Kompas Articles

Mengejar Angan Menembus Awan

Cendra-Perkasa
[pos tamu]Tulisan Ina Liem di Kompas Klass edisi Jumat 20 Desember 2013 ini dimaksudkan untuk membuka mata generasi muda bahwa bidang penerbangan punya masa depan sangat cerah. Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana kuliah di luar negeri mengajarkan banyak hal berguna.[/pos tamu]

Selain dokter dan insinyur, pilot menjadi profesi yang jamak diimpikan anak-anak. Tetapi, apakah cita-cita tersebut akan tetap bertahan dan berusaha diraih pada kemudian hari?

Cendra Perkasa, alumnus Massey University yang mini first officer di Garuda Indonesia
Cendra Perkasa, alumnus Massey University yang kini First Officer di Garuda Indonesia (foto: Universitas Massey)

Dari survei penulis terhadap 5.320 siswa SMA swasta di 11 kota di Indonesia, hasilnya mengecewakan. Hanya 22 siswa atau 0,41 persen yang berminat jadi penerbang dan di antara mereka hanya ada 1 perempuan. Padahal, bidang ini sangat menarik dan menantang, apalagi bagi mereka yang tidak suka kerja kantoran dan senang mencari “kebebasan”.

Kesempatan terbuka lebar. Di Indonesia saja, bidang tersebut tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Maskapai penerbangan berlomba-lomba menambah jumlah armada, tetapi sayangnya pertumbuhan tersebut kadang tidak sebanding dengan jumlah pilot di dalam negeri.

Menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan Bobby R Mamahit, kita hanya bisa memenuhi 50 persen dari target pilot yang dibutuhkan. Saat ini, sekolah-sekolah penerbangan di Indonesia menghasilkan sekitar 400 pilot tiap tahun, sementara kebutuhannya sekitar 800 pilot. Akibatnya, beberapa perusahaan penerbangan nasional terpaksa mempekerjakan pilot asing.

Sekolah penerbang

Kebutuhan akan pilot tidak mudah dipenuhi. Salah satu kendalanya karena fasilitas beberapa sekolah belum memadai. Umumnya, karena jumlah pesawat latih yang dimiliki minim, waktu pendidikan menjadi lebih panjang karena siswa harus menunggu giliran mendapat kesempatan terbang. Penambahan jumlah pesawat tidak gampang mengingat harganya yang tidak murah.

Instruktur mendampingi siswa penerbang (masseytoprankflightschools.co.nz)
Instruktur mendampingi siswa penerbang (masseytoprankflightschools.co.nz)

Kendala lain soal biaya. Sekolah penerbangan memang terkenal mahal, apalagi yang memiliki fasilitas dan reputasi internasional. Namun, bidang ini termasuk salah satu pendidikan profesi yang paling cepat tingkat pengembalian modalnya. Sekadar ilustrasi, gaji pilot petugas pertama di Garuda sekitar Rp 20 juta. Itu baru gaji pokok. Ditambah uang terbang, total bisa sekitar 4.000 dolar AS (Kompas, 28 Agustus 2013).

Salah satu sekolah penerbangan yang memiliki fasilitas dan reputasi internasional adalah Massey University di Selandia Baru. Lokasi pelatihan di Palmerston North yang sering dilalui angin kencang dan hujan menjadikannya sebagai medan latihan yang tepat bagi calon penerbang untuk mengasah kemampuan terbang dalam kondisi sulit.

Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun, Massey menawarkan jenjang studi dari Certificate in Aviation Studies (nongelar) hingga tingkat PhD (gelar doktor) di Penerbangan. Bahkan, Massey merupakan satu-satunya sekolah pilot di Selandia Baru yang menawarkan program setara S-1, yaitu Sarjana Penerbangan. Pendidikan penerbangan bergelar sarjana ini terbilang langka di seluruh dunia.

Pesawat latih bermesin tunggal tipe terbaru di Massey
Pesawat latih bermesin tunggal tipe terbaru di Massey

Di sekolah penerbangan lain, umumnya masa studi hanya 1–2 tahun, tetapi di Massey bisa 3–4 tahun. Ketika lulus, mereka tidak hanya mengantongi ijazah sarjana (Sarjana Penerbangan), tetapi juga memperoleh Commercial Pilot Licence dan Multi-Engine Instrument Ratings yang mutlak diperlukan untuk melamar pekerjaan di maskapai penerbangan komersial besar.

Kenapa lebih lama?? Massey tidak hanya melatih mahasiswa menjadi pilot, tetapi juga membekali mereka untuk menjadi manajer dek penerbangan yang mampu memimpin semua kru di pesawat. Mereka harus memahami sisi bisnis dan keselamatan secara menyeluruh. Lulusannya diharapkan menjadi pilot dengan perbedaan.

Selain itu, program studi ini memungkinkan lulusannya melanjutkan ke studi pasca sarjana di lapangan manajemen penerbangan. Ini membuka peluang bagi yang ingin pensiun jadi pilot dan masuk level manajemen perusahaan penerbangan.

Kokpit pesawat latih twin-engine Diamond DA42
Kokpit pesawat latih twin-engine Diamond DA42

Untuk urusan fasilitas, Massey University School of Aviation “dipersenjatai” fasilitas praktik modern. Untuk pelatihan penerbangan, ada 12 pesawat latih tipe Diamond DA40 bermesin tunggal dan 2 pesawat latih jenis Diamond DA42 bermesin ganda yang semuanya baru berusia 2 tahun. Masing-masing pesawat latih dilengkapi kokpit kaca Garmin 1000 menampilkan model mutakhir.

Asal tahu saja, instrumen tersebut memberi informasi peta gerak digital, sistem peringatan bahaya ketinggian permukaan daratan, dan sistem untuk menghindari tabrakan udara. Teknologi terbaru ini sangat menentukan keselamatan selama pendidikan.

Keterampilan lembut

Dalam buku berjudul Penyimpangan, Malcolm Gladwell menyebutkan penyebab kecelakaan pesawat biasanya melibatkan tujuh macam kesalahan manusia. Tujuh kesalahan tersebut sebagian besar menyangkut soal kerja tim dan komunikasi. Pada 44 persen kecelakaan, kedua pilot (kapten dan petugas pertama) belum pernah terbang bersama sebelumnya, jadi mereka belum nyaman satu dengan yang lain.

Pesawat latih Diamond DA42
Pesawat latih Diamond DA42

Kemudian, khususnya dalam penerbangan internasional, masalah bahasa sangat berpengaruh. Saat terjadi keadaan darurat, pilot terkadang terlalu capek untuk berpikir dalam bahasa Inggris karena lebih terbiasa dengan bahasa ibu.

Kultur juga sering jadi kendala. Budaya terlalu sopan dan merendah mungkin tidak sesuai ditampilkan saat kondisi darurat. Pesawat Kolombia, Avianca 052, mengalami kecelakaan di New York tahun 1990 karena kehabisan bahan bakar. Saat mau mendarat, pilot gagal menyampaikan kondisi mendesak sehingga tidak diprioritaskan untuk mendarat dengan segera.

Air Traffic Controller mengatakan, “Saya akan membawa Anda sekitar lima belas mil timur laut dan kemudian mengarahkan Anda kembali ke pendekatan. Apakah itu baik-baik saja dengan Anda dan bahan bakar Anda?”. Bernyanyi petugas pertama dijawab, ”saya rasa begitu. Terima kasih banyak.”

Padahal, saat itu, pesawat sudah kehabisan bahan bakar dan petugas pertama hanya mengatakan, “saya rasa begitu” karena budaya Kolombia yang mungkin mirip dengan Indonesia, sungkan mengutarakan perbedaan pendapat. Dan sebaliknya, Orang Amerika mungkin berkata,”Mendengarkan, sobat. Aku harus mendarat. Sekarang.”

Siapa bilang pilot harus laki-laki?
Siapa bilang pilot harus laki-laki?

Di sini jelas, pilot memang tidak bisa semata mengandalkan keterampilan menerbangkan pesawat. Kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, merupakan syarat mutlak karena menjadi bahasa dunia penerbangan yang berlaku di seluruh dunia.

Bisa bilang, “Selamat pagi, ini kaptenmu yang berbicara” saja tidak cukup. Seorang pilot harus memiliki ketangkasan global, yakni kemampuan berinteraksi secara efektif dengan budaya lain. Umumnya, masalah perbedaan kultur di perusahaan asing bisa membuat seseorang kehilangan pekerjaan. Tetapi, di dunia penerbangan, masalah ketangkasan global bisa menghilangkan nyawa banyak orang.

Tak pelak, seorang calon penerbang harus nyaman berada di lingkungan aneka budaya. Cendra Perkasa, pilot alumnus Massey University yang kini jadi petugas pertama di Garuda Indonesia mengatakan, pembangunan tim merupakan faktor yang sangat penting, terutama dalam bekerja sama dengan awak pesawat yang multinasional dan multikultural. Para mahasiswa Massey dilatih untuk saling mengenal kelebihan dan kekurangan teman dalam tim sehingga mampu menangani masalah di saat darurat.

Instruktur di Massey mengenal betul perbedaan kultur, terutama Asia, yaitu orang yang lebih muda tidak seharusnya mempertanyakan atau menentang atasan. Karena itu, awak yunior dilatih agar percaya diri untuk mengingatkan kapten saat membuat kesalahan. Di sisi lain, kapten harus mau mendengar karena siapa saja bisa berbuat salah.

Cendra memilih Massey karena ada penekanan terhadap keselamatan dan penyelesaian masalah. Menjadi pilot tidak hanya belajar mengemudi, tetapi juga manajemen dan kemampuan membuat keputusan.

Dari, mengejar cita-cita jadi penerbang memang tidak mudah. Selain mahal, banyak kondisi lainnya. Namun, hal tersebut tidak mengurangi daya tariknya. Siapa yang tak mau tampil keren, dibayar dengan baik, pergi ke tempat-tempat terbaik dunia, dan menikmati kebebasan murni yang tak bisa didapat di darat?

Ina Liem

Author and CEO JURUSANKU

@InaLiem

@kompasklass #edukasi

Baca artikel terkait soal Airport and Airline Management yang juga dimuat di Kompas KLASS pada hari yang sama.

Iklan 2-04

Tentang Penulis

Ina Liem

Ina Liem

Ina Liem sudah belasan tahun berkecimpung di dunia pendidikan, terutama pendidikan di luar negeri. Dia telah berkonsultasi, seminar, dan presentasi di hadapan puluhan ribu pelajar dan orang tua murid di banyak kota dan di beberapa negara tetangga. Selain menjadi Kontributor rubrik EDUKASI di KOMPAS KLASS, Ina adalah penulis (pengarang), pembicara (pembicara publik), dan Konsultan Career Direct Bersertifikat.

1 Komentar

Klik di sini untuk mengirim komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *

*