Dipandu Prof. dr. Herman Sasongko sebagai moderator, Ina Liem membahas topik “Hidup dan Memimpin dalam Industri 4.0” di kampus Fakultas Teknik Mesin ITS, Surabaya pada 16 Oktober 2017 lalu.
Pembicara lainnya adalah ibu Hermione Sarengat, Presiden Komisaris General Electric Indonesia, yang bicara soal pentingnya Values di dunia kerja dan ibu Widyastuti dari kantor rektorat ITS yang melaporkan data profil alumni,
Dalam rangka Dies Natalis Teknik Mesin ITS yang ke 60, para dosen sepakat mengisinya dengan diskusi seputar perubahan di dunia industri dan bagaimana menyiapkan mahasiswa agar punya daya saing di era perubahan ini. Intinya, ada kebutuhan untuk mengubah kurikulum teknik mesin agar sesuai dengan kebutuhan abad 21 ini.
Secara khusus Ina Liem membawakan topik “Industri 4.0 – Yang Akan Kita Hadapi?” Pertama, dengan adanya tuntutan kemampuan berkolaborasi, komunikasi, adaptasi, etos kerja, dll., seleksi masuk yang hanya berbasis nilai rapor dan SBMPTN yang bersifat akademis tidak memadai. Profil kepribadian calon mahasiswa perlu dipahami dan diseleksi.
Apa jadinya jika banyak mahasiswa teknik dengan nilai akademis tinggi namun rendah di etos kerja, tidak mampu berkomunikasi dan bekerja sama, tidak nyaman dengan perubahan, dan hanya mau cari rasa aman. Industri 4.0 membuka peluang luar biasa bagi inovator di bidang STEM yang hanya bisa diraih dengan karakter pribadi tertentu. Itu sebabnya seleksi masuk perlu dipikirkan kembali.
Poin penting lainnya adalah metode pembelajaran di teknik mesin. Pada mata kuliah dengan tugas project misalnya, mahasiswa diminta merancang sebuah alat yang sudah ditentukan dosen, misalnya merancang alat penggilingan kelapa. Pertanyaannya, apakah alat seperti ini sungguh ada yang membutuhkan? Dari mana mereka tahu bahwa alat hasil rancangan mereka pasti bisa membawa solusi?
Untuk itu Ina Liem mengusulkan pendidikan Design Thinking ke dalam kurikulum keteknikan. Tujuannya agar apapun yang dikerjakan mahasiswa harus sungguh memberi solusi untuk masalah nyata di masyarakat. “Kirim mahasiswa ke komunitas pertanian di desa selama 1 atau 2 pekan. Dampingi petani setiap hari. Temukan dulu masalah terbesar mereka, pikirkan solusinya, baru rancang alatnya.”
Untuk itu, para dosen mesti disiapkan agar mereka lebih tanggap memfasilitasi cara belajar model ini. Sebuah fitur khusus dari cara bekerja di industri 4.0 adalah lintas disiplin. Dari dulu Internet untuk segala, akan muncul milyaran alat, termasuk mesin, yang terkoneksi dengan internet. Jadi, mahasiswa harus dibiasakan bekerja sama dengan mahasiswa jurusan lain.
Sebagai contoh, dalam mendesain dan membuat sebuah alat pertanian, mahasiswa teknik mesin bisa berkolaborasi dengan mahasiswa teknik elektro, teknologi komputer, dan teknik fisika sebab mesin yang dirancang akan menggunakan beberapa sensor untuk mengirim data sampai ke smartphone.
Agar orang tertarik, diperlukan kerja sama dengan mahasiswa Desain Produk agar tampilannya bukan saja menarik tapi juga mudah digunakan (mudah digunakan). Lantas, untuk branding dan marketing, mungkin mereka bisa mengajak mahasiswa universitas lain dari prodi Marketing & Manajemen Merek atau Humas. Temuan besar dan startup sukses umumnya lahir dari model kerja sama seperti ini.
Ina Liem berikan contoh e-Fishery, sebuah alat pemberi pakan ikan otomatis yang bisa mendeteksi kapan ikan lapar dan perilaku ikan lainnya. Keberhasilan e-Fishery berangkat dari kepedulian penggagasnya pada keluhan petambak ikan dan udang soal mahalnya pakan dan tenaga kerja.
Baca: Sukses Berbisnis Inovatif karena Perduli Masalah Orang Lain
Alat yang mampu menekan biaya operasional tambak ikan dan udang ini kemudian dibiayai Ideosource, perusahaan Venture Capital (modal ventura). Kini e-Fishery digunakan di ribuan tambak di beberapa negara dan setiap detik mengirim data penting bagi banyak pihak, termasuk pedagang ikan, perusahaan distribusi, pabrik pakan dan obat-obatan ikan, dll..
Bukan itu saja, pemakaian lab atau bengkel kerja di sebuah jurusan mestinya terbuka untuk mahasiswa jurusan lain sebab kelak projectnya bersifat multidisiplin ilmu. Tidak mustahil masyarakat umum bisa menggunakannya untuk proyek pribadi mereka. Dengan demikian, universitas akan menjadi pusat inovasi berbasis komunitas yang didukung riset.
Umumnya, kaum tua alias dosen senior tidak siap menerima perubahan. Tidak sedikit yang mengatakan “ah, apa yang kami ajarkan sudah sangat memadai. Tidak perlu berubah.” Namun di luar dugaan, seruan untuk berubah justru banyak datang dari para sesepuh dan profesor di Fakultas Teknik ITS, termasuk mantan rektornya, Prof. Triyogi Yuwono. Ini tentu merupakan pertanda yang sangat positif.
Semoga langkah awal menuju perubahan ini terus diikuti dengan tahapan aksi nyata agar bangsa ini bisa melahirkan solusi bagi ribuan persoalan yang dihadapi rakyat, terutama mereka yang tidak berdaya akibat rendahnya penguasaan teknologi.
Tambahkan komentar