Siapa tak kenal mas Menteri Pendidikan & Kebudayaan kita, Nadiem Makarim. Waktu, inovatif, dan sudah terbukti mampu menciptakan solusi dan perubahan bagi jutaan orang. “Apa yang membuat seseorang inovatif seperti itu?”
Studi menunjukkan bahwa pemimpin lahir karena dibentuk. Cerdas sejak lahir saja tidak cukup. Lalu, lingkungan seperti apa yang membentuk pribadi seperti mas Menteri kita ini?
Nadiem Makarim besar di keluarga yang menyuarakan nasionalisme sejak dini. Ayahnya selalu berpesan, “Kemanapun kamu menempuh ilmu, kamu harus selalu kembali ke tanah air.” Ini memang nasihat yang pas mengingat Nadiem adalah produk pendidikan formal dari beberapa negara.
Waktu sekolah
SD Pondok Labu Al Ihzar tempat dia menghabiskan masa kecilnya. Sekolah berkurikulum nasional ini menekankan budaya belajar kreatif, kritis, inovatif dan solutif, tidak hafalan.
Setelah sekolah dasar, itu masuk ke Sekolah Dalton di New York, Amerika Serikat. Lagi, di sini tidak ada hafalan dan tidak ada drilling untuk melatih siswa dengan banyak soal. Sekolah ini memang sedang giat melawan model pendidikan hafalan, dipelopori Helena Parkhurst, psikolog yang melahirkan the Dalton Plan.
Sistem Dalton berbasis pada kebutuhan siswa, gairah, dan kemampuan, dengan tekanan pada kemandirian dan ketergantungan (mirip gotong royong). Jadi, kecerdasan sosial adalah prioritas, terutama interaksi sosial. Prinsip Dalton: “Untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa dan rasa tanggung jawab terhadap orang lain” (meningkatkan ketrampilan sosial dan rasa tanggung jawab terhadap orang lain).
Lulus SMP, Nadiem masuk ke SMA United World College Asia Tenggara (UWCSEA) di Singapura. Sekolah ini basisnya di Inggris. Misinya: “pemersatu kelompok, berbangsa dan berbudaya untuk masa depan yang cerah dan damai”. Siswa di sekolah ini berasal dari 157 negara. Multi kulturalisme membentuk Nadiem jadi pribadi dengan cross-cultural understanding sangat kuat. Lagi-lagi social skills.
Dengan Kurikulum IB (Sarjana Internasional), siswa diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan sosial. Pada sistem ini siswa banyak mendapat tugas esai, bukan drilling dan soal pilihan ganda.
Yang unik, dan mungkin juga kelebihan dari sekolah ini, social projects sangat penting. Bobot nilainya bisa lebih tinggi ketimbang kegiatan akademik. Siswa didorong peka terhadap lingkungan, mampu memetakan masalah di sekitarnya, menemukan solusi, lalu menuangkannya secara sistematis dalam tulisan.
Berpikir Lintas Domain
Model pendidikan di SMA nya ini membawa Nadiem ke Universitas Coklat, salah satu universitas top dalam kelompok Ivy League. Prodi yang dipilihnya International Relations and Affairs, bidang ilmu yang sangat multidisipliner.
Selama di Brown, ia sempat menempuh exchange program selama satu tahun di LSE (Sekolah Ekonomi London & Ilmu Politik), jurusan Bisnis dan Ekonomi. LSE adalah perguruan tinggi terbaik kedua di dunia untuk bidang ilmu sosial dan manajemen (Tidak 1 adalah Harvard).
Kalau kita perhatikan bidang ilmu yang didalami, semuanya mengajarkan Transferable Skills (ilmu pengetahuan yang bisa diterapkan di berbagai bidang pekerjaan dan profesi). Tidak heran kalau Nadiem diterima bekerja di McKinsey dan Perusahaan cabang Jakarta, perusahaan konsultan bisnis terbesar di dunia. Lebih dari 80% perusahaan terkemuka di dunia adalah klien McKinsey.
Selama di McKinsey, ia berinisiatif membuat program Pemimpin Muda Indonesia (LEBIH) yang misinya mencari bibit pemimpin masa depan bagi pembangunan Indonesia. YLI menyeleksi mahasiswa terbaik yang sudah belajar di tahun ke 3 untuk dilatih jadi pemimpin unggul.
Program YLI yang diprakarsainya inilah yang membuat Nadiem akhirnya diterima di Sekolah Bisnis Harvard untuk program Masternya. Semua pasti tahu sangat tidak mudah masuk ke program MBA di universitas terbaik dunia ini.
Benang Merah Pendidikan
Menilik perjalanan sekolahnya, dari SD hingga lulus kuliah, tampak benang merah yang selalu melekat pada diri Nadiem. Pertama, ia selalu berada di lembaga pendidikan yang mengutamakan cara berpikir kritis, kreatif dan solutif, bukan hafalan dan pengeboran.
Kemampuannya berpikir teratur, luas, dan ada dasarnya membuat Nadiem mampu melihat persoalan dengan jernih dan obyektif. Ini hasil pendidikannya di sekolah: menemukan masalah, mencari solusi, lalu menuangkan pikirannya dalam tulisan dengan landasan yang kuat, bukan pendapat aslinya.
Kedua, latar belakang bidang studi pilihannya yang bersifat multidisipliner dan mengajarkan banyak transferable skills menjadikan ia sosok yang mampu berpikir lintas domain. Tidak heran solusi yang dihasilkannya sering membuat orang terpana, “kok saya gak berpikir sampai ke sana ya”, atau “ternyata ada ya solusi seperti itu.”
Rektor sebuah universitas negeri pernah menulis di koran, “tahu apa Nadiem soal Pendidikan?” Ini cara berpikir lama: Yang punya ilmu segudang di satu bidang dianggap paling mampu memberi solusi di bidang tersebut. Pak rektor lupa, Nadiem menciptakan solusi luar biasa di bidang transportasi, padahal jurusannya bukan Ilmu Transportasi. Bahkan para ahli transportasi pun tidak pernah menghasilkan solusi secemerlang itu.
Ini bedanya dengan hasil pendidikan ala liberal arts yang multidisipliner. Bagi mereka tidak ada bidang independen. Berpikir kritis dan solutif sudah mandarah daging sehingga tidak akan terdengar ungkapan: “Maaf itu bukan bidang saya.” Di Amerika lulusan liberal arts education yang dianggap tidak jelas kariernya malah banyak diincar perusahaan teknologi. (baca artikel kami di Kompas tentang pendidikan liberal arts di sini).
Ketiga, kecerdasan sosialnya terbentuk kuat lewat sistem pendidikan yang mengutamakan social skills dan tanggung jawab terhadap orang lain. Kepekaannya terhadap masalah orang (kesadaran sosial) membentuknya menjadi pribadi yang selalu ‘gemes’ ingin membawa perubahan. Ingat, social skills itu bukan cuma kemampuan bersikap ramah dan sopan, lho.
Keempat adalah Multiculturalism. Nadiem adalah sosok yang sudah bergaul intens dengan aneka bangsa. Ini membuka wawasannya, mengenal karakter bangsa-bangsa dan masalah mereka. Multi kulturalisme membuat seseorang mampu memberi solusi bagi orang yang berbeda-beda. Kalau sempat, coba mampir ke kantor Gojek. Kamu akan temukan berbagai macam suku dan bangsa di sana.
Terakhir, peran orang tuanya yang selalu menekankan pentingnya kembali ke tanah air untuk membangun bangsa. Coba cari tahu siapa kedua orang tua dan kakek mas Menteri. Mereka sudah banyak berkontribusi besar untuk bangsa di bidangnya masing-masing. Mereka sukses membentuk sosok Nadiem yang penuh empati.
Nadiem bisa saja bekerja di negara mana pun, tapi hatinya selalu terarah menuju bangsanya. Ini yang membawanya pada solusi luar biasa dalam ujud Gojek. Kalau kita perhatikan para pendiri startup company terkenal di manapun, ada satu ciri khas yang melekat pada mereka, yakni kemampuan berempati yang sangat kuat.
Pilih yang mana?
Tidak, sekarang giliran kamu menentukan. Mau jadi juara hafalan tapi tidak kritis, kreatif dan solutif? Atau mau jadi pribadi inovatif yang punya kepekaan tinggi terhadap masalah di sekitar meskipun nilai akademik bisa jadi tidak terlalu cemerlang?
Begitu juga dalam bergaul dan bersosialisasi. Pilih nyaman berada di kelompok yang itu-itu saja dengan anggota yang homogen? Atau mau bergabung di komunitas yang anggotanya beragam sekalipun kadang harus keluar dari zona nyaman untuk beradaptasi?
Mau inovatif? Mulailah berempati. Coba cari apa yang bikin kamu jengkel di sekitar sekolah, daerah perumahanmu, area nongkrong atau olahraga, atau mana saja. Apa yang tidak beres? Mengapa tidak ada solusinya? Berapa orang yang merasa seperti kamu? Temukan di mana masalahnya, lalu pikirkan solusinya.
Mau yang lebih sederhana? Coba perhatikan kepadatan lalu lintas di depan sekolahmu saat jam masuk dan pulang sekolah. Siapa yang terhambat, jengkel, atau dirugikan? Apakah ini hanya mengganggu siswa dan penjemput saja, atau merugikan pengguna jalan lain juga? Ini sudah berlangsung sejak kapan? Apakah ada solusi?? Ayo, mulailah berempati.
Sumber:
Nadiem Makarim, Cerita Masa Kecil, Jatuh Bangun Gojek, dan Bakti kepada Negara" karya Ardi Darmawan, Mudi Artiningsih, dan Fanny A. Prasetya (Andaliman Books, 2020)
Tambahkan komentar