Sayani adalah sepotong kisah perjalanan Ina Liem selama seminggu di New Zealand, dan kali ini ia bercerita tentang kota di ujung paling selatan, Dunedin. Semoga bermanfaat.
Memasuki kota Dunedin, langsung terasa nuansa yang berbeda dibanding kota-kota lain di New Zealand. Cuaca musim panas yang terasa di kota lain lenyap seketika begitu tiba di kota ini.
Bangunan-bangungan bergaya Gothic masih kental mewarnai kota yang berada di ujung bawah NZ ini. Warna hitam pun menjadi warna favorit dan ciri khas warga Dunedin. Bahkan kalau mau beli souvenir kaos bertuliskan DUNEDIN, Fontnya bergaya Gotik. Branding kotanya hebat banget nih, kompak.
Tidak hanya bangunan stasiun kereta yang dipertahankan sebagai cagar budaya. Bahkan universitas di kota ini pun bangunannya mirip Hogwarts di film Harry Potter. Otago University sebagai satu-satunya universitas di Dunedin adalah universitas tertua di New Zealand. Seperti umumnya di negara lain, universitas tertua sering dianggap pula sebagai universitas terbaik, dan biasanya Fakultas Kedokteran menjadi ciri khasnya.
Benar dugaan saya, ternyata memang Fakultas Kedokteran terkenal di Otago ini. Hanya ada 2 universitas di NZ yang menawarkan program Kedokteran, yaitu Otago dan University of Auckland. Sangat sedikit terhubung, jumlah mahasiswa yang bisa ditampung pun terbatas, khususnya bagi mahasiswa internasional. Sebagai gambaran, di Otago kuota yang tersedia bagi mahasiswa internasional untuk jurusan Kedokteran hanya sekitar 5 orang setiap tahunnya. Mustahil diterima… or challenging?
Selain Kedokteran, tentunya yang nyerempet-nyerempet seputar Science boleh dipertimbangkan nih di Otago. Sambil jalan-jalan di pasar pagi di stasiun kereta, kami dipertemukan dengan 3 mahasiswi Indonesia yang sedang kuliah Food Science di Otago, Angie, Vania, dan Adys dari Medan dan dari Jakarta.
Saat saya berkunjung, hanya ada 19 mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Otago, 10 di antaranya mahasiswa S1. Karena tidak banyak mahasiswa Indonesia di sana, bahasa Inggris jadi lebih cepat fasih.
Uniknya, meskipun letaknya di ujung dunia dekat Antartika (Kutub Selatan), di sini malah ada pertunjukan gamelan tiap tahun yang dipimpin oleh Ki Joko Susilo, dan pengunjungnya selalu full. Bahkan Dina, mahasiswa S3 Tourism di Otago pernah bertemu seorang pengunjung yang khusus datang dari Australia karena nge-fans berat dengan Dr Joko Susilo, lulusan Ethnomusicology dari Otago ini. Hmm… jadi kepikiran, generasi muda kita masih ada gak ya yang tertarik belajar atau nonton gamelan? Atau akan kita biarkan saja orang asing yang jadi ahlinya?
Setelah mengunjungi universitas, saya dengan 3 jurnalis lain dari Indonesia (Jakarta Post, Student Globe dan High End Teen), naik bis menuju ke Orokonui Ecosanctuary, sementara grup dari Malaysia lebih memilih shopping di pusat kota.
Dalam perjalanan, saya ngobrol dengan Dina, penerima beasiswa NZAS. Sebelum ke NZ, Dina bekerja di UNESCO, salah satu badan di bawah PBB. Karena hobi menyelam, Dina punya perhatian khusus terhadap Raja Ampat di Papua dan memutuskan untuk meneliti keterlibatan ‘indigenous people’ (penduduk asli) di daerah tersebut sebagai topik penelitian doktoralnya. Di UNESCO juga ada satu unit yang khusus menangani Raja Ampat. Jadi setelah menyelesaikan PhD, Dina rencananya ingin kembali bekerja di UNESCO dan ingin ditempatkan di unit Raja Ampat tersebut.
Begitu tiba di Orokonui, kami disambut oleh Sue, menyanyikan pemandu wisata. Kami dipersilakan duduk dan Sue berpidato dulu dalam bahasa Maori yang sama sekali tidak kami mengerti. Dina kemudian menjelaskan bahwa inilah contoh melibatkan kearifan lokal dalam tourism, sehingga tidak punah. Pas banget ya Dina kuliah di sini, sekalian melihat langsung ‘best practice’ yang sudah dijalankan di NZ dalam melibatkan kearifan lokal suku Maori.
Kenapa memilih Otago? Mudah, jawab Dina, karena Otago adalah salah satu universitas pertama di dunia yang menawarkan program PhD in Tourism. Selain itu, saat menghubungi Otago mencari dosen pembimbing, Dina langsung mendapat jawaban dari sang profesor keesokan harinya.
Saya jadi ingin kuliah d otago min, tapi saya kurang tau berkas” yang saya butuhkan untuk kuliah di sana
Infonya saya kirim via email saja ya.
Mimpi besar saya min untuk bisa lanjut S2 dijurusan food science.. mohon info scholarshipnya min. terima kasih
Silakan buka http://www.scholarshipvoach.org. Semoga sukses.
Saya jatuh cinta dengan Universitas Otago. Tapi basic S1 saya adalah Teknik Elketro apakah di Otago jurusan ini ada Min untuk lanjut S2? klo tdk ada apakah Otago memungkinkan untuk kuliah S2 dengan basic S1 yg berbeda. Thanks infonya.
Tergantung apa bidang yang mau diambil.
Bisa langsung kirimkan pertanyaan ke victoria.mceniery@otago.ac.nz
Thanks Admin atas balasannya, setelah setahun baru saya kembali menemukan artikel ini dan mendapat balasan nya disaat saya sedang memulai lagi pencarian info untuk Otago University. Akan saya hubungi email yang diberikan. Terima kasih banyak.
Halo admin..Boleh dibantu info contact email mba Dina, saya berencana untuk melanjutkan program doktoral tourism juga,trim
Coba kontak Silabhakta Livirya di http://www.ousa.org.nz/recreation/clubs/club-details/62/
saya berencana s3 teknik industri di otago, mohon informasinya, tks.
Untuk S3 mesti cari dosen sponsor untuk pembimbing disertasi. Langsung ke website Otago saja.
Min saya berniat ambil Master of Education di Otago. Jika tidak keberatan mohon jelaskan ttg jurusan tersebut dan apa saja yg perlu saya persiapkan. Terima kasih
Infonya bisa dibaca di http://www.otago.ac.nz/courses/qualifications/med.html#subjects.
boleh minta info untuk program masternya ada apa aja?
terima kasih
Check saja websitenya.
Admin, apakah bisa dari studi D4 Teknologi lab medik melanjutkan ke S2 laboratory medical science di otago?
Karna ada bbrp univ yg bisa langsung mlnjtkn ke s2 dan ada yg tidak
Tiap universitas punya policy sendiri. Silakan kontak Representativenya.