(Kali ini Ina Liem menulis tentang jurusan perfilman hasil kunjungannya ke salah satu perguruan tinggi di Santa Fe, Amerika Serikat. Artikel ini terbit di Kompas KLASS, Jumat 21 Agustus 2015 sepanjang dua halaman. Bagian kedua artikel ini bisa baca disini.)
Digitalisasi serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat film tak melulu identik dengan bioskop. Banyak orang menonton film di Gawai mereka via Youtube, NetFlix, Vimeo, dan sejenisnya.
Bahkan, sebagian besar konsumsi film terjadi di luar bioskop. Perubahan ini membuka pintu baru bagi generasi muda pembuat film.
Di dunia perfilman, reputasi dan pengalaman Amerika Serikat sulit diragukan. Industri film masih didominasi Hollywood. Namun, belajar membuat film tidak harus di lokasi seputar Hollywood, California. Salah satu alternatif menarik ada di Kota Santa Fe, negara bagian New Mexico, Amerika Serikat.
Studi perfilman
Universitas Seni dan Desain Santa Fe (SFUAD) adalah universitas yang fokus pada bidang studi kreatif. Selain berbagai bidang studi seni dan desain, ada program studi perfilman, yakni Sarjana Seni Rupa (BFA) dalam Film.
Untuk menjadi pembuat film andal, unsur utama yang mesti dipelajari mahasiswa perfilman adalah mendongeng, produksi, CGI/animasi, dan mata kuliah terkait aspek bisnis sebuah film atau sering disebut bisnis bisnis. Setelah merampungkan materi dasar, mahasiswa boleh memilih satu di antara tiga bidang peminatan yaitu Production, Pengembangan Cerita, atau Pasca Produksi.
Umumnya, Production adalah bidang peminatan terpopuler. Bisa dimengerti, sebagian besar mahasiswa perfilman ingin jadi sutradara, sebuah predikat paling bergengsi di industri film. Bagi yang menempuh “jalur sutradara”, mereka akan bergelut dengan mata kuliah Creative Development and Producing for Film & televisi, Desain Audio, Pengantar Pengarahan, dan Bercerita dengan Kamera.
Di abad ke-21, media menuntut kekuatan mendongeng, mulai dari ringkasan naskah, tahap syuting, hingga proses pasca produksi. Mereka yang berminat pada Story Development akan bertemu dengan materi Story Development for Emergent Media, Adaptasi dan Branding, Menulis untuk Televisi, dan Pengembangan Cerita Lanjutan. Mereka belajar bagaimana mengungkapkan ide ke dalam film layar lebar, serial televisi, seri web, dokumen film, media baru, dll..
Kemudian ada peminatan Post Production. Mungkin tidak banyak yang tertarik pada bidang di balik layar ini karena dianggap kurang bergengsi. Padahal, kesuksesan sebuah film sangat ditentukan proses setelah syuting.
Bidang ini bukan hanya soal mengedit hasil syuting, memotong adegan, dan hubungkan dengan adegan lain. Pasca produksi melibatkan efek suara, animasi, dan desain audio agar cerita di film serasa hidup. Karena cukup rumit, peminat bidang ini harus menguasai Post-Production Workflow dan Advanced Editing. Mereka yang tertarik pada sisi teknis pembuatan animasi bisa belajar 3D Computer Animation Production 1, 2, dan 3, Efek Visual Pengomposisian Dasar dan Lanjutan. Apa pun bidang pilihannya, setiap mahasiswa harus mempelajari semua tahapan dan bergantian menjalankan peran dalam proyek pembuatan film.
Tidak mudah
Banyak pelajar SMA menganggap perfilman adalah dunia yang glamor. Padahal, fakta di balik layar bisa sangat bertolak belakang. Menurut Katelyn Peer, salah satu alumni BFA in Film, ketika membuat proyek film semasa kuliah di SFUAD, bekerja 12 jam sehari adalah waktu terpendek yang ia alami. “Bagi yang tidak mau tangannya kotor dan mengangkat peralatan berat sebaiknya tidak masuk jurusan ini,” tambahnya.
Katelyn pernah mendapat kesempatan jadi sutradara di program Tembak Bintang! diadakan oleh SFUAD setiap tahun. Ini bekerja dengan aktor Luke Kirby, dan Wes Studi, aktor yang sempat membintangi film Menari bersama serigala dan Yang Terakhir dari Mohicans. Untuk The Boston Post, nama proyek ini, sering kali ia harus bekerja 16 jam sehari, mulai dari mencari lokasi, mengurus izin penggunaan lokasi, menentukan teknologinya, menyiapkan dandan dan kostum, mencari aktor, serta memimpin lebih dari 100 kru. Tidak mudah.
Salah satu contoh adalah tahap menyiapkan kostum. Untuk acara TV Manhattan, misalnya, yang pengaturan ceritanya di tahun 1940-an, mengumpulkan kostum “jadul” dari berbagai sumber membutuhkan waktu dan upaya yang besar.
Mahasiswa perfilman juga harus bisa “berteman” dengan kegagalan. Katelyn memastikan, proyek-proyek awal biasanya gagal. Alhasil, tidak banyak teman seangkatannya yang bertahan di industri perfilman setelah lulus. Banyak dari mereka, termasuk Katelyn sendiri, semasa SMA “terkecoh” gemerlapnya industri ini, yang ternyata membutuhkan kerja keras dan mental tahan banting.
Karakter lain yang harus dimiliki calon mahasiswa perfilman adalah perhatian terhadap detail, rakyat keterampilan, dan kemampuan jaringan. Di awal tahun pelajaran, sering kali mahasiswa harus mencari teman atau anggota keluarga yang bersedia terlibat dalam proyek-proyek film yang akan digarap.
Kerja sama tim dengan orang-orang dengan karakter berbeda memang tidak mudah. Film adalah pekerjaan besar dan sangat kolaboratif. Kepemimpinan dan kemampuan kerja tim sangat penting. Di proyek The Boston Post, Katelyn memakai naskah mahasiswa jurusan lain. Penulisnya, Andrew Rodhes, yang sekarang Koordinator Produksi di sebuah perusahaan film dan televisi di New York, saat itu adalah mahasiswa jurusan Creative Writing.
Peran dan media baru
Film pendek mulai mendapat audiens yang semakin luas. Peruntukannya pun beragam. Banyak film pendek didesain khusus untuk upaya kampanye kebaikan dan pendidikan, bukan sekedar hiburan.
Salah satu contohnya film animasi berdurasi sekitar 24 menit berjudul Pulau Bintang yang digagas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tujuannya adalah menumbuhkan sikap sadar energi pada anak-anak. Kata salah satu pengisi suaranya, Butet Kartaredjasa, “Anak-anak yang menontonnya akan membawa memori ini hingga dewasa.”
Diyakini, pesan melalui film lebih melekat di benak anak-anak hingga dewasa, dibanding cara konvensional melalui pelajaran sekolah. Ini diakui Dina Mairawati (Rara) yang terlibat pembuatan serial TV Jalan Sesama (adaptasi jalan Sesama). Sebagai penggemar berat jalan Sesama masa kanak-kanak, Rara tumbuh menjadi sosok yang anti-pemborosan air berkat film favoritnya ini.
Orang dewasa pun bisa menarik manfaat dari film semacam ini. Pentingnya peran perempuan dalam kehidupan tidak mesti diserukan lewat diskusi, seminar, atau aksi turun ke jalan. Aktris Jajang C Noor percaya, “Lewat film, kita belajar melihat sudut pandang orang lain.” Jadi film bisa bermakna investasi bagi sebuah bangsa.
Tren ini didukung makin banyaknya media baru untuk menayangkan film. Begitu antusiasnya orang menonton menggunakan gawai, Youtube yang semula hanya berperan sebagai platform video kini mempekerjakan para profesional perfilman untuk menciptakan konten sendiri. Perubahan ini telah menciptakan banyak karier baru di dunia film.
Karena itu, kurikulum jurusan perfilman di SFUAD membekali mahasiswanya dengan berbagai materi relevan. Mereka dibekali wawasan tentang TV, jaring, dan beberapa platform media baru yang diperoleh lewat mata kuliah Professional Film, Televisi, dan Praktik Media yang Muncul, dan Business of Film, Televisi, dan Media Muncul.
Ina Liem
Authir and CEO Jurusanku
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Tambahkan komentar