(Artikel di bawah ini adalah bagian kedua dari tulisan INA LIEM tentang jurusan Manajemen Bencana (Magister Manajemen Bencana) di Universitas Copenhagen, Denmark, yang terbit di KELAS Kompas rubrik #edukasi Jumat 27 Juni 2014.)
Karena sifatnya yang multidispliner, program ini relevan bagi sarjana berbagai disiplin ilmu, seperti dokter, sarjana teknik berbagai bidang termasuk arsitek, psikolog, anggota militer, peneliti sosial, perawat, ahli logistik, perencana pembangunan, relawan, dan terutama para pengambil keputusan yang cakupan tugasnya terkait manajemen bencana.
Dyah Rusmiasih, alumnus program Disaster Management dari Universitas Kopenhagen, adalah seorang staf di Kementerian Kesehatan di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan. Bagi lulusan 2010 ini, program Disaster Management memang sangat relevan dengan bidang pekerjaannya selaku abdi negara yang banyak berurusan dengan bencana.
Agar ilmunya relevan dengan kondisi di Tanah Air, program karyawisata-nya dijalani di sebuah rumah sakit di Indonesia. Saat itu, gempa Padang baru usai. Pemahamannya di bidang ini memungkinkan Dyah menyumbangkan gagasan pada manajemen rumah sakit, khususnya untuk mengurangi dampak bencana yang akan datang.
Teori saja tentu tidak cukup. Selama perkuliahan, studi kasus termasuk salah satu kegiatan utama program ini. Selain kasus-kasus klasik seperti bencana di Katrina, Haiti, Pakistan, Fukushima, pohon cedar, dan Nargis, kasus-kasus baru pun dipelajari sesuai kebutuhan dan relevansinya.
Meskipun berbagai kasus yang dibahas bisa diambil dari negara mana saja, tendensinya mengarah ke negara-negara berpendapatan rendah sebab parahnya dampak bencana sering kali akibat rentannya komunitas korban bencana seperti di Banglades, Turki, kekayaan, dan Venezuela.
Memilih kasus sendiri
Menarik, mahasiswa bisa memilih sendiri kasus untuk pembahasan dalam kelompoknya, dengan persetujuan dosen tentunya. Jadi, topiknya bisa disesuaikan dengan latar belakang profesi atau tantangan di tempat kerja mereka kelak.
Bagi mahasiswa Indonesia, ini tidak sulit. Beberapa bencana besar seperti tsunami Aceh, semburan lumpur Sidoarjo, atau gempa Yogyakarta bisa jadi kasus inspiratif. Dilihat dari jenis bencana alamnya, khususnya bencana geologis seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan gelombang tsunami, Indonesia layak disebut laboratorium bencana alam.
Namun, mengingat, program ini bukan untuk “pemuja” kenyamanan. Selain memiliki komitmen untuk berkontribusi demi dunia yang lebih baik, mereka harus mampu bekerja di bawah situasi kacau balau (kacau), membuat stres, dan serba darurat.
Segala bentuk keterbatasan adalah hal lumrah, seperti jumlah toilet, makanan, dan minuman. Tempat tidur pun ala kadarnya. Bukan itu saja, kondisi di lapangan sering kali melelahkan serta membuat frustrasi, marah, atau stres, tidak hanya di kalangan korban, tapi juga di antara tim penanganan bencana itu sendiri.
Tantangan besar
Setelah bencana, tantangan utamanya adalah mengoordinasi upaya Pencarian dan Penyelamatan (SAR). Banyak negara tidak mampu melakukannya dengan efisien dan tepat waktu karena lemahnya koordinasi. Tak heran kalau Dyah percaya bekal dari Magister Manajemen Bencana bisa sangat membantu mengurai sebagian keruwetan ini.
Sebelum letusan Gunung Sengeangapi di Nusa Tenggara Barat belum lama ini, sekitar 10 ribu warga siap diungsikan ke wilayah aman. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) harus berkoordinasi dengan TNI, Satpol PP, relawan, dan berbagai elemen masyarakat untuk menyiapkan langkah-langkah evakuasi berikut logistik untuk tempat tinggal pengungsi. Kelemahan dalam koordinasi bisa berdampak buruk.
Tantangan lainnya adalah membangun kemampuan bertahan di masyarakat dan melakukan tindakan pengurangan risiko untuk membatasi dampak bencana serupa di masa depan. Seringkali hal ini tidak mudah karena berkaitan dengan budaya lokal. Ini pula yang jadi alasan mengapa Dyah menaruh fokus pada upaya pengurangan dampak bencana atau Risk Reduction.
Di banyak negara, menumbuhkan budaya sadar bencana terbukti tidak mudah. Sikap “pasrah” terhadap bencana adalah sebagian gambaran persoalan ini. Ada lagi sikap masyarakat yang menganggap enteng. Sebagai contoh, latihan respons terhadap peringatan dini tidak dilaksanakan. Bahkan, sirene peringatan dini terhadap bencana yang dipasang di banyak tempat malah dimatikan.
Kurangnya sumber daya manusia di bidang ini tak lepas dari anggapan bahwa lapangan kerjanya tak banyak tersedia. Padahal lulusan Disaster Management bisa berkiprah di berbagai lembaga. Beberapa badan di bawah PBB seperti OCHA, SIAPA, IOM, dan UNDP, atau organisasi kemanusiaan, baik di tingkat nasional maupun internasional seperti The Red Cross and Red Crescent Movement hanyalah beberapa di antara institusi yang memerlukan mereka.
Ahli di bidang Disaster Management dengan berbagai spesialisasi juga bisa berkontribusi di lembaga konsultan independen, lembaga pemerintah, lembaga penelitian kebencanaan atau kemanusiaan, atau sebagai akademisi di universitas.
Peran ahli manajemen bencana utamanya adalah menyiapkan warga menghadapi bencana. Orang pertama yang harus menghadapi bencana adalah komunitas di daerah terdampak. Karena itu, misi utama lembaga-lembaga pemberi bantuan adalah membentuk persiapan berbasis komunitas.
Sebagai ilustrasi, kita punya 127 gunung berapi aktif yang dihuni sekitar 4 juta jiwa. Setiap saat, keselamatan jutaan orang bergantung pada kemampuan memperkecil risiko dan memulihkan keadaan pasca bencana. Peran tenaga ahli sangat penting demi keselamatan mereka.
Pertemuan ahli bencana di Surabaya awal Juni 2014 lalu menyerukan agar pengendalian bencana menjadi salah satu komitmen jangka panjang para calon presiden. Alasannya jelas, membangun ketahanan masyarakat tidak cukup lima atau sepuluh tahun. Karena perlindungan warga adalah hak asasi yang harus ditegakkan, tampaknya keahlian manajemen bencana sudah menjadi kebutuhan mendesak.
Bagian pertama artikel ini bisa dibaca di sini.
Ina Liem
Penulis dan CEO Jurusanku.com
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Tambahkan komentar