(Berikut ini adalah tulisan Ina Liem di Kompas KLASS, Jumat 24 April 2015 tentang jurusan Kehutanan di Selandia Baru sepanjang dua halaman. Artikel ini adalah halaman pertama. Bagian kedua bisa dibaca di Memanfaatkan Hutan Secara Bertanggung Jawab. Selamat membaca.)
Sayandonesia tercatat sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tercepat. Tentu ini bukan prestasi membanggakan.
Bahkan, bintang film Hollywood Harrison Ford membuat film Bertahun-Tahun Hidup dalam Bahaya yang memaparkan fakta memalukan tentang perusakan hutan dan lingkungan di Tanah Air.
Dengan luas hutan tropis ketiga terbesar setelah Brasil dan Kongo, Indonesia menjadi salah satu “paru-paru” penting dunia. Karena itu, bisa dimengerti mengapa mata dunia tertuju ke Indonesia dan berharap kita dapat terus memberi napas bagi warga di muka bumi.
Bukan semata untuk urusan napas karena mampu memproduksi oksigen, hutan juga punya peran penting dalam menjaga ekosistem. Berkurangnya hutan berdampak pula pada berkurangnya cadangan makanan bagi manusia, ancaman pemanasan global, dan meningkatnya risiko bencana. Untuk itu, diperlukan kepedulian maksimal dari kita semua.
Namun, mengacu survei Jurusanku tahun 2013–2014, dari 9.949 siswa SMA swasta di 13 kota yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, yang berminat mengambil studi Kehutanan hanya 4 orang atau 0,04 persen. Seorang siswi SMA Al Azhar 4 Bekasi tertarik pada jurusan ini, tetapi kemudian ragu sebab beberapa berkomentar, “Saat kamu lulus, hutan kita sudah habis, jadi mau kerja di mana?”
Komentar skeptis seperti ini perlu diluruskan. Hal tersebut lantaran bagi yang punya kepedulian dan ingin terlibat menjaga kelestarian hutan dan lingkungan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan bumi ini, sekaranglah saatnya belajar lebih dalam tentang kehutanan.
Tidak, studi kehutanan sulit dipisahkan dari Selandia Baru. Kepedulian negara tersebut terhadap lingkungan patut diacungi jempol. Saat berada di sana atas undangan Education New Zealand baru-baru ini, penulis sempat mengunjungi Orokonui Ecosanctuary, pagar sepanjang 9 kilometer yang dibangun pemerintah mengelilingi sebuah hutan demi melindungi burung-burung yang hampir punah.
Kawat untuk pagarnya bukan sembarang kawat yang mudah dibengkokkan hewan-hewan pemakan burung. Kawat ditanam hingga melengkung di bawah tanah sehingga hewan pengerat tidak bisa masuk meskipun menggali tanah. Pintu masuknya bak gerbang berpintu ganda di kedutaan besar. Pintu kedua hanya bisa dibuka setelah pintu pertama ditutup.
Karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap kelestarian alam dan hutan, studi kehutanan di negeri ini layak dijadikan prioritas. Salah satu tempat terbaik untuk ini adalah University of Canterbury di Christchurch.
Selandia Baru
Selandia Baru pernah mengalami penebangan hutan besar-besaran oleh para imigran dari Eropa. Seorang tokoh kehutanan Thomas William Adams banyak meneliti dan bereksperimen dengan aneka spesies pohon sejak 1868. Lalu pemerintah menanam pinus ratiata hasil penelitian Adams. Salah satu hasilnya adalah Kaingaroa Forest, hutan buatan terbesar di dunia saat itu dengan luas 188.000 hektare.
Adams yang aktif di bidang pendidikan kemudian menjadi Governor of Canterbury College, sekarang University of Canterbury, sejak 1897 hingga wafat. Warisan Adams berupa 40 hektare tanah digunakan untuk School of Forestry yang berdiri pada 1924.
Hingga saat ini, Universitas Canterbury (universitas) menjadi satu-satunya universitas di Selandia Baru yang menawarkan jurusan Kehutanan. Spesialisasi di dalamnya meliputi rekayasa kehutanan, ilmu kayu, pengelolaan hutan, ilmu kehutanan, pemasaran dan keuangan hutan, perdagangan dan pengelolaan konservasi.
Jurusan Kehutanan di UC ditawarkan mulai jenjang S-1 hingga S-3. Lokasi UC yang dekat dengan hutan, baik hutan alam maupun hutan buatan, sangat kondusif bagi mahasiswa Kehutanan. UC bahkan memiliki beberapa stasiun lapangan dari Barat Daya, Kaikoura, dan Westport yang digunakan untuk praktik dan penelitian kehutanan.
Karena karakter hutan berlainan, School of Forestry di UC bekerja sama dengan the University of British Columbia di Kanada dan Virginia Polytechnic Institute and State University yang lebih dikenal dengan Virginia Tech di Amerika Serikat. Lewat program pertukaran, mahasiswa UC bisa menjalani 1 hingga 2 semester studinya di kedua universitas tersebut untuk mendapatkan wawasan kehutanan di 3 negara sekaligus.
“Ilmu Kehutanan”
Pada tahun pertama, program Sarjana Ilmu Kehutanan, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah hubungan manusia dengan hutan melalui mata kuliah Trees, Hutan dan Lingkungan. Mereka mempelajari berbagai klasifikasi pohon, lokasi hutan di dunia, perubahan iklim, peran hutan sebagai rumah bagi tanaman dan hewan, tempat konservasi tanah, air dan biodiversitas, dan tempat rekreasi.
Di jurusan ini, setiap tahun selalu ada karyawisata. Pada tahun pertama, mahasiswa diajak ke Hanmer Springs. Di tahun kedua, mahasiswa berkunjung ke Harihari atau Boyle River, dan ada karyawisata ke Oxford di North Canterbury. Pada tahun ketiga, mahasiswa mengunjungi St Arnaud. Karyawisata tahun keempat biasanya ke North Island atau South Island tergantung studi kasusnya.
Kemudian pada tahun kedua, mahasiswa Bachelor of Forestry Science belajar Silviculture, yaitu praktik pengendalian penetapan lahan, pertumbuhan, komposisi, kesehatan dan kualitas hutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Berbagai teknik statistik juga diajarkan sebagai bekal dalam analisa dan pemecahan masalah berbasis data nyata.
Pada tahun ketiga, ada mata kuliah Wood Science yang mempelajari anatomi berbagai spesies kayu. Kemudian ada pengenalan proses produksi, mulai pemotongan hingga ke produk jadi yang sangat bervariasi, mulai kayu solid hingga kertas yang melibatkan proses pengeringan di dalamnya.
Ada pula materi soal penggunaan kayu untuk sumber energi dengan memanfaatkan berbagai teknologi untuk mengubah kayu bakar padat menjadi bahan bakar cair atau gas (bahan bakar cair atau gas).
Untuk kebutuhan ini, mahasiswa mengunjungi beberapa industri untuk melihat langsung seberapa besar praktik di lapangan sesuai dengan teori di kampus. Mereka mengamati proses kayu di pabrik, lalu membandingkan peralatan dan performanya dengan pilihan teknologi baru yang dibahas di perkuliahan. Semua tempat ini berada dalam radius 7 kilometer dari kampus.
Pada tahun keempat, mahasiswa diberi studi kasus di bidang manajemen hutan. Mereka berperan sebagai konsultan yang diminta menganalisa informasi melalui riset pasar, dan mengajukan rekomendasi untuk pengambilan keputusan bagi klien.
Sebagai syarat persetujuan, mereka harus magang selama sedikitnya 90 hari, termasuk 30 hari melakukan pekerjaan-pekerjaan manual, seperti operasional hutan dan pemrosesan kayu, dan 30 hari pekerjaan profesional seperti perencanaan hutan, investigasi, perencanaan produksi dan pengendaliannya.
Bagian kedua dari artikel ini bisa dibaca di
Pemanfaatan Hutan Secara Bertanggung Jawab
Ina Liem
Authir and CEO Jurusanku
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Lingkaran cahaya, bagaimana dengan ilmu lingkungan atau teknik lingkungan? Apa ada hubungannya? Dan apa perbedaan kedua itu?
Bidang studi lingkungan membahas aneka lingkungan, bukan sekedar hutan. Tentang ilmunya dan perbedaan antara yang science dan engineering, silakan baca di infoletter.jurusanku.com. Pilih edisi Teknik Lingkungan. Selamat menjelajah.