(Kali ini INA LIEM mengulas jurusan Peace and Conflict Studies di sebuah universitas milik PBB di Costa Rica. Artikel ini terbit di KELAS Kompas, Jumat 18 Juli 2014. Ini adalah bagian pertama. Bagian kedua bisa dibaca disini)
Hidup berdampingan dengan sesama tak luput dari konflik. Di keluarga, sekolah, tempat kerja, hingga hubungan antarbangsa, perbedaan kepentingan, pendapat, atau keinginan selalu dapat dijumpai.
Memang tidak semua konflik negatif, tetapi yang jadi masalah adalah ketika perbedaan berujung pada niat untuk saling meminggirkan, menyakiti, bahkan membinasakan. Di tahap inilah diperlukan tindakan resolusi konflik sebab selalu ada solusi yang lebih baik daripada kekerasan.
Sejalan dengan misi menjaga perdamaian dunia, pada 1980, PBB mendirikan United Nations University for Peace (UPeace). Universitas di Kosta Rika, Amerika Tengah ini memanggul misi utama untuk mencetak tenaga profesional di bidang pengelolaan konflik, baik yang berskala lokal maupun internasional.
Salah satu program yang ditawarkan adalah Master of Arts in Peace Studies yang ditempuh dalam setahun. Menariknya, program master ini bersifat terapan (applied), jadi mahasiswa tidak hanya berkutat dengan teori, studi kasus, dan riset. Banyak pelatihan praktis diajarkan untuk menghadapi situasi konflik dan berpartisipasi dalam upaya perdamaian, baik sebelum, selama, maupun pasca konflik.
Setidaknya ada empat spesialisasi yakni Peace Education, Media, Peace and Conflict Studies, Gender and Peace Building, dan International Peace Studies.
Semua mahasiswa harus menguasai mata kuliah dasar yang sama, seperti Foundation in Peace and Conflict Studies. Berbagai istilah penting dijabarkan, misalnya istilah “konflik”, “kekerasan struktural”, atau “kekerasan kultural”. Mereka juga dibekali teori di balik prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Landasan teoritis lain adalah Research Methodology. Sulit menangani sebuah konflik tanpa meneliti latar belakangnya secara mendalam. Ada konflik yang sekilas berunsur SARA, tapi jika diteliti lebih dalam mungkin akar persoalannya adalah masalah lain yang terjadi jauh sebelumnya. Riset bisa memudahkan pihak terkait menemukan solusinya.
Rektor UPeace Francisco Rojas menghendaki tiap mahasiswa mempunyai bekal untuk melakukan perundingan perdamaian. Oleh karena itu, selain teori, mahasiswa belajar hal praktis seperti Komunikasi Tanpa Kekerasan (non-violent communication), sementara materi terapan lainnya adalah Negosiasi dan Alternatif Penyelesaian Konflik.
Sejak dini
Sulit dimungkiri bahwa upaya perdamaian harus dimulai sejak usia kanak-kanak. Oleh karena itu, UPeace menawarkan spesialisasi Peace Education. Salah satu putra Indonesia lulusan program ini adalah Dody Wibowo.
Lulusan 2006 ini kini mengajar program Master of Applied Conflict Transformation Studies di Kamboja. Para mahasiswanya adalah para praktisi perdamaian di kawasan Asia Pasifik.
Bagi Dody, kuliah di UPeace sangat menarik karena tiap mata kuliah memang dirancang untuk memberi dampak kepada mahasiswa, tidak hanya menambah ilmu maupun membuka wawasan, tetapi juga membangun karakter mereka.
“Yang lebih menarik bagi saya sebenarnya adalah para pengajarnya yang beragam. Saya punya pengajar dari Sierra Leone, Kroasia, Israel, Palestina, Mesir, Argentina, Brasil, Filipina, Malaysia, dan Uganda. Keberagaman latar belakang para dosen ini mengajarkan perdamaian dari beragam sudut pandang.”
Manfaatnya jelas, mahasiswa belajar memahami dan menghargai keberagaman. Karena tiap konteks itu punya masalahnya masing-masing, tiap konflik harus dipahami menurut konteksnya untuk menemukan strategi penyelesaian terbaik.
Bagi Dody yang pernah bekerja di Aceh, Maluku Utara, Sumatera Barat, dan Papua, metode belajar di sana juga sangat menyenangkan. Di samping kuliah di kelas, ada kunjungan lapangan dan praktik di masyarakat. Di dalam kelas pun para pengajar menerapkan metode bervariasi, seperti menggunakan drama, mengadakan simulasi dan membuat karya seni.
Dalam mata kuliah Cultures and Learning: from Violence towards Peace, Dody yang pernah jadi peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada ini belajar mengenai dampak kekerasan serta cara menghadapi dan menghentikannya.
Merancang kegiatan pendidikan perdamaian baik dalam konteks formal, informal, maupun nonformal dipelajari pada mata kuliah Peace Education: Strategies for Life and Action. Berbekal ilmu ini, Dody dan tim pernah menjalankan program pemberdayaan masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, menyiapkan kemampuan anak-anak, guru sekolah, dan ibu rumah tangga demi perdamaian.
Menurut Dody, hingga kini, pendidikan perdamaian di Indonesia masih kurang karena sekolah masih berorientasi pada hasil, yaitu nilai akademik tinggi. Masyarakat umum, bahkan banyak guru, masih menganggap membentuk karakter itu urusan mata pelajaran kewarganegaraan dan agama.
Sayangnya penerapan kedua mata pelajaran ini masih bersifat hafalan. Murid tidak dilatih untuk menghidupi nilai-nilai damai. Padahal, pendidikan karakter bisa diintegrasikan dalam mata pelajaran apapun asal menguasai prinsip dan aplikasinya. Berbekal pengetahuan dan pelatihan di UPeace, Dody bersama para guru sekolah dan masyarakat merancang kegiatan pendidikan damai yang sesuai konteks masing-masing.
Bekal bagi penggiat perdamaian
Pilihan lain yang menarik adalah Gender And Peace Building. Calon mahasiswa boleh dari jurusan apa saja, tapi mereka harus mempunyai minat kuat dalam isu-isu jender dan konflik. Ini bisa dilihat dari kegiatan dan keterlibatan sosial atau pekerjaan yang mereka geluti.
Spesialisasi berikutnya adalah International Peace Studies. Para lulusannya dibekali pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk bekerja di organisasi internasional, baik pemerintahan maupun lembaga independen.
Bekal ilmu dari UPeace juga relevan untuk dunia industri. Menurut Novri Susan, alumnus UPeace 2008 yang kini bermukim di Surabaya, kalau seorang ilmuwan sosial bisa menerapkan hasil telaah lapangannya, ia akan menjadi pemimpin andal sebab bisa menjadi aktor yang mampu bertindak atas dasar kaidah yang ilmiah.
Penulis buku Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer ini menyinggung banyaknya perusahaan yang tersentak setelah konflik meledak dan mengancam investasi besar mereka. Ini tak perlu terjadi kalau sejak awal ada penilaian mengenai peta kepentingan atas sumber daya di sana, sehingga program “early warning and response system” bisa disiapkan sebagai upaya preventif.
Ina Liem
Penulis dan CEO Jurusanku.com
@InaLiem
@kompasklass #edukasi
Tambahkan komentar