SEORANG pasien minta memenuhi di luar jadwal. Ibu sederhana itu datang dengan ditemani putrinya, duduk tertunduk. "Ini tentang anakku, Dokter,” ujarnya lirih.
Lama dia menerangkan prestasi akademis cemedang putrinya. "Membantu, Dokter, bantu anak saya agar bisa masuk Fakultas Kedokteran Unair. Masuk kedokteran tidak mudah untuk orang biasa seperti saya. Saya bukan dokter,” ucap dia. Saya terdiam, tidak siap dengan jawaban. Sorot mata penuh harap sang ibu sungguh mengusik nurani.
“Mengapa putri Ibu ingin jadi dokter? Pikirkanlah kembali, Ini, saya sendiri tidak menganjurkan anak saya jadi dokter. Dokter itu profesi yang teramat berat," Saya bilang. Lalu, aku jelaskan, ada tanggungjawab profesi, keilmuan, dan keterampilan. Setiap kata dan tindakan dokter tidak pemah lepas dari batasan etika, moral, dan tanggung jawab hukum. Tidak ada profesi yang mempunyai tanggung jawab sebesar itu.
Dokter itu profesi yang amat mulia. Tapi, di tangan yang salah, profesi itu bisa menjadi amat kejam. “Godaannya banyak, Ini. Kita tak bisa menghindar dari pertanggungjawaban Allah. Menurut saya, masuk FK dengan cara titipan itu tidak baik. Saya tidak akan melakukan hal seperti itu bahkan untuk anak saya sendiri,” ujar saya.
Dialog saya tutup dengan kalimat, “Saya bukan siapa-siapa, Ini, hanya dosen biasa, tidak punya kuasa memasukkan mahasiswa ke FK Unair.” Tetapi, dengan ngotot sang ibu menyerahkan nama dan nomor ujian putrinya kepada saya. Dengan perasaan bersalah, fotokopi nomor pendaftaran saya terima.
Beberapa hari kemudian sang ibu datang. “Terima kasih banyak, Ketika. Atas bantaun Dokter, anak saya bisa diterima di FK Unair,” ujar sang ibu. Saya harus jujur, “Putri Ibu memang diterima karena kemampuannya sendiri. Saya tidak melakukan apa-apa.”
Sampai saat ini, FK tetap pilihan utama. Peminatnya terus meningkat. Fakultas kedokteran baru bermunculan, biaya masuk luar biasa. Rumor beredar, sebagian besar kursi FK perguruan tinggi terpandang disiapkan untuk putra-putri para dokter-dosen. Peluang spesialisasi hampir sepenuhnya diisi anak kolega.
Benarkah? Wallahu a'lam! Kalau rumor itu benar, sungguh bencana besar untuk masa depan dokter Indonesia. Ruang kompetisi yang sehat hilang dan peluang lahirnya bibit unggul pun ikut hilang. Sungguh nepotisme tidak patut dilakukan pendidik.
Bagaimana masa depan dokter lokal di negeri ini? Ditulis oleh Datuk Kuljit Singh, Sekjen Malaysian Medical Association, Dari Jurnal MMA 2012 layak kita simak: Masa depan dokter di Malaysia sangat suram. Dokter akan menghadapi masa-masa yang sangat sulit terlepas dari apakah mereka berada di sektor publik atau swasta. Kami menghadapi potensi bencana dalam hal pendapatan remunerasi dokter.
Lensa Phillomene, konsultan perawat luar negeri dari Maastrich, menyebut, di Belanda justru tidak banyak lagi anak muda yang berminat jadi dokter. Alasan, pemerintah telah membatasi penghasilan dokter.
Tentang masa depan dokter di negeri ini, Ketua PB IDI dr Zainal Abidin MPH mengemukakan kecemasannya. “Ke depan, Dokter hanya punya dua pilihan: bekerja di klinik layanan primer / rumah sakit sebagai buruh atau ikut memiliki sebagai pemegang saham. Sebagai buruh, nasib dokter sepenuhnya tergantung pada majikan,” tutur dia. Zainal menawarkan solusi: koperasi dokter.
dini 2014 BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) resmi berjalan dan 2015 mampu (Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN) hadir. ASEAN plus aturan mainnya sepenuhnya berlaku di NKRI. Dunia medik di negeri ini terimbas dan akan terbagi dua: ruang pasar ASEAN dan ruang BPJS. Di ruang pasar ASEAN, industry kesehatan global mendapat tempat terhormat untuk berkompetisi. Sedangkan ruang BPJS disediakan untuk kaum yang tersingkir dari “pasar ASEAN”. Mudah ditebak, gap layanan kesehatan di dua ruang tersebut akan sangat besar.
Namun, ada kesamaan mendasar. Layanan medik di dua ruang itu tidak lagi merupakan layanan pribadi dokter, melainkan “produk” layanan yang tersistem dan terukur. Harga dan kualitasnya harus jelas untuk si pembeli atau si pembayar. Peluang dokter untuk menjalankan profesinya sebagai layanan pribadi hilang. Praktik pribadi tidak akan kuat memikul tekanan teknologi. “Selamat tinggal pemain solo, jangan mengharapkan kualitas dari perawatan yang terfragmentasi,” pesan Mitra dari Tata Memorial Hospital. Benar, kehadiran era korporasi di dunia medik tak terhindarkan.
Rumah sakit supermewah terus bermunculan. Para pengusaha besar di bidang kesehatan sibuk menyiapkan diri untuk mengisi ruang pasar ASEAN. Kehadiran pemodal asing di bisnis kesehatan tak terelakkan. Hadir dengan sistem yang teruji, merek global yang kuat, dan jaringan luas. Juga, manusia (Baca: dokter) yang cocok dengan persyaratan global dan kebutuhan pasar ASEAN segera hadir di bumi ini. Lantas, bagaimana nasib dokter lokal? Pertanyaan ini harus dijawab!
Oleh: Ario Djatmiko
ketua bidang penataan praktik global di PB IDI (mik_mmb@yahoo.com)
Kompas,
Jumat, 20 September 2013
Tambahkan komentar