(Artikel ini adalah lanjutan dari artikel “Kawah Candradimuka Bagi Profesional Audio” yang terbit di Kompas Klass, Jumat 20 September, 2013. Di sini Ina Liem mengungkapkan besarnya peluang karir di bidang ini seiring perkembangan tren musik di tanah air)
Suntuk hidup 20 tahun terakhir, pertunjukan musik berskala besar di Indonesia semakin marak.
Dunia dunia pertunjukan makin menjadi-jadi. Tak terhitung artis mancanegara yang telah hadir di panggung Tanah Air.
Tidak hanya artis dan musisi mancanegara yang meramaikan dunia pertunjukan hidup di Tanah Air. Artis dan grup band dalam negeri pun semakin digandrungi para penikmat musik. Kalau menilik jumlah penyanyi maupun musisi lalu dikalikan dengan berapa kali mereka tampil di depan publik, kita akan sampai pada hitungan ribuan konser musik dalam setahun.
Semakin ramainya dunia hiburan di dalam negeri mendorong para pelaku bisnis di bidang ini melakukan investasi besar-besaran, khususnya di perlengkapan audio yang nilainya bisa puluhan miliar rupiah. Untuk ukuran perlengkapan tata suara, ini bukan investasi main-main. Perlengkapan mahal ini tentunya memerlukan tenaga audio andal yang tidak hanya memiliki pengalaman, tetapi juga pengetahuan konseptual di bidangnya.
Perkembangan industri Live music di Indonesia ini otomatis mengangkat permintaan akan tenaga insinyur audio. Namun, sampai saat ini kebanyakan insinyur audio kita bukan lulusan pendidikan formal. Sebagian besar adalah autodidak. Dipahami, lembaga pendidikan yang menawarkan keahlian ini baru muncul beberapa tahun belakangan. Selain jumlahnya sangat sedikit, kurikulumnya pun masih mengadopsi program dari luar negeri.
Karena mungkin peluang kariernya lebih besar dibandingkan dengan bidang rekaman studio atau bidang lainnya, bidang suara hidup menjadi spesialisasi favorit di kalangan insinyur audio. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian besar mahasiswa Akademi JMC memilih spesialisasi pertunjukan hidup dibanding bekerja di studio rekaman ataupun membuat suara untuk film, televisi, atau permainan.
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa suara hidup itu sendiri punya rentang skala yang luas mulai dari konferensi, pertunjukan band di pub, festival musik, hingga konser-konser akbar. Mahasiswa JMC dibekali ilmu untuk mampu menangani berbagai skala ini. Meskipun demikian, karena luasnya spesialisasi ini, sangat disarankan agar mahasiswa mulai memikirkan akan fokus ke area mana nantinya. Bisnis pertunjukan yang serba sempurna memang menuntut keahlian spesialis yang tidak setengah-setengah.
Di JMC, kebutuhan untuk menjadi spesialis seperti ini mudah dicarikan solusinya. Berhubung JMC sendiri memiliki jurusan Contemporary Music Performance, mahasiswa rekayasa audio sering bekerja sama dengan mahasiswa jurusan pertunjukan saat mereka manggung, baik di dalam maupun luar kampus. Kerja tim yang dimulai sejak bangku kuliah ini sering kali berlanjut menjadi kolaborasi profesional di dunia kerja setelah mereka lulus.
Kesempatan praktik tidak hanya terbatas mendampingi sesama mahasiswa JMC. Karena memiliki hubungan erat dengan industri musik, JMC sering diminta mengirimkan mahasiswanya untuk menangani konser-konser setempat. Setiap bulan, selalu ada permintaan seperti ini. Selain itu, selama musim panas, di Australia sering diadakan festival musik. Kru Siap Dipanggil adalah salah satu perusahaan yang banyak merekrut mahasiswa JMC untuk terlibat dalam festival musik musim panas tersebut.
Perempuan mulai berperan
Perlengkapan elektronik yang rumit dan berat memang masih banyak dikaitkan dengan pekerjaan pria. Di luar negeri pun jumlah wanita yang sehat masih sangat sedikit. Angkanya masih di kisaran 5 persen. Namun, perlahan tapi pasti, jumlah ini terus bertambah dan mulai mengubah wajah karier rekayasa audio. Tren ini juga tampak di JMC yang selalu menerima perempuan di tiap angkatan.
Memang, beberapa penonton konser masih sering terkejut kalau mengetahui bahwa teknisi suara-nya ternyata perempuan. Ada yang memberi apresiasi, tetapi ada juga yang mencibir, seolah-olah itu hanya pemanis saja. Tetapi, melalui kerja keras dan sikap profesional, akhirnya publik akan menaruh respek, terlebih bila mengetahui bahwa ini bukan pekerjaan sepele.
Di dunia tata suara, sebetulnya perempuan memiliki beberapa kelebihan alami yang tidak dimiliki pria. Sebuah penelitian membuktikan, perempuan memiliki kepekaan berbeda dalam frekuensi suara. Pada usia 30–60 tahun, kepekaan pria pada frekuensi tinggi menurun lebih cepat dibanding pada perempuan. Sementara itu, perempuan mengalami penurunan kepekaan di frekuensi rendah pada usia tua (60–90 tahun). Riset lain mendapati, di usia 35 tahun, sensitivitas pendengaran pria turun 11 dB, sedangkan perempuan hanya 5 dB di usia yang sama. Tiap jenis musik tentu mensyaratkan kepekaan di frekuensi yang berlainan. Jadi, selalu ada tempat bagi wanita yang sehat.
Bidang hiburan adalah dunia yang sangat dinamis, tempat bertemunya orang-orang kreatif pekerja keras. Mereka sangat berorientasi pada hasil sehingga tempat dan jam kerja bisa sangat fleksibel dan panjang. Karena itu, dibutuhkan lebih dari sekadar kemampuan konseptual dan keterampilan teknis.
Selain kreativitas dan kemampuan penyelesaian masalah, keterampilan berkomunikasi dan keluwesan bekerja sama sangat menentukan sukses seseorang. Profesional di bidang rekayasa audio pun tak bisa menghindar dari persyaratan ini. Namun, dengan program dan fasilitas pelatihan yang tepat, idealnya pengalaman selama belajar di kampus bisa menjadi bekal di dunia kerja kelak.
Ina Liem
Author and CEO JURUSANKU
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Artikel tentang AUDIO ENGINEERING lainnya:
musik123
Tambahkan komentar