Pada umumnya, pelukis sukses yang karyanya dihargai tinggi punya latar belakang pendidikan tinggi. Rata-rata mereka menguasai berbagai ilmu sosial dan budaya.

Coba saja tengok nama-nama besar di dunia seni rupa Indonesia saat ini seperti misalnya Tita Rubi, Eko Nugroho, Entang Wiharso, Albert Yonathan Setyawan, Nyoman Masriadi, Ay Tjoe Christine, dan masih banyak lainnya. Karya mereka rata-rata menampilkan hasil permenungan yang dibingkai dalam konteks sosial dan budaya. Mengapa demikian?
Alasannya sederhana. Kalau menilik kurikulum jurusan Seni Rupa, selain pendidikan teknik melukis, mahasiswa dijejali dengan banyak materi lain seperti misalnya Filsafat Keindahan (Estetika), Sejarah Seni, dan Ilmu-ilmu Sosial seperti Ilmu Budaya, Sosiologi, dan lain-lain.
- Ilmu Estetika memberi pemahaman mendasar tentang apa yang disebut ‘indah’. Dengan modal ini, mereka tidak akan menilai sebuah karya hanya berdasarkan ‘feeling’. Mereka dilatih untuk bisa menjelaskan mengapa sebuah karya itu indah dan karya lainnya tidak. Jadi mereka tahu mana diantara karya mereka yang bisa disebut ‘indah’ dan mana yang bukan.
- Melalui mata kuliah Sejarah Seni, mahasiswa diperkenalkan dengan perjalanan seniman dari zaman dahulu dengan karya masterpiece mereka sesuai zamannya. Mereka diajar melihat ciri khas karya-karya seni dari aliran tertentu dan mengapa aliran tersebut muncul di zamannya. Pengenalan akan berbagai gaya dan teknik pada seniman besar di masa lalu membantu mahasiswa menemukan idolanya, atau malahan menciptakan aliran yang sama sekali baru.
- Kemudian ada beberapa mata kuliah Ilmu-Ilmu Sosial. Di SMA mata pelajaran sejarah, sosiologi, PPKN, dan aneka ilmu sosial lain sering diremehkan sebab dianggap tidak ada gunanya di masa depan. Di jurusan seni semuanya ini menjadi pendukung yang sangat penting untuk menciptakan karya bermutu. Contohnya, seorang pelukis mungkin saja tertarik untuk mengungkapkan budaya masa lalu di sepanjang tepian sebuah sungai yang hilang akibat pembangunan perkotaan. Dengan pemahaman Antropologi dan Sosiologi, ia akan mampu membuat lukisan dengan tema sosial yang menarik.
Semua pengetahuan yang berhubungan dengan manusia, kemanusiaan, hubungan antar manusia, konflik di antara mereka, serta perubahan zaman justru menjadi bekal untuk membangun wawasan seorang seniman. Pengetahuan seperti ini juga mengasah kepekaan sosial seorang seniman dalam memahami apa yang terjadi di sekitarnya.

Kalau kita perhatikan karya kelima perupa Indonesia yang ditampilkan di Venice Biennale yang ke 55, semuanya mengungkapkan sisi-sisi sosial dan budaya yang dalam. Sekedar catatan, Venice Biennale adalah ajang unjuk karya seni kontemporer dua tahunan paling bergengsi di dunia yang diadakan di Italia sejak 110 tahun yang lalu.
Karya seni instalasi yang ditampilkan Sri Astari di atas mau menunjukkan budaya khas Indonesia. Ekspresi budaya ini terasa semakin hidup karena ada iringan musik etnik yang khusus diciptakan oleh Dr. Rahayu Supanggah, seorang pakar Etnomusikologi dari Institut Seni Indonesia, Surakarta. Ini bukan karya main-main.

Ada lagi lukisan karya Dadi Setyadi yang mungkin dianggap tidak lazim bagi orang kebanyakan. Lukisan Nawangwulan di bawah ini diilhami dongeng rakyat tentang bidadari yang dijerat dan dijadikan istri oleh Joko Tarub sehingga tidak bisa kembali ke nirwana. Namun akhirnya ia berhasil melepaskan diri dan bertemu kembali dengan teman-teman sesama bidadari.

Tampak Nawangwulan melepas rindu dengan seorang bidadari lain, tapi di lengannya ada tato bertuliskan “mas Joko”. Tampilan para wanita ini juga mengambil wujud gambaran perempuan zaman Yunani kuno. Ide ‘liar’nya menjadi unik karena kombinasi berbagai unsur budaya dengan dimensi waktu yang berlainan.
Begitu juga ide cemerlang Dadi Setyadi pada lukisan Sura vs Baya ini. Dalam mitos kota Surabaya, dulu terjadi perkelahian antara ikan Suro dan buaya (boyo). Lambang Surabaya menunjukkan kedua hewan ini sedang berduel. Pada lukisan ini Dadi ingin menampilkan bentuk konflik atau perkelahian yang sesuai konteks zaman sekarang. Pesannya kira-kira adalah konflik tidak harus diselesaikan dengan berkelahi secara fisik. Sebagai manusia beradab, perbedaan pendapat hendaknya diatasi dengan rasio seperti dinyatakannya dengan permainan catur.

Gagasan yang dibangun dari folklore (cerita rakyat) dan dikemas dengan tampilan mahluk alien masa depan serta pesan jenaka ini jelas lahir dari pemikiran matang, yang proses maupun konten (isi) nya berakar pada pemahaman kebudayaan.
Itulah sebabnya tema-tema yang ditampilkan para seniman lulusan perguruan tinggi sangat bervariasi. Karya mereka bukan hanya indah dipandang, namun juga sering menyimpan pesan yang dalam, mengungkapkan kritik sosial, atau bercerita.

Menurut istilah mereka, karya seni yang baik harus ada ‘narasi’nya. Dan narasi inilah yang seringkali menggelitik para kolektor untuk memburu sebuah lukisan, berapapun harganya. Sebut saja Nyoman Masriadi. Sarjana seni lulusan ISI, Yogyakarta ini sukses mengawinkan unsur budaya Bali dengan pop culture.
Di tahun 2006 lukisan karya Masriadi rata-rata dihargai $10.000. Tapi pada tahun 2009, balai lelang Sotheby di Hongkong menjual lukisan ‘The Man from Bantul’ ini dengan harga 100 kali lipatnya.
Seorang kolektor lukisan dari Surabaya mengaku mendapat nomor urut ke 42 untuk memesan lukisan Nyoman Masriadi. Hebatnya lagi, ia tidak tahu kapan gilirannya tiba sebab Masriadi hanya melukis kala dia mau saja.
Jelas, gagasan brilian dibalik sebuah karya seni umumnya tidak berangkat dari ilmu Eksakta. Kuatnya penguasaan atas ilmu-ilmu sosial berdampak besar pada kualitas karya seni seseorang. Apa gunanya penguasaan teknik melukis yang hebat tanpa dilengkapi kerangka berpikir ilmu-ilmu non-eksakta ini? Karya yang dihasilkan pasti bertema itu-itu saja dan terasa tidak memiliki ‘roh’, seperti umumnya lukisan murah yang dijual di toko pigura atau pinggir jalan.
art123
Add Comment