seorang guru matematika dan koordinator SEP di SMA St. Hendrikus. Tradisi ini sudah berlangsung beberapa tahun dan semakin lama semakin banyak permainan yang dihasilkan.
Dukungan sekolah memang tidak sedikit. Untuk menyukseskan lomba ini pihak sekolah mengundang dua orang pakar matematika dari Universitas Pelita Harapan, Jakarta, yakni dr. Helena Margaretha, dan dr. Ivanka Saputra, serta seorang dosen senior dari Universitas Surabaya, dr. Hazrul Iswadi untuk menjadi juri. Bukan itu saja. Pihak sekolah mem fasilitasi konferensi video agar siswa bisa berkomunikasi dengan mahasiswa di perguruan tinggi untuk mendapat gambaran tentang matematika di perguruan tinggi.
SMA St. Hendrikus tentu bukan satu-satunya sekolah yang berdedikasi dalam pengajaran matematika. Namun bagi sekolah yang belum, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki kualitas pengajaran bidang ini. Bagaimanapun, tugas kita memang memberikan yang terbaik bagi generasi muda. Jangan sampai ada kesan seolah-olah justru para guru privat mereka lah yang punya jasa besar bagi pengajaran matematika.
Matematika memang tidak mudah. Tapi itu menjadi mustahil jika gurunya tidak menyenangkan, cara mengajarkannya membosankan, soalnya tidak menggelitik rasa ingin tahu, dan manfaatnya tidak jelas
Dalam belajar menyelesaikan soal matematika menemukan nilai eksak suatu jawaban akhir memang perlu tetapi proses dalam menuliskan,menemukan mengungkapkan ide,berpikir logis,pendapat dalam menemukan nilai akhir jauh lebih diperlukan. Hal ini akan membantu anak dalam belajar berproses dan berfikir sistematis
Kalau saja pengajaran matematika di semua sekolah seperti yang anda maksudkan di atas, negeri kita tidak akan selalu bergantung pada bantuan teknis negara lain. Berpikir logis dan sistematis, itu yang masih langka di sini. Semoga semakin banyak guru matematika seperti anda.
Hasil akhir salah, nilai rendah??? Bukan jamannya lagi.
Salah satu sebab siswa tidak menyukai matematika karena mereka beranggapan sudah susah-susah berpikir, kemudian melakukan sedikit kesalahan dalam penghitungan atau proses aljabarnya saja, mereka mendapat nilai rendah. Sebagian besar energi yang mereka pakai dalam memproses (penyelesaian masalah) suatu masalah tidak dihargai, sehingga timbul budaya instan (malas berproses) diantara mereka..
Mengingat anak-anak sekarang ini suka bermain game dan game developer semakin banyak, alangkah indahnya bila bermunculan game-game yang bermuatan prinsip-prinsip matematika. Dengan demikian diharapkan anak-anak tidak lagi menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit dipelajari melainkan suatu pelajaran yang menyenangkan dan patut dinantikan.
Bagaimana menurutmu??
Terima kasih.
Setuju sekali. Sudah saatnya bangsa kita diarahkan dan dibimbing menjadi bangsa yang nalar dan berorientasi problem solving. Budaya instan bisa dikikis lewat pendidikan formal, antara lain melalui bentuk soal ulangan atau ujian yang merangsang berpikir kritis. Tentang games untuk belajar matematika, wah kalau saja guru-guru matematika se Indonesia kompak saling dukung dan share gagasan, Indonesia bisa jadi rajanya Math Games.
Hanya orang-orang tertentu yang senang matematika, dan itu adalah surat takdir. Secara pelajaran satu ini bener bener amit amit jabang bayi.
Ditambah hampir semua guru matematika berkesan galak dan pemarah, pesan ane bagi yang senang matematika teruslah senang dan berkaryalah.. tapi jangan pernah ajak kami yang dari golongan anti matematika
Tiap orang punya 9 macam kecerdasan, dan Logika Matematika hanya satu di antaranya. Menurut teori Kecerdasan Majemuk (Howard Gardner), tidak ada anak yang bodoh. Yang lemah di Matematika pasti berbakat di jenis kecerdasan lain. Tentang hal ini ketikkan kata kunci di search engine kami: tes123. Disitu dijelaskan bahwa menganggap anak IPA lebih pandai dari IPS keliru besar. Tapi ada baiknya kamu ambil tes Multiple Intelligence. Siapa tahu logika Matematikamu tinggi tapi tidak suka pelajaran ini karena gurunya galak. Seandainya tidak, perhatikan jenis kecerdasan mana yang menonjol. Dari situ terlihat kekuatanmu yang sebenarnya. Salam sukses.
mungkin memang seharusnya kurikulum pembelajaran matematika di Indonesia lebih menitikberatkan pada aplikasi prinsipnya.. seperti dibuat menjadi games (contoh di atas) jadilah siswa bisa belajar dengan lebih senang sementara prinsip matematikanya bisa “nempel” tanpa disadari sang siswa
Benar. Para guru sebaiknya memiliki perbendaharaan kasus yang kaya untuk aplikasi matematika.