Tidak semua kasus salah jurusan harus diakhiri dengan pindah jurusan. Salah satu pertimbangannya adalah transferable skills, yakni kemampuan yang diajarkan di ‘jurusan salah’ yang bisa diaplikasikan di bidang yang diminati.
Sebagai contoh, mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) sadar melukis lebih pas baginya. Dia mungkin tak perlu pindah jurusan selama ia bisa memanfaatkan kemampuan yang diperoleh di DKV untuk bidang seni lukis yang ingin digelutinya seperti Teori warna dan Komposisi.
Tentu saja ada yang tidak diajarkan di DKV, misalnya Teknik Melukis, Sejarah Seni, Filsafat Keindahan, dll.Hal-hal seperti ini bisa dipelajari sambil jalan. Banyak pelukis belajar banyak lewat komunitas lulusan jurusan Seni Rupa.
Ada seorang Arsitek malah terkenal sebagai Fashion Designer khusus kain tenun. Ada benang merah yang menghubungkan skills dan pola pikir Arsitektur yang membantunya “diberdayakan” di bidang fashion, terutama pemahaman Design Thinking yang lazim diberikan di jurusan desain dan arsitektur.
Masalahnya adalah bila jurusan yang dipilih terbukti sangat bertentangan dengan minat atau passion dan bahkan tak sesuai profil kecerdasannya. Ia bisa saja lulus dengan nilai baik, namun yang pasti di bidang ini ia tak akan ‘happy’ sehingga apapun yang dikerjakannya tidak maksimal. Banyak kemampuan terpendam yang tak sempat dieksplorasi.
Untuk kasus seperti ini, kalau waktu dan biaya bukan masalah besar, sebaiknya ia pindah jurusan. Tidak ada gunanya mempelajari sesuatu sementara ‘hati’ kami di bidang lain.